RI lumbung energi
A
A
A
POTENSI sumber energi yang beragam terkandung dalam perut bumi Indonesia begitu besar sehingga tak salah negeri ini mendapat julukan ”Negeri Lumbung Energi.” Sayangnya, julukan tersebut tidak sejalan dengan potensi energi seperti energi panas bumi yang bisa dinikmati masyarakat.
Julukan tersebut bukanlah cerita yang bermaksud meninabobokan bangsa ini. Hanya, itu tak mampu dimanfaatkan sebesar-besarnya karena terganjal persoalan yang begitu kompleksitas, konflik aturan yang bertentangan satu sama lainnya antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, peraturan yang tak sejalan di lingkungan kementerian, hingga halangan yang terasa mengada-ada yakni ditentang para mafia batu bara sebagaimana ditengarai oleh pemerintah.
Akibat itu, pengembangan energi panas bumi cenderung berjalan di tempat, padahal Amerika Serikat dan Filipina sudah menikmati energi alternatif itu untuk menggeser energi fosil yang semakin mahal. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim negeri ini memiliki 40% energi panas bumi dari total yang tersedia di muka bumi yang mencapai sekitar 30.000 megawatt (MW).
Bayangkan, betapa besar potensi energi yang terkandung dan tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Saat ini pemanfaatan energi panas bumi baru mencapai 1.336 MW atau sekitar 4% dari total potensi yang ada. Bandingkan dengan konsumsi listrik saat ini yang dipasok dari pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil sekitar 88%. Benarkah para mafia batu bara salah satu yang mengganjal pengembangan energi panas bumi selama ini?
Kalau itu benar, pengelolaan negeri ini memang sungguh aneh. Bayangkan, pengelola negara tidak bisa mengatasi mafia untuk atas nama kepentingan negara demi kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Kepala Persiapan Lahan dan Evaluasi Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Bambang Purbiyantoro, kendala pengembangan energi panas bumi tidak hanya tersangkut masalah teknis, tetapi juga nonteknis seperti dihalangi para mafia batu bara.
Padahal bila pemanfaatan energi panas bumi ini dimaksimalkan, negara bisa menghemat anggaran energi yang signifikan. Pihak Kementerian ESDM dalam publikasi terbarunya mengungkapkan bahwa potensi energi panas bumi yang bisa dimanfaatkan untuk kelistrikan mencapai 113 giga watt (GW). Nah, kalau Indonesia menguasai sekitar 40% potensi panas bumi itu, energi kelistrikan yang tersimpan tak kurang dari 28 GW.
Indonesia memiliki panas bumi yang besar karena letaknya tepat dalam jalur tumbukan antara lempeng Samudera Australia dan lempeng Benua Asia yang ditandai kemunculan sejumlah gunung api aktif yang menghasilkan energi panas bumi terbesar di dunia. Panas bumi sering disebut sebagai energi masa depan dan energi hijau yang dimanfaatkan hanya ekstraksi uap dengan limbah berupa air yang terbuang kembali ke dalam tanah lalu dipanaskan lagi menjadi uap.
Berkah energi panas bumi ternyata hanya dinikmati oleh beberapa negara di dunia di antaranya Amerika Serikat, Filipina, Jepang, Meksiko, Islandia, dan Selandia Baru. Filipina salah satu negara yang termasuk sukses memberdayakan sumber energi panas bumi tersebut. Kapasitas terpasang pembangkit energi panas bumi di Filipina sudah mencapai 1.848 MW. Untuk meraih angka tersebut, pemerintah Filipina mengeluarkan berbagai kebijakan yang memudahkan investor dan berbagai sosialisasi kepada masyarakat bagaimana pentingnya memberdayakan energi tersebut.
Tak kurang dari 13 macam insentif yang diberikan kepada investor untuk pengembangan energi panas bumi di sana. Bagaimana dengan Indonesia, di mana proyek energi panas bumi masih selalu terganjal soal perizinan hingga penolakan warga? Sebenarnya semua kendala itu bisa disingkirkan seandainya ada kesamaan pandangan dari seluruh penyelenggara negara di tingkat kementerian. Selama ini proyek energi panas bumi dimasukkan dalam kategori aktivitas pertambangan sehingga selalu terjebak aturan Kementerian Kehutanan soal hutan lindung.
