Pemilih pemilu demokratis

Selasa, 26 November 2013 - 16:20 WIB
Pemilih pemilu demokratis
Pemilih pemilu demokratis
A A A
MENGAPA Daftar Pemilih Tetap (DPT) begitu penting sehingga KPU “terpaksa” menunda penetapannya beberapa kali? Pun, banyak pihak di negeri ini yang menaruh perhatian pada DPT, bukan hanya partai politik, pemerintah, tapi juga elemen lembaga swadaya masyarakat menyoroti kualitas pendaftaran pemilih ini. Apa pasal?

Sejatinya DPT bukan sekadar urusan administrasi pemilih, ia menjadi penting karena menjadi elemen mendasar dari penyelenggaraan pemilu yaitu menyangkut “hak pilih”. Karena hak inilah pemilu itu ada dan karena pelaksanaan hak ini maka terjadi transfer mandat kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat kepada mereka yang dianggap dapat mewakili kepentingan rakyat dalam proses-proses kebijakan publik.

Maka di sinilah kualitas pemilu menjadi pertaruhan. Karut-marut DPT merupakan awal sebuah pemilu yang under-quality. Lepas soal DPT, tentu tahap berikutnya bagaimana pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela (voluntary) dan selalu “terjaga” sepanjang periode setelah pemilu untuk menjadi pemilih bertanggung jawab.

Urgensi DPT

Undang-undang menegaskan penetapan DPT merupakan jaminan atas hak pilih seluruh warga negara. Sehingga menjadi cacat hukum jika setelah DPT ditetapkan masih ada warga negara yang memiliki hak pilih tidak bisa menggunakan haknya karena masalah administrasi (tidak terdaftar dalam DPT). Atau sebaliknya, menjadi bermasalah jika yang tidak berhak memilih tapi terdaftar dalam DPT, karena hal ini akan membuka ruang kecurangan atau manipulasi berbagai pihak yang tak ingin pemilu berlangsung secara fairness.

Ada banyak sebab mengapa warga masyarakat tidak terdaftar dalam DPT. Pertama, penduduk tidak terdata karena berbagai alasan khususnya karena buruknya adminduk. Persolan ini seharusnya bisa diatasi dengan program nasional KTP elektronik yang sudah dijalankan beberapa tahun terakhir.

Kedua, ada unsur kelalaian petugas, kesalahan proses entry data, dan kesalahan teknis. Hal ini terjadi sebagai human error karena berbagai faktor manusiawi dan keterbatasan SDM serta sarana prasarana proses validasi daftar pemilih.

Ketiga, kesengajaan oleh petugas dan hal ini terkategori tindak pidana pemilu. Kesengajaan dimaksud merupakan bagian dari konspirasi jahat untuk memanipulasi daftar pemilih atau mendistorsi daftar pemilih untuk tujuan-tujuan tertentu.

Modus terakhir memang sulit dibuktikan tapi indikasinya ada. Bahkan sudah menjadi pengetahuan umum jika praktek tersebut lazim adanya dalam penyelenggaraan pemilu/pilkada yang lalu-lalu. DPR pernah sampai membentuk panitia angket DPT pasca pemilu 2009 merespon indikasi kecurangan dalam penyusunan DPT.

Tentu di pemilu yang akan datang kita berharap manipulasi DPT tidak akan terjadi lagi. KPU telah menetapkan DPT pada 4 November 2013 yang lalu. Dari 186,7 juta pemilih kita menyimak masih ada sekitar 10,4 juta pemilih bermasalah (tanpa Nomor Induk Kependudukan). Informasi terakhir dari 10,4 pemilih bermasah tersebut saat ini tinggal sekitar 3 juta yang belum jelas NIK-nya.

Kita harus terus mendorong KPU menyelesaikan permasalahan DPT tersebut hingga validitasnya tidak diragukan lagi. Sambil mengharap perbaikan DPT yang telah ditetapkan tersebut, jikalah masih ada diantara warga masyarakat yang belum terdaftar, undang-undang mengatur masih mungkin mereka didaftarkan dalam daftar pemilih khusus.

Bahkan, mengingat hak pilih merupakan salah satu hak dasar warga negara dalam politik, usai Pileg 2009 menjelang Pilpres 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan satu putusan bersejarah hal ihwal pentingnya hak pilih yang tidak bisa digugurkan karena alasan-alasan teknis administratif.

Dalam putusannya MK menyatakan bahwa "bagi warga negara yang mempunyai hak pilih dan tidak terdaftar dalam DPT tetap dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP" dengan syarat yang bersangkutan mendaftar terlebih dahulu pada KPPS dan memberikan suaranya terbatas hanya satu jam sebelum pemungutan suara berakhir.

