Setumpuk persoalan kepegawaian
A
A
A
KEPALA daerah nepotis akan dipidanakan. Inilah wacana terbaru yang diluncurkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bagi siapa pun kepala daerah yang terbukti mengangkat keluarga, kerabat, dan tim suksesnya menjadi pegawai honorer pemerintah daerah (pemda).
Ancaman serius tersebut dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemda yang tengah digodok pemerintah dengan DPR. Bila benar-benar terwujud, langkah tersebut patut diapresiasi karena tingkat nepotisme di pemerintah daerah, terutama di daerah-daerah, sudah begitu memprihatinkan.
Bahkan, sudah jamak, setiap kepala daerah yang baru terpilih memaksimalkan power yang dimiliki untuk membuat alokasi kepegawaian baru. Sebagian untuk keluarga, sebagian dijadikan sumber pemasukan untuk menutupi biaya kampanye, dan baru sisa lainnya diperuntukkan bagi khalayak umum. Kondisi tersebut sangat berbahaya jika diteruskan.
Nepotisme yang dibangun pada akhirnya akan berkembang menjadi kolusi dan korupsi, karena kepala daerah dan pegawai masih mempunyai hubungan kekerabatan atau politik. Mereka berpotensi saling mendukung untuk bersama-sama menggarong uang rakyat demi kepentingan perut mereka sendiri.
Di sisi lain, nepotisme yang tak terkendali juga bisa berdampak pada tingkat kualitas pemerintahan yang bersangkutan. Bagaimana tidak, pengutamaan terhadap keluarga tentu akan berdampak pada pertimbangan kualitas. Kepala daerah nepotis jelas tidak akan berpikir bagaimana merekrut kandidat pegawai terbaik agar bisa mendongkrak kualitas pemerintahan, tapi lagi-lagi hanya berpikir kepentingan sendiri.
Sejatinya, persoalan kepegawaian di pemerintah daerah sudah demikian memprihatinkan. Nepotisme proses rekrutmen pegawai hanya salah satu di antara beberapa akar persoalan. Persoalan lain di antaranya rekrutmen pegawai hanya sekadar ritual tahunan, bukan karena berdasar kebutuhan peningkatan pelayanan dan pemerintahan.
Rekrutmen pegawai juga sering kali tidak disertai job analysis, tanpa pengukuran beban kerja dan rasio jumlah pegawai dengan penduduk yang dilayani. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS. Lebih celaka lagi, banyak pemda melakukan rekrutmen pegawai tanpa mempertimbangkan beban anggaran.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sejumlah daerah presentasi anggaran untuk gaji pegawai ada yang mencapai hingga 80%. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut total anggaran pemerintah daerah yang dikeluarkan untuk biaya birokrasi angkanya mencapai 70% dari total anggaran.
Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani pernah mengatakan, kondisi tersebut mengakibatkan Indonesia kesulitan melakukan desain ekonomi. Bagaimana tidak, anggaran yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lenyap karena dimakan pegawai.
Gerojokan dana dari pusat yang meningkat, dari Rp292,4 triliun pada 2008 menjadi sekitar Rp529,4 triliun pada 2013, sangat mungkin tidak akan berujud menjadi jalan, saluran irigasi, peningkatan mutu pendidikan dan lainnya, tetapi akan menguap begitu saja. Kondisi tersebut bisa merupakan residu otonomi daerah.
Tetapi melihat kondisi yang demikian memprihatinkan, pemerintah harus berani mengambil celah intervensi untuk memberesi persoalan kepegawaian tersebut. Ancaman pidana terhadap bisa menjadi batu pijakan untuk membuat aturan-aturan tegas lainnya, dengan memanfaatkan pintu undang-undang terkait lainnya.
Tentu saja, aturan yang akan dibuat nantinya harus ditegakkan secara konsekuen, dan sebaliknya jangan hanya berhenti sebatas gertak sambal. Jika demikian yang terjadi, sudah pasti kondisinya akan bertambah parah.
