Mencari titik temu pro-kontra UN
A
A
A
DI mana titik temu prokontra pelaksanaan ujian nasional (UN)? Setelah konvensi UN digelar, dengan diawali kegiatan prakonvensi di tiga kota yaitu Makassar, Bali, dan Medan kini publik makin jelas, kenapa bisa terjadi pro-kontra dan kenapa pemerintah memutuskan tahun depan UN tetap digelar?
Tulisan berikut ingin mencoba menjawab serangkaian pertanyaan itu dari sudut pandang kelompok yang mendukung UN. Tentu saja mereka yang pro pun harus diberikan tempat untuk menjelaskan pola pikir yang diyakininya kepada publik agar masyarakat mendapatkan secara gamblang dan terang benderang kenapa terjadi perbedaan. Dari kacamata inilah, ada yang mengatakan UN adalah bentuk dari ketidakadilan.
Mereka berpendapat, bagaimana mungkin sekolah dengan sarana dan prasarana yang kurang diberikan soal sama masih dapat diperdebatkan. Logikanya, belum tentu ketika sekolah dengan sarana dan prasarana yang kurang itu rela begitu saja tidak diikutsertakan dalam pelaksanaan UN yang dalam konsep pemerintah, UN tidak hanya bertujuan untuk pemetaan, tapi juga seleksi, kelulusan, dan pembinaan secara berkesinambungan, berkala, dan menyeluruh, sebagaimana tertuang dalam PP 19/ 2005 (jo, PP 32/ 2013) tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 68.
Atas dasar itulah, pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sama yakni standar nasional. Bagaimana bisa membandingkan sekolah satu dengan lain dinyatakan lebih baik jika alat ukur yang digunakan berbeda. Demikian pula untuk menghasilkan peta yang sesungguhnya, baik terhadap peserta didik, satuan pendidikan, maupun kelembagaan, UN tetap harus dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan bagi siswa sehingga saat peserta didik mengerjakan UN, mereka pun sungguh-sungguh dan penuh persiapan melakukannya karena punya konsekuensi terhadap lulus dan tidak peserta didik.
Jika peta sudah diperoleh, analisis hasil UN sudah dilakukan dengan berbagai macam variasi, barulah upaya untuk melakukan pembenahan dalam makna pembinaan secara berkesinambungan, berkala, dan menyeluruh dilakukan. Jika tidak, bagaimana mungkin mau melakukan itu karena tidak pernah dilakukan pengukuran atau evaluasi, dalam hal ini UN. Kalaupun misalnya tetap bisa dilakukan, diyakini hasilnya tidak optimum karena peta yang dimilikinya bukan peta yang nilai akurasinya tinggi.
Sudah ada fakta bahwa upaya intervensi yang dilakukan pemerintahdari hasil analisis UN tahun sebelumnya membuahkan hasil positif. Melalui UN-lah bisa diketahui indeks kompetensi sekolah baik secara nasional, provinsi, kabupaten/ kota, hingga indeks kompetensi siswa.
Beda sudut pandang
Dari sinilah terlihat bahwa perbedaan itu lebih banyak disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Bagi pemerintah, dalam kapasitasnya memberikan pelayanan pendidikan yang optimal, tentu kedudukannya bukan ingin meniadakan pendapat satu dan lain, melainkan lebih pada bagaimana menampung sekaligus mewadahi keinginan yang ada dan berkembang di publik.
Sedikitnya ada empat keinginan publik tentang UN. Pertama, kelompok yang menghendaki UN hanya untuk pemetaan. Kedua, UN untuk menentukan kelulusan. Ketiga, UN untuk menempuh ke jenjang pendidikan berikutnya. Keempat, UN untuk pembinaan dan peningkatan mutu.
Dari empat keinginan publik itulah, pemerintah yang diamanati untuk membuat peraturan pemerintah (PP) sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas Pasal 59 ayat (3) kemudian membuat PP tentang pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005 (jo, PP 32/ 2013) tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 68, di mana UN menjadi satu kesatuan utuh, baik untuk pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan secara berkesinambungan, berkala, dan menyeluruh.
Dalam kedudukan inilah rasanya tidak bijak ketika ada yang mengatakan bahwa PP itu ”anak haram” karena lahir dari amanat UU yang hingga kini masih berlaku. Jika merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) No 2596/D/PDT/ 2008 pun, tidak ada sesuatu yang dilanggar pemerintah karena putusannya bukan meniadakan UU Sisdiknas atau menghapuskan PP, pun tidak untuk melarang pelaksanaan UN, melainkan memerintahkan kepada para tergugat untuk (i) meningkatkan kualitas guru, (ii) melengkapi sarana dan prasarana sekolah, (iii) menyediakan akses informasi yang lengkap, (iv) mengambil langkah konkret untuk mengatasi dampak psikologis dan mental peserta UN, serta (v) meninjau kembali sistem pendidikan nasional.
