Memanfaatkan APEC
A
A
A
PERTEMUAN puncak negara-negara Asia-Pasifik yang tergabung dalam APEC 2013 akan dimulai hari ini di Bali. Ini untuk ke sekian kali, Bali menjadi tempat bersejarah untuk membuat keputusan-keputusan penting para pemimpin dunia yang menentukan nasib ekonomi dan politik global.
Sebagai tuan rumah pertemuan para pemimpin 21 negara, Indonesia mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan forum penting ini. Di sinilah tempat para diplomat kita untuk melakukan lobi-lobi tingkat tinggi, guna memuluskan target-target kepentingan nasional dalam berbagai bidang dengan negara lain. Pejabat tingkat menteri dan kalangan pebisnis telah melakukan pertemuan intens sepekan sebelumnya.
Agenda-agenda bisnis dan perdagangan menjadi bahasan penting, termasuk soal-soal yang terkait masalah sosial, politik, dan keamanan. Apa target Indonesia dalam forum APEC ini? Pemerintah bertekad melaksanakan deklarasi Bogor Goals 1994, yakni menciptakan liberalisasi sistem perdagangan dan investasi di negara maju tahun 2010 dan di negara berkembang tahun 2020.
Bogor Goals juga mengamanatkan penciptaan sistem perdagangan multilateral yang terbuka, percepatan liberalisasi dengan menurunkan hambatan perdagangan dan investasi dalam kerangka kerja sama Asia-Pasifik yang lebih erat. Dalam hal ini, Indonesia dan Amerika Serikat bersepakat mempercepat liberalisasi barang dan jasa yang ramah lingkungan dari rencana 2020 menjadi 2015.
Selain deklarasi Bogor Goals, Indonesia juga akan mengusung isu peningkatan pembangunan jaringan suplai global yang tentunya sangat penting bagi Indonesia dalam hal pemenuhan ketahanan pangan dan energi. Menteri Perdagangan Gita Wiryawan dalam pertemuan tingkat menteri APEC di Davos Januari lalu dengan tegas menyampaikan kesiapan Indonesia menjadi tuan rumah APEC dengan sejumlah agenda penting seperti di atas.
Dalam forum itu, Gita juga menegaskan akan berjuang memasukkan produk minyak kelapa sawit (CPO) dan karet dalam daftar APEC Environmental Goods (EGs) yaitu komoditas perdagangan yang ramah lingkungan. Istilah ramah lingkungan dan kelestarian menjadi hal yang sangat sensitif bagi Indonesia. Dua isu inilah yang sering kali mematikan daya saing komoditas Indonesia yang cukup laku di pasar perdagangan dunia seperti CPO, karet, dan batu bara.
Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia dengan total produksi hingga 25 juta ton (2012). Dari jumlah itu, konsumsi dalam negeri hanya sekitar 7 juta ton, sehingga sisanya sekitar 18 juta ton diekspor ke berbagai negara. CPO adalah komoditas multifungsi yang bisa menjadi bahan makanan, kosmetik, obat hingga biofuel. Karena itu, komoditi ini dinilai sangat layak menjadi fokus negara di tengah menurunnya ekspor migas dan defisitnya neraca perdagangan.
Namun di pasar dunia, CPO mengalami banyak tantangan sehingga sejumlah negara memberlakukan hambatan tarif dan nontarif untuk mematikan daya saing produk ini. Namun kabar yang terdengar di tengah hiruk-pikuk lobi-lobi tingkat tinggi di Bali, CPO tidak masuk daftar APEC Environmental Goods (EGs) seperti dijanjikan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan.
Jelang pertemuan puncak, tidak ada tanda-tanda CPO bakal masuk dalam daftar produk ramah lingkungan versi APEC. Ini tentu menjadi masalah besar bagi kesungguhan Indonesia sebagai tuan rumah APEC. Tuan rumah dalam konteks pertemuan tingkat tinggi tentu saja bukan sekadar tuan rumah. Target minimalnya memang menyelenggarakan APEC dengan aman dan sukses kemudian mendapat pujian.
Tapi apa cukup sampai di situ? Bagaimana dengan substansi masalah yang menghambat barang-barang kita di luar negeri? Bukankah kerja sama itu intinya win-win atau saling menguntungkan? Bukankah kita sudah begitu baik membuka hampir semua kran impor kepada barangbarang dari luar?
