Momentum KTT APEC
A
A
A
TAHUN depan perekonomian nasional berpotensi tumbuh hingga 5,8% seiring meredanya isu-isu global yang menekan perekonomian dunia dan paket kebijakan pemerintah yang mulai berbuah, terutama berkaitan dengan perbaikan neraca perdagangan yang kini mencatat surplus pada Agustus lalu.
Prediksi pertumbuhan tersebut belum memperhitungkan dampak positif dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang berakhir hari ini di Bali. Dengan catatan, pemerintah dapat memanfaatkan momentum KTT APEC tersebut. Selama ini pemerintah piawai menciptakan momentum positif bagi pertumbuhan perekonomian, namun momentum tersebut seringkali dibiarkan berlalu begitu saja.
Setidaknya, KTT APEC telah melahirkan sebuah optimisme akan pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan nasib usaha kecil dan menengah (UKM) yang kini menjadi fokus perhatian kerja sama dalam forum bergengsi di Asia-Pasifik itu. Selain itu, urusan menarik investasi asing untuk menggerakkan roda pembangunan negeri ini juga mendapat perhatian serius dari peserta APEC.
Dalam urusan UKM, pemerintah memandang begitu penting membuka akses terhadap negara-negara di Asia-Pasifik. Tak kurang dari 52 juta penduduk Indonesia menghidupkan dapur UKM. Namun, sungguh ironis, UKM yang bisa mengakses lembaga keuangan begitu terbatas. Kabarnya, baru sekitar 25% atau 13 juta UKM yang bisa menikmati fasilitas pembiayaan dari lembaga keuangan. Belum bicara soal akses pasar yang masih terbatas.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa UKM telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Data dari Kementerian UKM dan Koperasi menunjukkan, sebanyak 97% tenaga kerja Indonesia diakomodasi dalam UKM pada 2011. Harus dicatat, UKM menjadi penyumbang terbesar dalam produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 60%. Sejarah telah membuktikan, berkat peran UKM, perekonomian nasional yang tersapu krisis pada 1998 bisa bertahan, sementara usaha konglomerasi tumbang satu per satu.
Karena itu, wajar para wakil pemerintah dalam pertemuan tingkat menteri merasa lega ketika disepakati UKM menjadi salah satu fokus perhatian kerja sama APEC. Dalam kaitan menarik investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, pemerintah mencoba membuka mata para peserta KTT APEC dengan membeberkan sejumlah keberhasilan perekonomian Indonesia yang berpotensi besar bagi investor untuk menuai keuntungan.
Peluang bisnis di Indonesia, berdasarkan survei McKinsey, diprediksi meningkat hingga USD1,8 triliun pada 2030, di mana berbagai sektor akan terbuka luas mulai dari layanan konsumen, perikanan, pertanian, sumber daya untuk pendidikan, hingga infrastruktur. Saat ini Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pendapatan domestik yang besar yang ditopang oleh pertumbuhan kelas menengah yang terus bertambah signifikan setiap tahun.
Betulkah Indonesia masih menarik buat investor dibandingkan dengan negara lain misalnya Filipina yang pertumbuhan ekonominya mencatat di atas 7% atau Vietnam yang begitu ramah terhadap investor dengan berbagai kebijakan yang bersahabat, termasuk urusan buruh yang tidak rewel?
Yang pasti, Price water house Coopers (PwC) telah menyurvei 500 chief executive officers (CEO) di negara Asia-Pasifik mengungkapkan, sekitar 68% menyatakan siap meningkatkan investasinya beberapa tahun ke depan pada tiga negara tujuan utama yakni China tujuan pertama, Indonesia posisi kedua, dan Amerika Serikat di urutan ketiga. Survei PwC yang bertajuk “Menuju Ketahanan dan Pertumbuhan: Bisnis di Asia-Pasifik dalam Transisi” itu sungguh membesarkan hati bahwa negeri yang terus dirundung persoalan yang justru bersumber dari penyelenggara negara itu sendiri masih dilirik oleh investor asing. Kasus teranyar adalah dugaan suap terhadap ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi benteng terakhir pencari keadilan pun bobol.