Justru yang jarang diungkap adalah salah satu pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa majelis sangat setuju konsep UAN/UN karena bertujuan baik yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Inilah keyakinan dari mereka yang pro terhadap UN. Belum lagi jika bicara manfaat dari pelaksanaan UN.
Dari pengolahan dan analisis hasil UN dapat diperoleh dan diketahui dengan pasti titik lemah berkait kompetensi peserta didik, ketersediaan sarana-prasarana pendidikan (baca: ruang kelas, laboratorium, akreditasi, dan lainnya), dan kualifikasi tenaga pendidik.
Titik temu
Sebenarnya, baik yang pro maupun kontra jika melihat payung hukum yang digunakan— dalam hal ini UU Sisdiknas—sudah menemukan titik temu. Perbedaan lebih terjadi karena pasal yang digunakan hanya sebagian, tidak utuh. Padahal diketahui, pasal dalam sebuah UU antara satu dan lain saling kait-mengait, tidak bisa berdiri sendiri.
Benar dan memang tidak bisa dibantah bahwa Pasal 58 ayat (1) menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ini yang selama ini dilakukan pendidik di dalam menentukan peserta didik untuk naik atau tidak ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Proses ini sebagai bagian dari evaluasi internal.
Mereka yang kontra UN kerapkali hanya menggunakan dan membaca ayat (1) ini, tidak melanjutkannya ke ayat (2) yang menyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Proses ini dikenal sebagai evaluasi eksternal dan lembaga mandiri yang menyelenggarakannya itu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Di sinilah sesungguhnya letak perbedaan yang memunculkan pro-kontra terhadap UN. Karena dibaca tidak utuh, penalarannya pun tidak sempurna dan ketidaksempurnaan inilah yang mengundang pro-kontra.
Seandainya saja semua memahami akan arti penting dan strategisnya UN, titik temu terhadap penyelenggaraan UN segera menemukan jawaban. Bagi pemerintah, sepanjang UU-nya masih berlaku, tentu menjadi keharusan untuk tetap menjalankan amanah UU. Jika tidak, justru pemerintah dianggap tidak patuh di dalam menjalankan perintah UU.
Terhadap putusan MA, meminjam bahasa Mendikbud Mohammad Nuh, diperintah ataupun tidak, bagi Kemdikbud, meningkatkan kualitas guru, melengkapi sarana dan prasarana sekolah, serta menyediakan akses informasi adalah bagian dari tugas pokok dan fungsi yang memang menjadi program kementerian.
SUKEMI
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
Tulisan berikut ingin mencoba menjawab serangkaian pertanyaan itu dari sudut pandang kelompok yang mendukung UN. Tentu saja mereka yang pro pun harus diberikan tempat untuk menjelaskan pola pikir yang diyakininya kepada publik agar masyarakat mendapatkan secara gamblang dan terang benderang kenapa terjadi perbedaan. Dari kacamata inilah, ada yang mengatakan UN adalah bentuk dari ketidakadilan.
Mereka berpendapat, bagaimana mungkin sekolah dengan sarana dan prasarana yang kurang diberikan soal sama masih dapat diperdebatkan. Logikanya, belum tentu ketika sekolah dengan sarana dan prasarana yang kurang itu rela begitu saja tidak diikutsertakan dalam pelaksanaan UN yang dalam konsep pemerintah, UN tidak hanya bertujuan untuk pemetaan, tapi juga seleksi, kelulusan, dan pembinaan secara berkesinambungan, berkala, dan menyeluruh, sebagaimana tertuang dalam PP 19/ 2005 (jo, PP 32/ 2013) tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 68.
Atas dasar itulah, pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang sama yakni standar nasional. Bagaimana bisa membandingkan sekolah satu dengan lain dinyatakan lebih baik jika alat ukur yang digunakan berbeda. Demikian pula untuk menghasilkan peta yang sesungguhnya, baik terhadap peserta didik, satuan pendidikan, maupun kelembagaan, UN tetap harus dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan bagi siswa sehingga saat peserta didik mengerjakan UN, mereka pun sungguh-sungguh dan penuh persiapan melakukannya karena punya konsekuensi terhadap lulus dan tidak peserta didik.
Jika peta sudah diperoleh, analisis hasil UN sudah dilakukan dengan berbagai macam variasi, barulah upaya untuk melakukan pembenahan dalam makna pembinaan secara berkesinambungan, berkala, dan menyeluruh dilakukan. Jika tidak, bagaimana mungkin mau melakukan itu karena tidak pernah dilakukan pengukuran atau evaluasi, dalam hal ini UN. Kalaupun misalnya tetap bisa dilakukan, diyakini hasilnya tidak optimum karena peta yang dimilikinya bukan peta yang nilai akurasinya tinggi.
