KPK (masih) tebang pilih
A
A
A
LANGKAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyita 30 mobil terkait kasus dugaan suap di Mahkamah Konstitusi (MK) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Ketua MK Akil Mochtar, memang patut diapresiasi.
Tindakan tegas lembaga antikorupsi itu diharapkan juga diterapkan dalam menyidik kasus-kasus besar lain tanpa pandang bulu. Dalam kasus Akil, masyarakat tak meragukan keberanian dan ketegasan KPK dalam mengusutnya hingga tuntas. Bahkan, kasus Akil ini telah menjadi pintu masuk untuk mengungkap kejahatan korupsi lainnya yang ada di Provinsi Banten. KPK juga dengan cepat mengusut dugaan suap hingga ke pilkada-pilkada lain, yang dulu pernah ditangani perkaranya oleh Akil saat memimpin MK.
Hal yang sama juga terlihat saat KPK menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Tanpa ampun, KPK menyita harta dan aset mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo hingga puluhan miliar rupiah. KPK juga begitu tegas mengusut kasus korupsi yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Namun, ketegasan KPK tampaknya tidak segarang dalam menangani megaskandal Century ataupun dugaan suap di SKK Migas yang melibatkan mantan kepalanya Rudi Rubiandini. Dalam kasus Century, KPK terlihat seperti “tak berdaya”.
Penanganan kasus Century juga begitu lambat dan berbelit-belit. Tak mengherankan bila akhirnya masyarakat berkesimpulan KPK masih tebang pilih dalam menyidik sebuah kasus. KPK akan terlihat “loyo” saat mengusut kasus yang melihatkan pusat kekuasaan. Namun, sebaliknya, KPK begitu trengginas bila kasus yang ditanganinya bebas dari unsur kekuasaan. Banyak analis, pakar hukum, bahkan Tim Pengawas Century DPR telah merekomendasikan bahwa ada dugaan kuat keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus Century.
Namun, KPK terlihat begitu hati-hati dan berputar-putar dalam mengusut kasus Century. Bahkan, untuk memeriksa Boediono pun, penyidik harus datang ke Kantor Wapres. Langkah KPK yang seakan dapat didikte oleh kekuasaan ini sungguh disayangkan. KPK seperti sudah tidak independen lagi. Padahal seharusnya semua warga negara sama kedudukannya di muka hukum. Artinya, apakah dia seorang pejabat ataupun bukan, KPK tidak boleh mengistimewakannya.
Semua warga negara harus diperlakukan sama. Tak berlebihan bila masyarakat akhirnya meragukan keseriusan KPK dalam mengusut kasus Century. Pernyataan-pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang sering mengatakan tidak takut pada siapa pun cenderung hanya sekadar pencitraan. Buktinya, KPK hingga kini masih belum bisa netral dan objektif.
Contoh lain misalnya penetapan status mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka tidak lama setelah ada imbauan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meminta agar KPK memberikan kejelasan status hukum Anas memang mengundang “kecurigaan” atas independensi KPK. Tak salah apabila publik akhirnya berprasangka buruk pada KPK, yang dinilai mereka tidak bebas lagi dari intervensi politik atau pesanan pihak tertentu.
Karena itu, KPK harus segera sadar dan berbenah diri agar menjadi lembaga penegak hukum, sebagaimana tujuan didirikannya untuk memberantas korupsi di negara ini yang sudah sangat memprihatinkan. Masyarakat sungguh begitu berharap pada peran KPK agar serius untuk melenyapkan korupsi dari negara ini. Tentu upaya memberantas korupsi hanya bisa dilakukan bila KPK bebas dari intervensi dari siapa pun serta KPK yang objektif dan independen. Jika tekad itu tidak dipegang teguh, keinginan agar negara ini bebas dari korupsi hanya akan menjadi mimpi.
KPK harus ingat mereka bekerja untuk seluruh masyarakat Indonesia bukan untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu. Yang lebih penting lagi, adalah bagaimana KPK bisa bersinergi dengan aparat penegak hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung untuk bersama-sama memberantas korupsi.
Tanpa sinergi itu, KPK yang hanya memiliki personel terbatas jelas tak akan mampu melakukan misinya secara sempurna, yakni membebaskan negara ini dari cengkeraman korupsi. Kita tunggu kiprah KPK yang berani dan independen.
