Trias politica korupsi
A
A
A
Tiga pilar kekuasaan di negeri ini yang popular disebut “trias politica” sudah cukup lama tertular penyakit korupsi. Begitu banyak elite trias politica yang sudah mendekam dalam penjara karena korupsi.
Dari kekuasaan eksekutif seperti menteri dan kepala daerah, anggota DPR dan DPRD dari legislatif, serta hakim (termasuk anggota Polri dan kejaksaan) dari kekuasaan yudikatif. Tetapi yang menghebohkan saat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK, karena sekaligus tiga perwakilan pilar trias politica. Akil Mochtar mewakili kekuasaan yudikatif, Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah Hambit Bintih dari eksekutif, dan Chairun Nisa anggota DPR mewakili kekuasaan legislatif.
Malah ada dua orang lagi yang mewakili kalangan pengusaha. Kolaborasi pengusaha dengan tiga elite pilar kekuasaan menyelewengkan putusan MK dengan imbalan uang, memberi sinyal bahwa korupsi betul-betul “membudaya”. Tiga komponen kekuasaan negara tidak merasa malu memperdagangkan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.
Bisa disebut “episentrum korupsi” di negeri ini berada di ruang politik. Lihat saja Akil Mochtar yang berlatar belakang politikus, begitu pula Bupati Gunung Mas dan Chairun Nisa yang juga dari kalangan politikus. Bahkan, dua pengusaha yang ikut terlibat, juga ditengarai kader partai politik tertentu. Betul-betul korupsi politik tidak pernah lengang dari berbagai penangkapan yang dilakukan aparat hukum.
Korupsi politik
Ketika jerat korupsi merambah kader politik yang ada di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kalangan pengusaha, maka Indonesia patut disebut sebagai tempat “pengaderan koruptor”. Begitu banyak “talenta baru koruptor” lahir dari pilar trias politica dengan modus yang nyaris serupa, yaitu mempertahankan dan meraih kekuasaan.
Jika tidak ada aksi revolusioner menghentikannya, tinggal menunggu negeri ini mengalami kehancuran. Dana APBN dan APBD dijadikan modal untuk meraih kekuasaan, bukan digunakan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat. Pada saat terpilih, mereka juga belum puas, kekuasaan yang diraih dijadikan instrumen untuk menambah pundi-pundi kekayaan dengan mengorupsi uang negara.
Kader politik yang menguasai hampir semua jabatan publik, telah membangun “organisasi” untuk saling mendukung dan melindungi dari jeratan korupsi. Bahkan batas demarkasi antara politisi dengan nonpolitisi (pengusaha) hampir-hampir tidak kelihatan lagi saat bagi-bagi proyek yang didanai oleh uang negara. Semuanya menyatu untuk membuka arena baru melalui “politik transaksional”.
Agar pedang dewi keadilan bisa diayunkan kepada pelaku korupsi politik, setidaknya harus ditunjang oleh keberanian dan integritas aparat hukum seperti KPK. Yang dihadapi adalah elite trias politika yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, apalagi mereka bersatu untuk saling mendukung dan saling melindungi. Dalam dunia politik, lawan pun bisa jadi kawan sepanjang satu tujuan dan kepentingan.
Para pelaku sistem demokrasi langsung telah mengalami defisit integritas dan akuntabilitas. Lantaran semua hajatan politik membutuhkan dana besar, para petarung politik terjebak dalam praktik korupsi untuk memenuhi ambisi politiknya. Inilah salah satu dampak dari demokrasi langsung. Sementara penegakan hukum yang dipraktikkan, tetapi minus keadilan. Itulah yang disebut Anthony Giddens, bahwa kejahatan struktural selalu dimulai dari kejahatan (dekadensi) moral secara individu dan kolektif.