Sudah ada fakta bahwa upaya intervensi yang dilakukan pemerintahdari hasil analisis UN tahun sebelumnya membuahkan hasil positif. Melalui UN-lah bisa diketahui indeks kompetensi sekolah baik secara nasional, provinsi, kabupaten/ kota, hingga indeks kompetensi siswa.
Beda sudut pandang
Dari sinilah terlihat bahwa perbedaan itu lebih banyak disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Bagi pemerintah, dalam kapasitasnya memberikan pelayanan pendidikan yang optimal, tentu kedudukannya bukan ingin meniadakan pendapat satu dan lain, melainkan lebih pada bagaimana menampung sekaligus mewadahi keinginan yang ada dan berkembang di publik.
Sedikitnya ada empat keinginan publik tentang UN. Pertama, kelompok yang menghendaki UN hanya untuk pemetaan. Kedua, UN untuk menentukan kelulusan. Ketiga, UN untuk menempuh ke jenjang pendidikan berikutnya. Keempat, UN untuk pembinaan dan peningkatan mutu.
Dari empat keinginan publik itulah, pemerintah yang diamanati untuk membuat peraturan pemerintah (PP) sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas Pasal 59 ayat (3) kemudian membuat PP tentang pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005 (jo, PP 32/ 2013) tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 68, di mana UN menjadi satu kesatuan utuh, baik untuk pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan secara berkesinambungan, berkala, dan menyeluruh.
Dalam kedudukan inilah rasanya tidak bijak ketika ada yang mengatakan bahwa PP itu ”anak haram” karena lahir dari amanat UU yang hingga kini masih berlaku. Jika merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) No 2596/D/PDT/ 2008 pun, tidak ada sesuatu yang dilanggar pemerintah karena putusannya bukan meniadakan UU Sisdiknas atau menghapuskan PP, pun tidak untuk melarang pelaksanaan UN, melainkan memerintahkan kepada para tergugat untuk (i) meningkatkan kualitas guru, (ii) melengkapi sarana dan prasarana sekolah, (iii) menyediakan akses informasi yang lengkap, (iv) mengambil langkah konkret untuk mengatasi dampak psikologis dan mental peserta UN, serta (v) meninjau kembali sistem pendidikan nasional.
Justru yang jarang diungkap adalah salah satu pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa majelis sangat setuju konsep UAN/UN karena bertujuan baik yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Inilah keyakinan dari mereka yang pro terhadap UN. Belum lagi jika bicara manfaat dari pelaksanaan UN.
Dari pengolahan dan analisis hasil UN dapat diperoleh dan diketahui dengan pasti titik lemah berkait kompetensi peserta didik, ketersediaan sarana-prasarana pendidikan (baca: ruang kelas, laboratorium, akreditasi, dan lainnya), dan kualifikasi tenaga pendidik.
Titik temu
Sebenarnya, baik yang pro maupun kontra jika melihat payung hukum yang digunakan— dalam hal ini UU Sisdiknas—sudah menemukan titik temu. Perbedaan lebih terjadi karena pasal yang digunakan hanya sebagian, tidak utuh. Padahal diketahui, pasal dalam sebuah UU antara satu dan lain saling kait-mengait, tidak bisa berdiri sendiri.
Benar dan memang tidak bisa dibantah bahwa Pasal 58 ayat (1) menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ini yang selama ini dilakukan pendidik di dalam menentukan peserta didik untuk naik atau tidak ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Proses ini sebagai bagian dari evaluasi internal.
Mereka yang kontra UN kerapkali hanya menggunakan dan membaca ayat (1) ini, tidak melanjutkannya ke ayat (2) yang menyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Proses ini dikenal sebagai evaluasi eksternal dan lembaga mandiri yang menyelenggarakannya itu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Di sinilah sesungguhnya letak perbedaan yang memunculkan pro-kontra terhadap UN. Karena dibaca tidak utuh, penalarannya pun tidak sempurna dan ketidaksempurnaan inilah yang mengundang pro-kontra.
Seandainya saja semua memahami akan arti penting dan strategisnya UN, titik temu terhadap penyelenggaraan UN segera menemukan jawaban. Bagi pemerintah, sepanjang UU-nya masih berlaku, tentu menjadi keharusan untuk tetap menjalankan amanah UU. Jika tidak, justru pemerintah dianggap tidak patuh di dalam menjalankan perintah UU.
Terhadap putusan MA, meminjam bahasa Mendikbud Mohammad Nuh, diperintah ataupun tidak, bagi Kemdikbud, meningkatkan kualitas guru, melengkapi sarana dan prasarana sekolah, serta menyediakan akses informasi adalah bagian dari tugas pokok dan fungsi yang memang menjadi program kementerian.
SUKEMI
Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
(nfl)