Meski suatu lokasi potensial digarap, masuk dalam kawasan hutan lindung tak bisa disentuh. Padahal, status pengelolaan energi panas bumi hanya mengekstrak energi versi Kementerian ESDM. Dampaknya selama 25 tahun energi panas bumi jadilah lumbung energi yang tak tersentuh.
Julukan tersebut bukanlah cerita yang bermaksud meninabobokan bangsa ini. Hanya, itu tak mampu dimanfaatkan sebesar-besarnya karena terganjal persoalan yang begitu kompleksitas, konflik aturan yang bertentangan satu sama lainnya antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, peraturan yang tak sejalan di lingkungan kementerian, hingga halangan yang terasa mengada-ada yakni ditentang para mafia batu bara sebagaimana ditengarai oleh pemerintah.
Akibat itu, pengembangan energi panas bumi cenderung berjalan di tempat, padahal Amerika Serikat dan Filipina sudah menikmati energi alternatif itu untuk menggeser energi fosil yang semakin mahal. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim negeri ini memiliki 40% energi panas bumi dari total yang tersedia di muka bumi yang mencapai sekitar 30.000 megawatt (MW).
Bayangkan, betapa besar potensi energi yang terkandung dan tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Saat ini pemanfaatan energi panas bumi baru mencapai 1.336 MW atau sekitar 4% dari total potensi yang ada. Bandingkan dengan konsumsi listrik saat ini yang dipasok dari pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil sekitar 88%. Benarkah para mafia batu bara salah satu yang mengganjal pengembangan energi panas bumi selama ini?
Kalau itu benar, pengelolaan negeri ini memang sungguh aneh. Bayangkan, pengelola negara tidak bisa mengatasi mafia untuk atas nama kepentingan negara demi kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Kepala Persiapan Lahan dan Evaluasi Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Bambang Purbiyantoro, kendala pengembangan energi panas bumi tidak hanya tersangkut masalah teknis, tetapi juga nonteknis seperti dihalangi para mafia batu bara.
Padahal bila pemanfaatan energi panas bumi ini dimaksimalkan, negara bisa menghemat anggaran energi yang signifikan. Pihak Kementerian ESDM dalam publikasi terbarunya mengungkapkan bahwa potensi energi panas bumi yang bisa dimanfaatkan untuk kelistrikan mencapai 113 giga watt (GW). Nah, kalau Indonesia menguasai sekitar 40% potensi panas bumi itu, energi kelistrikan yang tersimpan tak kurang dari 28 GW.
Indonesia memiliki panas bumi yang besar karena letaknya tepat dalam jalur tumbukan antara lempeng Samudera Australia dan lempeng Benua Asia yang ditandai kemunculan sejumlah gunung api aktif yang menghasilkan energi panas bumi terbesar di dunia. Panas bumi sering disebut sebagai energi masa depan dan energi hijau yang dimanfaatkan hanya ekstraksi uap dengan limbah berupa air yang terbuang kembali ke dalam tanah lalu dipanaskan lagi menjadi uap.
Berkah energi panas bumi ternyata hanya dinikmati oleh beberapa negara di dunia di antaranya Amerika Serikat, Filipina, Jepang, Meksiko, Islandia, dan Selandia Baru. Filipina salah satu negara yang termasuk sukses memberdayakan sumber energi panas bumi tersebut. Kapasitas terpasang pembangkit energi panas bumi di Filipina sudah mencapai 1.848 MW. Untuk meraih angka tersebut, pemerintah Filipina mengeluarkan berbagai kebijakan yang memudahkan investor dan berbagai sosialisasi kepada masyarakat bagaimana pentingnya memberdayakan energi tersebut.
Tak kurang dari 13 macam insentif yang diberikan kepada investor untuk pengembangan energi panas bumi di sana. Bagaimana dengan Indonesia, di mana proyek energi panas bumi masih selalu terganjal soal perizinan hingga penolakan warga? Sebenarnya semua kendala itu bisa disingkirkan seandainya ada kesamaan pandangan dari seluruh penyelenggara negara di tingkat kementerian. Selama ini proyek energi panas bumi dimasukkan dalam kategori aktivitas pertambangan sehingga selalu terjebak aturan Kementerian Kehutanan soal hutan lindung.
Meski suatu lokasi potensial digarap, masuk dalam kawasan hutan lindung tak bisa disentuh. Padahal, status pengelolaan energi panas bumi hanya mengekstrak energi versi Kementerian ESDM. Dampaknya selama 25 tahun energi panas bumi jadilah lumbung energi yang tak tersentuh.
(nfl)