Tetap gigih
Menekan penyebaran virus korupsi, tidak bisa hanya mengandalkan KPK. Polri dan kejaksaan harus berperan lebih aktif, apalagi Kapolri baru Komjen Sutarman akan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi yang akan bersinergi dengan KPK dan kejaksaan. Kehadirannya tidak boleh mendegradasi peran KPK yang sudah terbukti keampuhannya, apalagi melemahkan dengan menganggapnya sebagai saingan. Masyarakat sudah merasakan peran KPK dalam pemberantasan korupsi.
Selain pimpinan, penyidik, penuntut, dan pegawainya masih “relatif bersih” dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, gebrakannya pun mendapat acungan jempol masyarakat. Dapat dilihat saat menangkap mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Ini merupakan sejarah, sebab hanya di Indonesia ketua peradilan konstitusinya ditangkap karena menerima suap. Tetapi kita juga harus realistis, kendati KPK berperan besar mengungkap korupsi besar, tetap tidak mungkin mengurai semua kasus korupsi yang telah membudaya.
Selain keterbatasan sumber daya penyidik, juga begitu bertumpuknya laporan kasus korupsi di KPK. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, setiap hari KPK menerima laporan kasus korupsi antara 30–40 kasus. Belum termasuk upaya perlawanan dari para koruptor untuk melumpuhkan KPK. KPK juga sering tertatih-tatih mengungkap unsur “perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya, menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara”.
Berbeda jika kasus tertangkap tangan, KPK begitu perkasa karena telepon pemberi dan penerima sudah disadap. Tinggal menunggu kapan transaksi suap dilakukan, kemudian penyidik KPK menangkapnya. Kasus tertangkap tangan begitu mudah dan alat buktinya terang benderang. Di tengah prestasinya, KPK juga masih terlihat pandang bulu, terutama pada kasus menyangkut kekuasaan. Publik melihat KPK begitu sigap dan tegas mengungkap kasus korupsi mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Tetapi untuk kasus Bank Century dan Hambalang yang terkait dengan puncak kekuasaan, KPK begitu lambat dan berbelitbelit. Maka itu, prestasi KPK menangkap tiga pelaku kekuasaan trias politica harus dijadikan motivasi untuk tetap gigih terhadap siapa pun.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Dari kekuasaan eksekutif seperti menteri dan kepala daerah, anggota DPR dan DPRD dari legislatif, serta hakim (termasuk anggota Polri dan kejaksaan) dari kekuasaan yudikatif. Tetapi yang menghebohkan saat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK, karena sekaligus tiga perwakilan pilar trias politica. Akil Mochtar mewakili kekuasaan yudikatif, Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah Hambit Bintih dari eksekutif, dan Chairun Nisa anggota DPR mewakili kekuasaan legislatif.
Malah ada dua orang lagi yang mewakili kalangan pengusaha. Kolaborasi pengusaha dengan tiga elite pilar kekuasaan menyelewengkan putusan MK dengan imbalan uang, memberi sinyal bahwa korupsi betul-betul “membudaya”. Tiga komponen kekuasaan negara tidak merasa malu memperdagangkan kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.
Bisa disebut “episentrum korupsi” di negeri ini berada di ruang politik. Lihat saja Akil Mochtar yang berlatar belakang politikus, begitu pula Bupati Gunung Mas dan Chairun Nisa yang juga dari kalangan politikus. Bahkan, dua pengusaha yang ikut terlibat, juga ditengarai kader partai politik tertentu. Betul-betul korupsi politik tidak pernah lengang dari berbagai penangkapan yang dilakukan aparat hukum.
Korupsi politik
Ketika jerat korupsi merambah kader politik yang ada di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kalangan pengusaha, maka Indonesia patut disebut sebagai tempat “pengaderan koruptor”. Begitu banyak “talenta baru koruptor” lahir dari pilar trias politica dengan modus yang nyaris serupa, yaitu mempertahankan dan meraih kekuasaan.