Lalu, bagaimana dengan barang-barang andalan kita yang terus diganjal di luar negeri? Bukankah itu masalah inti yang harus dituntaskan dalam APEC? Ini yang harus dijawab pemerintah.
Sebagai tuan rumah pertemuan para pemimpin 21 negara, Indonesia mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan forum penting ini. Di sinilah tempat para diplomat kita untuk melakukan lobi-lobi tingkat tinggi, guna memuluskan target-target kepentingan nasional dalam berbagai bidang dengan negara lain. Pejabat tingkat menteri dan kalangan pebisnis telah melakukan pertemuan intens sepekan sebelumnya.
Agenda-agenda bisnis dan perdagangan menjadi bahasan penting, termasuk soal-soal yang terkait masalah sosial, politik, dan keamanan. Apa target Indonesia dalam forum APEC ini? Pemerintah bertekad melaksanakan deklarasi Bogor Goals 1994, yakni menciptakan liberalisasi sistem perdagangan dan investasi di negara maju tahun 2010 dan di negara berkembang tahun 2020.
Bogor Goals juga mengamanatkan penciptaan sistem perdagangan multilateral yang terbuka, percepatan liberalisasi dengan menurunkan hambatan perdagangan dan investasi dalam kerangka kerja sama Asia-Pasifik yang lebih erat. Dalam hal ini, Indonesia dan Amerika Serikat bersepakat mempercepat liberalisasi barang dan jasa yang ramah lingkungan dari rencana 2020 menjadi 2015.
Selain deklarasi Bogor Goals, Indonesia juga akan mengusung isu peningkatan pembangunan jaringan suplai global yang tentunya sangat penting bagi Indonesia dalam hal pemenuhan ketahanan pangan dan energi. Menteri Perdagangan Gita Wiryawan dalam pertemuan tingkat menteri APEC di Davos Januari lalu dengan tegas menyampaikan kesiapan Indonesia menjadi tuan rumah APEC dengan sejumlah agenda penting seperti di atas.
Dalam forum itu, Gita juga menegaskan akan berjuang memasukkan produk minyak kelapa sawit (CPO) dan karet dalam daftar APEC Environmental Goods (EGs) yaitu komoditas perdagangan yang ramah lingkungan. Istilah ramah lingkungan dan kelestarian menjadi hal yang sangat sensitif bagi Indonesia. Dua isu inilah yang sering kali mematikan daya saing komoditas Indonesia yang cukup laku di pasar perdagangan dunia seperti CPO, karet, dan batu bara.
Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia dengan total produksi hingga 25 juta ton (2012). Dari jumlah itu, konsumsi dalam negeri hanya sekitar 7 juta ton, sehingga sisanya sekitar 18 juta ton diekspor ke berbagai negara. CPO adalah komoditas multifungsi yang bisa menjadi bahan makanan, kosmetik, obat hingga biofuel. Karena itu, komoditi ini dinilai sangat layak menjadi fokus negara di tengah menurunnya ekspor migas dan defisitnya neraca perdagangan.
Namun di pasar dunia, CPO mengalami banyak tantangan sehingga sejumlah negara memberlakukan hambatan tarif dan nontarif untuk mematikan daya saing produk ini. Namun kabar yang terdengar di tengah hiruk-pikuk lobi-lobi tingkat tinggi di Bali, CPO tidak masuk daftar APEC Environmental Goods (EGs) seperti dijanjikan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan.
Jelang pertemuan puncak, tidak ada tanda-tanda CPO bakal masuk dalam daftar produk ramah lingkungan versi APEC. Ini tentu menjadi masalah besar bagi kesungguhan Indonesia sebagai tuan rumah APEC. Tuan rumah dalam konteks pertemuan tingkat tinggi tentu saja bukan sekadar tuan rumah. Target minimalnya memang menyelenggarakan APEC dengan aman dan sukses kemudian mendapat pujian.
Tapi apa cukup sampai di situ? Bagaimana dengan substansi masalah yang menghambat barang-barang kita di luar negeri? Bukankah kerja sama itu intinya win-win atau saling menguntungkan? Bukankah kita sudah begitu baik membuka hampir semua kran impor kepada barangbarang dari luar?
Lalu, bagaimana dengan barang-barang andalan kita yang terus diganjal di luar negeri? Bukankah itu masalah inti yang harus dituntaskan dalam APEC? Ini yang harus dijawab pemerintah.
(nfl)