Putusan MK selanjutnya menjadi norma yang dirujuk oleh undang-undang pemilu 2014, negara tetap menjamin hak politik untuk memilih bagi mereka yang tidak terdaftar dalam DPT dengan cukup menunjukkan KTP. Argumentasinya sekali lagi, hak pilih tidak bisa terhalang oleh alasan-alasan administratif.

Jika undang-undang telah memberikan jaminan atas hak pilih warga negara dengan segala instrumen pengaturan yang kuat, tentu saja hal itu tidak dimaknai sekadar jaminan administratif (administrative guarantee) tetapi merefleksikan betapa berharga nilai pemilih dalam proses pemilu yang demokratis.

Pemilih
Pemilih memiliki peran yang sentral dalam pemilu. Ketika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka pemilih sesungguhnya adalah pemilik saham pemerintahan terpilih yang sedang memberikan mandate kepada para calon pejabat publik untuk mengatur dan mengelola negara untuk sebesar-besarnya kepentingan mereka.

Sistem demokrasi membangun hubungan dua arah dan partisipatif antara pemerintah hasil pemilu dan rakyatnya. Pemerintah mengambil kebijakan atau sebaliknya atas dasar kepentingan rakyat, bukan kepentingan partainya, apalagi kepentingan individunya. Partisipasi aktif inilah yang menjadi parameter keberhasilan pembangunan demokrasi di negara manapun.

Demokrasi yang mapan membutuhkan ruang deliberasi bagi publik untuk menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan dan memastikan apa yang mereka sampaikan didengar dan dijadikan dasar dalam proses-proses pengambilan keputusan pemerintah.

Proses partisipasi aktif dalam pemerintahan ini jika ditarik mundur diawali dari partisipasi otonom rakyat dalam proses-proses pemilu. Asumsi sederhananya, pemilih yang otonom memilih karena kesadaran dan keinginan terhadap perubahan, maka setelah proses pemilu berakhir ia akan tetap menjadi pemilih yang sadar dalam mengawal perubahan yang diharapkannya.

Maka membangun pemilih sama pentingnya membangun pemilu itu sendiri dan sama pentingnya dengan membangun demokrasi. Pemilih senyatanya adalah pilar demokrasi yang utama. Oleh karena itu urusan DPT harus dipandang bukan semata urusan administrasi, ia merangkum segala potensi yang membangun pemilu dan demokrasi itu sendiri. Inilah makna one person one vote one value yang sering didengungkan dari pemilu ke pemilu.

Untuk menyadarkan bahwa setiap pemilih bermakna bagi proses perubahan butuh edukasi yang panjang, tidak sekadar saat-saat menjelang pemilu, tapi sepanjang masa pemerintahan hasil pemilu terbentuk. Pemilih dengan segala potensi yang dimilikinya harus tetap menjadi masyarakat yang aware bahwa pilihan mereka bukan cek kosong.

Mereka akan selalu menjadi penagih janji sehingga pejabat publik terpilih (aleg maupun presiden-wapres) dibuat tidak bisa lelap dalam tidur sebelum menunaikan janji-janjinya. Saat itulah demokrasi menjadi produktif dan bermakna bagi proses perubahan.

Seluruh pihak harus memberikan perhatian serius terhadap pemilih. Penyelenggara pemilu harus menjamin seluruh warga negara yang berhak memilih agar terdaftar dalam DPT dan menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab. Penyelenggara juga harus bekerja keras untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi pemilih yang sadar dengan pilihannya dan secara sistematis mengawasi dan mengevaluasi pilihannya usai pemilu.

Pemerintah harus terus menerus memperbaiki kualitas data kependudukan, terlebih program e-KTP telah dijalankan dengan dana yang sangat besar. Jika e-KTP dengan single identity number-nya sudah dapat menjangkau seluruh penduduk warga negara Indonesia niscaya kualitas DPT tidak akan diragukan lagi.

Calon dan partai politik peserta pemilu juga tidak bisa lepas tangan dalam mewujudkan pemilih yang berkualitas. Menyajikan kampanye yang berkualitas, membangun kontrak politik yang produktif, dan menjauhkan money politics adalah di antara tanggung jawab calon dan parpol.

Setelah pemilu calon terpilih dan parpol juga diharapkan membangun pola hubungan konstituensi yang produktif. Sehingga ke depan pemilih tidak lagi dipandang sekadar sebagai angka-angka statistik dalam pemenangan pemilu akan tetapi semakin terberdaya dan bermakna sebagai pilar utama demokrasi.

JAZULI JUWAINI
Anggota DPR RI/Fraksi PKS
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6273 seconds (0.1#10.140)