Jika tidak ada aksi revolusioner menghentikannya, tinggal menunggu negeri ini mengalami kehancuran. Dana APBN dan APBD dijadikan modal untuk meraih kekuasaan, bukan digunakan untuk menyejahterakan kehidupan rakyat. Pada saat terpilih, mereka juga belum puas, kekuasaan yang diraih dijadikan instrumen untuk menambah pundi-pundi kekayaan dengan mengorupsi uang negara.
Kader politik yang menguasai hampir semua jabatan publik, telah membangun “organisasi” untuk saling mendukung dan melindungi dari jeratan korupsi. Bahkan batas demarkasi antara politisi dengan nonpolitisi (pengusaha) hampir-hampir tidak kelihatan lagi saat bagi-bagi proyek yang didanai oleh uang negara. Semuanya menyatu untuk membuka arena baru melalui “politik transaksional”.
Agar pedang dewi keadilan bisa diayunkan kepada pelaku korupsi politik, setidaknya harus ditunjang oleh keberanian dan integritas aparat hukum seperti KPK. Yang dihadapi adalah elite trias politika yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, apalagi mereka bersatu untuk saling mendukung dan saling melindungi. Dalam dunia politik, lawan pun bisa jadi kawan sepanjang satu tujuan dan kepentingan.
Para pelaku sistem demokrasi langsung telah mengalami defisit integritas dan akuntabilitas. Lantaran semua hajatan politik membutuhkan dana besar, para petarung politik terjebak dalam praktik korupsi untuk memenuhi ambisi politiknya. Inilah salah satu dampak dari demokrasi langsung. Sementara penegakan hukum yang dipraktikkan, tetapi minus keadilan. Itulah yang disebut Anthony Giddens, bahwa kejahatan struktural selalu dimulai dari kejahatan (dekadensi) moral secara individu dan kolektif.
Tetap gigih
Menekan penyebaran virus korupsi, tidak bisa hanya mengandalkan KPK. Polri dan kejaksaan harus berperan lebih aktif, apalagi Kapolri baru Komjen Sutarman akan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi yang akan bersinergi dengan KPK dan kejaksaan. Kehadirannya tidak boleh mendegradasi peran KPK yang sudah terbukti keampuhannya, apalagi melemahkan dengan menganggapnya sebagai saingan. Masyarakat sudah merasakan peran KPK dalam pemberantasan korupsi.
Selain pimpinan, penyidik, penuntut, dan pegawainya masih “relatif bersih” dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya, gebrakannya pun mendapat acungan jempol masyarakat. Dapat dilihat saat menangkap mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Ini merupakan sejarah, sebab hanya di Indonesia ketua peradilan konstitusinya ditangkap karena menerima suap. Tetapi kita juga harus realistis, kendati KPK berperan besar mengungkap korupsi besar, tetap tidak mungkin mengurai semua kasus korupsi yang telah membudaya.
Selain keterbatasan sumber daya penyidik, juga begitu bertumpuknya laporan kasus korupsi di KPK. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, setiap hari KPK menerima laporan kasus korupsi antara 30–40 kasus. Belum termasuk upaya perlawanan dari para koruptor untuk melumpuhkan KPK. KPK juga sering tertatih-tatih mengungkap unsur “perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya, menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara”.
Berbeda jika kasus tertangkap tangan, KPK begitu perkasa karena telepon pemberi dan penerima sudah disadap. Tinggal menunggu kapan transaksi suap dilakukan, kemudian penyidik KPK menangkapnya. Kasus tertangkap tangan begitu mudah dan alat buktinya terang benderang. Di tengah prestasinya, KPK juga masih terlihat pandang bulu, terutama pada kasus menyangkut kekuasaan. Publik melihat KPK begitu sigap dan tegas mengungkap kasus korupsi mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Tetapi untuk kasus Bank Century dan Hambalang yang terkait dengan puncak kekuasaan, KPK begitu lambat dan berbelitbelit. Maka itu, prestasi KPK menangkap tiga pelaku kekuasaan trias politica harus dijadikan motivasi untuk tetap gigih terhadap siapa pun.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(nfl)