Pemerintah masih temui banyak masalah sanitasi dan air minum
A
A
A
Sindonews.com - Penyediaan sarana sanitasi dan air minum masih menemui banyak hambatan. Terkait dengan payung hukum, pembiayaan, infrastruktur, hingga minimnya perhatian pemerintah daerah (pemda) terhadap penyediaan fasilitas.
Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Djoko Mursito mengatakan, tantangan dalam penyediaan air minum antara lain seperti tingkat pertambahan cakupan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan yang belum dapat pesatnya pertumbuhan penduduk.
Selain itu tingkat kehilangan air yang relatif masih tinggi pada sistem perpipaan yaitu rata-rata 3,7 persen. Dia mengatakan, kontaminasi pada jaringan distribusi menyebabkan kualitas air tidak layak dikonsumsi secara langsung. Tantangan dalam pembiayaan antara lain komitmen dan kepedulian pemerintah daerah masih rendah dan belum adanya pengembangan sumber pembiayaan alternatif.
"Tarif air minum masih jauh dari harga yang dibutuhkan untuk pengoperasian juga belum diterapkannya tarif full cost recovery masih rendah," tandasnya saat ditemui dalam konfrensi Pers KSAN 2013, di Jakarta, Jumat (18/10/2013).
Dalam hal ini tantangan dalam kapasitas pengembangan banyak peraturan daerah (perda) terkait penyediaan air minum dan sanitasi untuk mendukung operasional. Keberadaan perda sangat penting karena mengatur petunjuk teknis dan tertulis dari pengembangan sistem sanitasi dan penyediaan air minum di daerah.
Penyediaan air baku juga belum didukung kapasitas daya dukung dan kualitas air baku di berbagai lokasi. Pemerintah umumnya belum memiliki perencanaan terhadap kebutuhan air baku. Selain itu konflik antar wilayah dan antar pengguna atas dpenggunaan sumber daya air kerap terjadi.
"Saat ini capaian akses sanitasi layak khususnya air limbah baru mencapai 57,35 persen pada akhir 2012. Sementara capaian di bidang persampahan baru 56,20 persen timbulan sampah yang terangkut ke lokasi pembuangan akhir," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pelaksanaan pembangunan sarana sanitasi juga belum terlaksana secara maksimal karena jumlah air buangan yang harus dikelola semakin banyak.
Kompleksitas tatanan permukiman di perkotaan dan lingkungan padat penduduk membuat sulit mencari lahan yang layak untuk pembangunan infrastruktur sanitasi. Seiring dengan itu biaya pembangunan infrastruktur dan biaya operasional semakin meningkat sejalan dengan semakin sulitnya membangun di kawasan perkotaan. Djoko mengatakan masih sedikit Kabupaten Kota yang memiliki perda pengelolaan sanitasi.
Sementara itu, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy Supriadi Priatna mengatakan kondisi umum sanitasi di Indonesia sebagian besar masih kurang layak.
Bappenas menargetkan melakukan perbaikan fasilitas sanitasi dan air minum yang layak yang mencapai 100 persen pada 2019. Namun dibutuhkan dana sebesar Rp660 triliun untuk perbaikan seluruh fasilitas sanitasi dan air minum. Saat ini sarana sanitasi dan air minum yang layak di Indonesia masih berkisar di angka 55 perrsen. Sebanyak 45persen lainnya masih terhitung tidak layak sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp67 triliun.
Terkait dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 setidaknya sebanyak 68,87 persen penduduk harus sudah mendapatkan akses air minum yang layak dan sebanyak 62,41 persen penduduk harus sudah memiliki akses sanitasi layak.
Dia mengatakan, terdapat selisih yang harus dipenuhi untuk mencapai target sebesar 10,82 persen untuk air minum dan 5,06 persen untuk sanitasi.
Baca juga berita Dinas PU Pengairan klaim 9 waduk di Jatim aman.
Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Djoko Mursito mengatakan, tantangan dalam penyediaan air minum antara lain seperti tingkat pertambahan cakupan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan yang belum dapat pesatnya pertumbuhan penduduk.
Selain itu tingkat kehilangan air yang relatif masih tinggi pada sistem perpipaan yaitu rata-rata 3,7 persen. Dia mengatakan, kontaminasi pada jaringan distribusi menyebabkan kualitas air tidak layak dikonsumsi secara langsung. Tantangan dalam pembiayaan antara lain komitmen dan kepedulian pemerintah daerah masih rendah dan belum adanya pengembangan sumber pembiayaan alternatif.
"Tarif air minum masih jauh dari harga yang dibutuhkan untuk pengoperasian juga belum diterapkannya tarif full cost recovery masih rendah," tandasnya saat ditemui dalam konfrensi Pers KSAN 2013, di Jakarta, Jumat (18/10/2013).
Dalam hal ini tantangan dalam kapasitas pengembangan banyak peraturan daerah (perda) terkait penyediaan air minum dan sanitasi untuk mendukung operasional. Keberadaan perda sangat penting karena mengatur petunjuk teknis dan tertulis dari pengembangan sistem sanitasi dan penyediaan air minum di daerah.
Penyediaan air baku juga belum didukung kapasitas daya dukung dan kualitas air baku di berbagai lokasi. Pemerintah umumnya belum memiliki perencanaan terhadap kebutuhan air baku. Selain itu konflik antar wilayah dan antar pengguna atas dpenggunaan sumber daya air kerap terjadi.
"Saat ini capaian akses sanitasi layak khususnya air limbah baru mencapai 57,35 persen pada akhir 2012. Sementara capaian di bidang persampahan baru 56,20 persen timbulan sampah yang terangkut ke lokasi pembuangan akhir," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pelaksanaan pembangunan sarana sanitasi juga belum terlaksana secara maksimal karena jumlah air buangan yang harus dikelola semakin banyak.
Kompleksitas tatanan permukiman di perkotaan dan lingkungan padat penduduk membuat sulit mencari lahan yang layak untuk pembangunan infrastruktur sanitasi. Seiring dengan itu biaya pembangunan infrastruktur dan biaya operasional semakin meningkat sejalan dengan semakin sulitnya membangun di kawasan perkotaan. Djoko mengatakan masih sedikit Kabupaten Kota yang memiliki perda pengelolaan sanitasi.
Sementara itu, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy Supriadi Priatna mengatakan kondisi umum sanitasi di Indonesia sebagian besar masih kurang layak.
Bappenas menargetkan melakukan perbaikan fasilitas sanitasi dan air minum yang layak yang mencapai 100 persen pada 2019. Namun dibutuhkan dana sebesar Rp660 triliun untuk perbaikan seluruh fasilitas sanitasi dan air minum. Saat ini sarana sanitasi dan air minum yang layak di Indonesia masih berkisar di angka 55 perrsen. Sebanyak 45persen lainnya masih terhitung tidak layak sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp67 triliun.
Terkait dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 setidaknya sebanyak 68,87 persen penduduk harus sudah mendapatkan akses air minum yang layak dan sebanyak 62,41 persen penduduk harus sudah memiliki akses sanitasi layak.
Dia mengatakan, terdapat selisih yang harus dipenuhi untuk mencapai target sebesar 10,82 persen untuk air minum dan 5,06 persen untuk sanitasi.
Baca juga berita Dinas PU Pengairan klaim 9 waduk di Jatim aman.
(lal)