Kasus MK yang meruntuhkan kepastian hukum selain menjadi sorotan media internasional juga menjadi perbincangan yang hangat di antara CEO yang hadir di pertemuan APEC. Padahal, kita paham semua persoalan kepastian hukum salah satu prasyarat utama yang diajukan investor sebelum menanamkan modal. Jadi?
Prediksi pertumbuhan tersebut belum memperhitungkan dampak positif dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang berakhir hari ini di Bali. Dengan catatan, pemerintah dapat memanfaatkan momentum KTT APEC tersebut. Selama ini pemerintah piawai menciptakan momentum positif bagi pertumbuhan perekonomian, namun momentum tersebut seringkali dibiarkan berlalu begitu saja.
Setidaknya, KTT APEC telah melahirkan sebuah optimisme akan pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan nasib usaha kecil dan menengah (UKM) yang kini menjadi fokus perhatian kerja sama dalam forum bergengsi di Asia-Pasifik itu. Selain itu, urusan menarik investasi asing untuk menggerakkan roda pembangunan negeri ini juga mendapat perhatian serius dari peserta APEC.
Dalam urusan UKM, pemerintah memandang begitu penting membuka akses terhadap negara-negara di Asia-Pasifik. Tak kurang dari 52 juta penduduk Indonesia menghidupkan dapur UKM. Namun, sungguh ironis, UKM yang bisa mengakses lembaga keuangan begitu terbatas. Kabarnya, baru sekitar 25% atau 13 juta UKM yang bisa menikmati fasilitas pembiayaan dari lembaga keuangan. Belum bicara soal akses pasar yang masih terbatas.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa UKM telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Data dari Kementerian UKM dan Koperasi menunjukkan, sebanyak 97% tenaga kerja Indonesia diakomodasi dalam UKM pada 2011. Harus dicatat, UKM menjadi penyumbang terbesar dalam produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 60%. Sejarah telah membuktikan, berkat peran UKM, perekonomian nasional yang tersapu krisis pada 1998 bisa bertahan, sementara usaha konglomerasi tumbang satu per satu.
Karena itu, wajar para wakil pemerintah dalam pertemuan tingkat menteri merasa lega ketika disepakati UKM menjadi salah satu fokus perhatian kerja sama APEC. Dalam kaitan menarik investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, pemerintah mencoba membuka mata para peserta KTT APEC dengan membeberkan sejumlah keberhasilan perekonomian Indonesia yang berpotensi besar bagi investor untuk menuai keuntungan.
Peluang bisnis di Indonesia, berdasarkan survei McKinsey, diprediksi meningkat hingga USD1,8 triliun pada 2030, di mana berbagai sektor akan terbuka luas mulai dari layanan konsumen, perikanan, pertanian, sumber daya untuk pendidikan, hingga infrastruktur. Saat ini Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pendapatan domestik yang besar yang ditopang oleh pertumbuhan kelas menengah yang terus bertambah signifikan setiap tahun.
Betulkah Indonesia masih menarik buat investor dibandingkan dengan negara lain misalnya Filipina yang pertumbuhan ekonominya mencatat di atas 7% atau Vietnam yang begitu ramah terhadap investor dengan berbagai kebijakan yang bersahabat, termasuk urusan buruh yang tidak rewel?
Yang pasti, Price water house Coopers (PwC) telah menyurvei 500 chief executive officers (CEO) di negara Asia-Pasifik mengungkapkan, sekitar 68% menyatakan siap meningkatkan investasinya beberapa tahun ke depan pada tiga negara tujuan utama yakni China tujuan pertama, Indonesia posisi kedua, dan Amerika Serikat di urutan ketiga. Survei PwC yang bertajuk “Menuju Ketahanan dan Pertumbuhan: Bisnis di Asia-Pasifik dalam Transisi” itu sungguh membesarkan hati bahwa negeri yang terus dirundung persoalan yang justru bersumber dari penyelenggara negara itu sendiri masih dilirik oleh investor asing. Kasus teranyar adalah dugaan suap terhadap ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi benteng terakhir pencari keadilan pun bobol.
Kasus MK yang meruntuhkan kepastian hukum selain menjadi sorotan media internasional juga menjadi perbincangan yang hangat di antara CEO yang hadir di pertemuan APEC. Padahal, kita paham semua persoalan kepastian hukum salah satu prasyarat utama yang diajukan investor sebelum menanamkan modal. Jadi?
(nfl)