Asing & ekonomi nasional

Senin, 11 November 2013 - 06:06 WIB
Asing & ekonomi nasional
Asing & ekonomi nasional
A A A
PEKAN lalu media massa ramai memberitakan rencana pemerintah merevisi daftar negatif investasi (DNI) akhir tahun ini.

Revisi DNI dimaksud, intinya adalah membuka dan memperluas kesempatan masuknya asing pada bidang-bidang usaha tertentu. Ada lima bidang usaha yang sebelumnya tertutup, akan dibuka bagi investor asing. Ada pula sepuluh subsektor usaha yang akan direlaksasi. Pemerintah beralasan upaya ini dilakukan untuk menggenjot investasi di masa mendatang. Kelima bidang usaha yang akan dibuka untuk asing, yakni pengelolaan (operator) bandara, operator pelabuhan, jasa kebandaraan, jasa pengelolaan terminal darat untuk barang, serta bidang usaha periklanan.

Pada revisi DNI ini bahkan kepemilikan asing pada bidang usaha pengelolaan operator bandara dan operator pelabuhan, terbuka hingga 100%. Kepemilikan asing pada jasa pengelolaan terminal darat untuk barang bisa mencapai 49%, sedangkan bidang usaha periklanan yang sebelumnya tertutup akan terbuka untuk asing hingga 51%.

Sementara itu, sepuluh subsektor usaha yang kemungkinan akan direlaksasi agar kepemilikan saham asingnya bisa meningkat, di antaranya farmasi, wisata alam berbasis kehutanan, distribusi film, jasa keuangan modal ventura, provider telekomunikasi, uji kelayakan kendaraan bermotor, serta rumah sakit khusus untuk spesialisasi. Rencana revisi itu tak pelak mengundang pro-kontra publik. Sebagian kalangan menganggap perluasan akses investor asing justru berdampak positif, lantaran akan meningkatkan kemampuan industri nasional dan transfer teknologi.

Di lain pihak, sebagian masyarakat menentang rencana revisi DNI lantaran bisa mengancam perekonomian nasional. Di era globalisasi seperti sekarang, saat sekat-sekat negara kian tipis, Indonesia tidak mungkin, bahkan tidak boleh anti-asing. Tidak mungkin negara ini menutup diri dari pergaulan internasional. Namun terlalu memanjakan asing dalam dinamika perekonomian nasional, tentulah bukan langkah bijak. Secara kasat mata, saat ini kita bisa melihat kepemilikan asing di semua sektor ekonomi semakin dominan, kalau tidak bisa dikatakan sebagai kebablasan.

Data yang diungkap Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno membuat kita tercengang, sekaligus miris. Hingga saat ini, aset negara sekitar 70-80% telah dikuasai asing. Di sektor keuangan, asing telah menguasai lebih dari 50% aset perbankan di Indonesia. Begitu pula di sektor lain, seperti migas dan batu bara, di mana kepemilikan asing mencapai 70–75%, serta pertambangan hasil emas dan tembaga 80–85%. Tanpa kita sadari, sudah sedemikian mengguritanya kepemilikan asing. Mereka bukan hanya masuk di berbagai sendi-sendi perekonomian nasional, melainkan juga sudah sedemikian dominan. Pemerintah tidak boleh mengabaikan fenomena kepemilikan asing itu.

Pertama, di era modern seperti sekarang, di mana persaingan kekuatan senjata tidak lagi menjadi faktor dominan, penguasaan aset-aset ekonomi menjadi strategis. Arah perekonomian suatu bangsa bisa sangat mungkin dikendalikan oleh bangsa lain yang memiliki dominansi penguasaan aset-aset ekonomi. Bila ini yang terjadi, akan sangat sulit untuk menciptakan perekonomian yang memiliki daya dukung bagi kepentingan nasional.

Kedua, alangkah ironis, perkembangan ekonomi Indonesia, yang tecermin dari pertumbuhan produk domestik bruto dan termasuk salah satu yang tertinggi di dunia, justru sebagian besar dinikmati oleh asing. Bukan oleh rakyat Indonesia. Sudah saatnya pemerintah membuka mata. Daripada membuka kesempatan yang lebih besar kepada asing, lebih baik pemerintah mendorong partisipasi investor lokal.

Upaya itu bisa dilakukan dengan memberi kemudahan-kemudahan bagi investor lokal, antara lain dalam hal perizinan usaha, baik investasi maupun akuisisi, memperbaiki kualitas infrastruktur, dan menjamin kepastian hukum.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7093 seconds (0.1#10.140)