Balas dendam versus progresivitas

Senin, 25 November 2013 - 08:49 WIB
Balas dendam versus...
Balas dendam versus progresivitas
A A A
PROSES berpikir hakim seperti orang yang mendaki piramida. Awalnya, hakim menyapu bersih semua informasi—dalam berbagai bentuknya—yang dihadirkan di persidangan.

Ia bahkan dituntut untuk pada saat yang sama mampu membaca nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat di luar ruang persidangan. Lalu, si hakim naik ke undakan berikutnya. Di situ, informasi yang dinilai tidak relevan akan disisihkan. Informasi yang relevan akan dicermati lebih lanjut. Begitu terus sampai si hakim tiba di pucuk piramida: pada saat itulah sebuah putusan siap untuk dijatuhkan. Alur berpikir sedemikian rupa memang rapi dan komprehensif.

Begitulah secara normatif hakim harus bekerja. Masalahnya, ada banyak kendala yang hakim hadapi untuk menghasilkan produk kognitif sedemikian rupa. Tumpukan berkas perkara kian lama kian menggunung, alokasi waktu untuk menangani masing-masing kasus tak pelak semakin sempit, serta adanya keterbatasan stamina dan kapasitas pengetahuan hakim adalah problem yang harus hakim atasi agar pada akhirnya ia tetap bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya.

Karena berpikir secara rapi dan komprehensif ternyata tidak mudah, maka sesungguhnya sangat manusiawi apabila hakim lantas memilih pendekatan kerja jalan pintas (heuristic). Alih-alih mengolah semua informasi, hakim hanya akan mencerna sebagian kecil informasi. Bekerja pun tidak dimulai dari titik hulu, yakni mencermati rinci berkas perkara, melainkan dimulai dari hilir, yaitu langsung memikirkan putusan yang akan dijatuhkan.

Dengan pola berpikir heuristic tersebut, hakim secara otomatis langsung memfokuskan perhatiannya pada jenis kasus yang ia sidangkan. Pada titik itulah, baik disadari maupun tidak disadari oleh hakim, unsur-unsur ekstrayudisial berpotensi memengaruhi kognisi hakim.

Beberapa unsur ekstrayudisial itu misalnya agama, usia, latar sosial, pendidikan, kompleksitas proses berpikir hakim, konstelasi politik yang ”menaungi” hakim, serta orientasi hakim dalam pemberian hukuman kepada terdakwa (penological orientation).

Proses kognitif
Jika sorotan dispesifikkan ke sosok Artidjo Alkostar, banyak kalangan yang menengarai hakim agung tersebut sebagai sosok malaikat maut. Penilaian tersebut bertitik tolak dari tendensi Artidjo melipatgandakan hukuman yang hakim buat pada persidangan tingkat pertama dan tingkat banding. Apalagi terhadap terdakwa korupsi, publik sudah sampai pada simpulan: Artidjo niscaya akan ”mengazab” terdakwa tersebut apabila berkas kasasinya ditangani oleh mantan pengacara kasus-kasus berat ini.

Apakah Artidjo menerapkan proses kognitif piramida atau ala jalan pintas, dapat ditakar dari naskah-naskah putusan yang ia hasilkan. Namun, andaikan benar bahwa Artidjo adalah hakim yang (hampir) selalu menjatuhkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan hukuman-hukuman yang diputuskan hakim pada tingkat persidangan lebih rendah, maka terbuka spekulasi tentang filosofi penghukuman Artidjo.

Mazhab penghukuman adalah sepadan dengan teori yang hakim anut setiap kali ia memersepsi tingkat laku jahat. Tingkah laku manusia merupakan produk dari interaksi antara faktor dalam individu (disposisi, diri pelaku kejahatan) dan faktor luar (situasi dan individu lain).

Berangkat dari situ, ketika seorang hakim cenderung memperberat hukuman bagi terdakwa, dia dapat dipahami sebagai hakim yang menganut teori bahwa tingkah laku jahat manusia lebih dibentuk oleh faktor dalam ketimbang faktor luar. Pelaku dimintai pertanggungjawaban dan tidak ada ruang baginya untuk mengambinghitamkan situasi.

Jadi, hukuman yang diperberat merupakan konsekuensi yang hakim pandang tepat untuk diberikan, karena kasus kejahatan yang hakim sidangkan itu disebabkan oleh diri si pelaku (terdakwa) sendiri. Pengaruh situasi, di mata hakim, bukan sesuatu yang signifikan berperan dalam pembentukan tingkah laku kriminal, sehingga dapat diabaikan. Interpretasi tentang kuatnya pengaruh disposisi dan lemahnya pengaruh situasi membuat hakim tidak melihat ada hal-hal yang meringankan terdakwa.