Daerah akan stagnan karena pembangunan tidak jalan, dan lagi-lagi yang akan menjadi korban adalah masyarakat yang sudah terpinggirkan.
Ancaman serius tersebut dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemda yang tengah digodok pemerintah dengan DPR. Bila benar-benar terwujud, langkah tersebut patut diapresiasi karena tingkat nepotisme di pemerintah daerah, terutama di daerah-daerah, sudah begitu memprihatinkan.
Bahkan, sudah jamak, setiap kepala daerah yang baru terpilih memaksimalkan power yang dimiliki untuk membuat alokasi kepegawaian baru. Sebagian untuk keluarga, sebagian dijadikan sumber pemasukan untuk menutupi biaya kampanye, dan baru sisa lainnya diperuntukkan bagi khalayak umum. Kondisi tersebut sangat berbahaya jika diteruskan.
Nepotisme yang dibangun pada akhirnya akan berkembang menjadi kolusi dan korupsi, karena kepala daerah dan pegawai masih mempunyai hubungan kekerabatan atau politik. Mereka berpotensi saling mendukung untuk bersama-sama menggarong uang rakyat demi kepentingan perut mereka sendiri.
Di sisi lain, nepotisme yang tak terkendali juga bisa berdampak pada tingkat kualitas pemerintahan yang bersangkutan. Bagaimana tidak, pengutamaan terhadap keluarga tentu akan berdampak pada pertimbangan kualitas. Kepala daerah nepotis jelas tidak akan berpikir bagaimana merekrut kandidat pegawai terbaik agar bisa mendongkrak kualitas pemerintahan, tapi lagi-lagi hanya berpikir kepentingan sendiri.
Sejatinya, persoalan kepegawaian di pemerintah daerah sudah demikian memprihatinkan. Nepotisme proses rekrutmen pegawai hanya salah satu di antara beberapa akar persoalan. Persoalan lain di antaranya rekrutmen pegawai hanya sekadar ritual tahunan, bukan karena berdasar kebutuhan peningkatan pelayanan dan pemerintahan.
Rekrutmen pegawai juga sering kali tidak disertai job analysis, tanpa pengukuran beban kerja dan rasio jumlah pegawai dengan penduduk yang dilayani. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS. Lebih celaka lagi, banyak pemda melakukan rekrutmen pegawai tanpa mempertimbangkan beban anggaran.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sejumlah daerah presentasi anggaran untuk gaji pegawai ada yang mencapai hingga 80%. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut total anggaran pemerintah daerah yang dikeluarkan untuk biaya birokrasi angkanya mencapai 70% dari total anggaran.
Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani pernah mengatakan, kondisi tersebut mengakibatkan Indonesia kesulitan melakukan desain ekonomi. Bagaimana tidak, anggaran yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lenyap karena dimakan pegawai.
Gerojokan dana dari pusat yang meningkat, dari Rp292,4 triliun pada 2008 menjadi sekitar Rp529,4 triliun pada 2013, sangat mungkin tidak akan berujud menjadi jalan, saluran irigasi, peningkatan mutu pendidikan dan lainnya, tetapi akan menguap begitu saja. Kondisi tersebut bisa merupakan residu otonomi daerah.
Tetapi melihat kondisi yang demikian memprihatinkan, pemerintah harus berani mengambil celah intervensi untuk memberesi persoalan kepegawaian tersebut. Ancaman pidana terhadap bisa menjadi batu pijakan untuk membuat aturan-aturan tegas lainnya, dengan memanfaatkan pintu undang-undang terkait lainnya.
Tentu saja, aturan yang akan dibuat nantinya harus ditegakkan secara konsekuen, dan sebaliknya jangan hanya berhenti sebatas gertak sambal. Jika demikian yang terjadi, sudah pasti kondisinya akan bertambah parah.
Daerah akan stagnan karena pembangunan tidak jalan, dan lagi-lagi yang akan menjadi korban adalah masyarakat yang sudah terpinggirkan.
(nfl)