Tindakan tegas lembaga antikorupsi itu diharapkan juga diterapkan dalam menyidik kasus-kasus besar lain tanpa pandang bulu. Dalam kasus Akil, masyarakat tak meragukan keberanian dan ketegasan KPK dalam mengusutnya hingga tuntas. Bahkan, kasus Akil ini telah menjadi pintu masuk untuk mengungkap kejahatan korupsi lainnya yang ada di Provinsi Banten. KPK juga dengan cepat mengusut dugaan suap hingga ke pilkada-pilkada lain, yang dulu pernah ditangani perkaranya oleh Akil saat memimpin MK.
Hal yang sama juga terlihat saat KPK menangani kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Tanpa ampun, KPK menyita harta dan aset mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo hingga puluhan miliar rupiah. KPK juga begitu tegas mengusut kasus korupsi yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Namun, ketegasan KPK tampaknya tidak segarang dalam menangani megaskandal Century ataupun dugaan suap di SKK Migas yang melibatkan mantan kepalanya Rudi Rubiandini. Dalam kasus Century, KPK terlihat seperti “tak berdaya”.
Penanganan kasus Century juga begitu lambat dan berbelit-belit. Tak mengherankan bila akhirnya masyarakat berkesimpulan KPK masih tebang pilih dalam menyidik sebuah kasus. KPK akan terlihat “loyo” saat mengusut kasus yang melihatkan pusat kekuasaan. Namun, sebaliknya, KPK begitu trengginas bila kasus yang ditanganinya bebas dari unsur kekuasaan. Banyak analis, pakar hukum, bahkan Tim Pengawas Century DPR telah merekomendasikan bahwa ada dugaan kuat keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus Century.
Namun, KPK terlihat begitu hati-hati dan berputar-putar dalam mengusut kasus Century. Bahkan, untuk memeriksa Boediono pun, penyidik harus datang ke Kantor Wapres. Langkah KPK yang seakan dapat didikte oleh kekuasaan ini sungguh disayangkan. KPK seperti sudah tidak independen lagi. Padahal seharusnya semua warga negara sama kedudukannya di muka hukum. Artinya, apakah dia seorang pejabat ataupun bukan, KPK tidak boleh mengistimewakannya.
Semua warga negara harus diperlakukan sama. Tak berlebihan bila masyarakat akhirnya meragukan keseriusan KPK dalam mengusut kasus Century. Pernyataan-pernyataan Ketua KPK Abraham Samad yang sering mengatakan tidak takut pada siapa pun cenderung hanya sekadar pencitraan. Buktinya, KPK hingga kini masih belum bisa netral dan objektif.
Contoh lain misalnya penetapan status mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka tidak lama setelah ada imbauan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meminta agar KPK memberikan kejelasan status hukum Anas memang mengundang “kecurigaan” atas independensi KPK. Tak salah apabila publik akhirnya berprasangka buruk pada KPK, yang dinilai mereka tidak bebas lagi dari intervensi politik atau pesanan pihak tertentu.
Karena itu, KPK harus segera sadar dan berbenah diri agar menjadi lembaga penegak hukum, sebagaimana tujuan didirikannya untuk memberantas korupsi di negara ini yang sudah sangat memprihatinkan. Masyarakat sungguh begitu berharap pada peran KPK agar serius untuk melenyapkan korupsi dari negara ini. Tentu upaya memberantas korupsi hanya bisa dilakukan bila KPK bebas dari intervensi dari siapa pun serta KPK yang objektif dan independen. Jika tekad itu tidak dipegang teguh, keinginan agar negara ini bebas dari korupsi hanya akan menjadi mimpi.
KPK harus ingat mereka bekerja untuk seluruh masyarakat Indonesia bukan untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu. Yang lebih penting lagi, adalah bagaimana KPK bisa bersinergi dengan aparat penegak hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung untuk bersama-sama memberantas korupsi.
Tanpa sinergi itu, KPK yang hanya memiliki personel terbatas jelas tak akan mampu melakukan misinya secara sempurna, yakni membebaskan negara ini dari cengkeraman korupsi. Kita tunggu kiprah KPK yang berani dan independen.
(nfl)