Paralel dengan itu, dalam rangka menjatuhkan hukuman yang lebih berat, hakim mencari pasal-pasal—sekaligus merevisi putusan hakim terdahulu—guna melegitimasi pemberatan sanksi. Terlihat, secara ringkas, proses kognitif hakim sebatas melalui lima tahap.

Pertama, hakim melihat jenis kejahatan. Kedua, hakim merujuk pada filosofi dan teori pembentukan tingkah laku jahat yang dia peluk. Ketiga, memanfaatkan teori dan filosofi penghukuman sebagai neraca, hakim menakar layak tidaknya hukuman yang telah diberikan hakim terdahulu.

Keempat, hakim menjatuhkan putusan yang lebih berat, apabila tahap ketiga menghasilkan nilai negatif. Kelima, hakim mencari pasal alternatif dalam rangka memperberat hukuman. Proses berpikir heuristic acap dikritik sebagai pendekatan kerja yang rawan bias. Akibatnya, putusan yang dihasilkan oleh hakim berpola pikir jalan pintas pun dikhawatirkan berkualitas rendah.

Hakim progresif?
Terlepas apakah Artidjo mengerahkan kognisinya secara heuristic maupun secara piramida, sangat banyak pihak yang menyanjung Artidjo sebagai hakim yang sungguhsungguh berhasil menyerap aspirasi publik akan keadilan. Keadilan dimaksud termanifestasikan pada keberanian dan keajekan Artidjo untuk menimpakan hukuman seberat-beratnya, bahkan maksimal, kepada terdakwa (koruptor).

Atas kinerja yudisialnya yang sedemikian rupa, publik menjadikan Artidjo sebagai salah satu ikon penegakan hukum yang ideal. Artidjo seakan dihadap-hadapkan dengan para hakim lain yang dituding bobrok integritas lagi kurang cerdas. Menariknya, ketika Artidjo dijuluki sebagai salah satu hakim progresif, kebiasaan Artidjo membuat terdakwa kian menderita justru merefleksikan figur hakim berfilosofi “just deserts”.

Dengan filosofi penghukuman tersebut, hakim menjadi lebih hirau pada tindaktanduk pelaku kejahatan (offender’s deed) ketimbang kebutuhannya (offender’s need). Esensi just deserts adalah menerapkan perlakuan menyakitkan (punitive) bagi pelaku kejahatan, sedangkan filosofi republican memosisikan pelaku sebagai individu yang tindak perangainya perlu dibenahi (rehabilitasi). Di situ letak kesan kekontrasan Artidjo dengan gambaran progresivitas hakim.

Dalam tilikan progresivitas, proses hukum tidak berhenti pada adanya manusia yang diberi ganjaran atas perbuatannya, karena penjatuhan hukuman toh tidak memperbaiki moral manusia. Manusia dengan budi perangai yang lebih positif, sehingga membuat dunia lebih aman tenteram, adalah efek sejati kedigdayaan proses hukum yang ingin direalisasikan oleh—katakanlah—kalangan progresif.

Artidjo memang tegas dan selaras dengan ekspektasi khalayak luas. Namun latar just desertsdalam putusanputusan yang dia jatuhkan justru lebih sebangun dengan mazhab pidana klasik, bahwa pelaku kejahatan harus dijadikan sebagai sasaran balas dendam dan dihukum lebih berat lagi.

Menjaga jarak dari samarnya perbedaan antara retribusi versus progresivitas di balik putusan hakim, just deserts lebih memungkinkan bagi terealisasinya gagasan pemiskinan koruptor. Kalau semua pihak mau konsekuen dengan sebutan “korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)”, hukuman bagi koruptor pun semestinya luar biasa.

Dan pengenaan sanksi hukum seperti itu akan bisa terealisasi hanya jika para “wakil Tuhan” juga melandaskan kaki dan hati mereka pada filosofi just deserts. Jelas, itu tidak gampang. Dibutuhkan kerja ekstra untuk meruntuhkan penyimpangan kognitif berupa anggapan bahwa korupsi adalah kejahatan tanpa korban (victimless crime). Allahu alam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Konsultan pada berbagai program reformasi yudisia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7687 seconds (0.1#10.140)