Paradoks kebijakan mobil murah

Kamis, 03 Oktober 2013 - 09:06 WIB
Paradoks kebijakan mobil murah
Paradoks kebijakan mobil murah
A A A
KENDATI resistensi terhadap kebijakan mobil murah merebak, termasuk penolakan dari Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Tengah, serta Wali Kota Bandung, rupanya pemerintah bergeming.

Tidak hanya Menteri Perindustrian, tetapi juga Wakil Presiden yang menyuarakan kekukuhan pemerintah untuk tetap mengimplementasi kebijakan mobil murah tersebut tahun ini. Dalam pidato acara pembukaan pameran Expo IIMS 2013, Wakil Presiden Boediono mengatakan: “Jangan halangi rakyat untuk membeli mobil murah”. Sedangkan Menteri Perindustrian M S Hidayat dalam merespons penolakan Jokowi mengatakan bahwa mobil murah ditujukan untuk rakyat kecil agar bisa membeli mobil murah. Benarkah kebijakan mobil murah tersebut untuk rakyat kecil?

Paradoks harga mobil murah
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 tentang Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/2013 tentang Pengembangan Produksi Mobil Murah Hemat Energi, pemerintah mendorong industri automotif nasional memproduksi mobil murah di dalam negeri. PP itu juga menyebutkan bahwa mobil murah harus di bawah 1.200 cc dengan harga dipatok di bawah Rp 100 juta dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) paling sedikit 20 kilometer per liter.

Selain kandungan lokal mencapai 80%, murahnya harga mobil tersebut juga lantaran memperoleh fasilitas bebas PPnBM sehingga memungkinkan harganya bisa di bawah 100 juta per unit. Dengan harga taruhlah Rp90 juta, seorang buruh dengan penghasilan upah minimum Propinsi DKI Jakarta sebesar Rp2,2 juta dapat dipastikan tidak akan pernah mampu untuk membeli mobil murah tersebut sekalipun melalui pembelian secara kredit.

Untuk pembelian secara kredit, paling tidak harus membayar uang muka minimal Rp20 juta dengan angsuran paling sedikit Rp2,1 juta perbulan akan sangat memberatkan bagi rakyat kecil yang berpenghasilan antara Rp2-3 juta perbulan. Kalau dipaksakan, rakyat yang berpenghasilan antara Rp4- 5 juta per bulan yang akan mampu membeli mobil murah secara kredit. Kalaupun rakyat menengah mampu membeli mobil murah secara kredit, mereka masih harus menanggung biaya BBM yang mahal lantaran mobil murah harus menggunakan BBM nonsubsidi.

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/2013 menyebutkan bahwa syarat mobil murah minimal harus menggunakan spesifikasi BBM RON 92 yang setara dengan Pertamax. Sungguh kebijakan yang sangat paradoks. Di satu sisi harga mobil dipatok murah, di sisi lain konsumen dibebani biaya BBM yang tidak murah. Tentunya penetapan penggunaan BBM RON 92 dengan harga di atas Rp10.000 per liter sangat memberatkan konsumen mobil murah yang penghasilannya sudah tergerus untuk membayar cicilan kredit mobil murah. Kebijakan itu tidak hanya paradoks, tetapi juga amat ironis.

Betapa tidak, kalau benar mobil murah untuk rakyat kecil, kenapa harus menggunakan BBM nonsubsidi. Sementara para orang kaya pemilik mobil mahal dan mewah justru masih bisa menikmati BBM subsidi yang harga jauh lebih murah. Selama disparitas antara harga BBM subsidi dan nonsubsidi masih tinggi, konsumen mobil murah dapat dipastikan akan melakukan migrasi untuk menggunakan BBM subsidi. Pemilik mobil mahal dan mewah saja melakukan migrasi ke BBM subsidi, apalagi pemilik mobil murah. Dampaknya, konsumsi BBM subsidi akan meningkat sejalan dengan penambahan mobil murah.

Paradoks penghematan BBM subsidi
Salah satu alasan yang dikemukakan pemerintah saat menetapkan kebijakan menaikkan harga BBM subsidi pada 22 Juni 2013 adalah untuk melakukan penghematan konsumsi BBM subsidi yang sudah menjebolkan kuota BBM subsidi dalam APBN tahun berjalan. Ternyata kenaikan harga BBM subsidi sebesar Rp2.000 per liter itu tidak mampu menurunkan konsumsi premium yang sudah mencapai 48,01 juta kiloliter pada Agustus 2013, bandingkan dengan konsumsi selama 2012 yang mencapai 45,07 juta kiloliter.

Data menunjukkan bahwa pemicu utama kenaikan konsumsi BBM subsidi adalah kenaikan jumlah penjualan mobil baru. Pada 2011 kenaikan penjualan mobil baru sebesar 16,9% telah menaikkan konsumsi BBM hingga 41,78 juta kiloliter. Pada 2012 terjadi kenaikan jumlah penjualan mobil baru sebesar 24,8% memicu kenaikan konsumsi BBM subsidi mencapai 45,07 juta kiloliter.

Berdasarkan tren tersebut, tidak bisa dihindari peningkatan jumlah mobil baru yang akan ditambah 30.000 unit mobil murah pada tahun ini sudah pasti akan menaikkan konsumsi BBM subsidi. Tidak menutup kemungkinan kuota BBM subsidi dalam RAPBN 2014 yang ditetapkan sebesar 48 juta kiloliter diperkirakan akan jebol. Realisasinya bahkan diperkirakan bisa mencapai lebih dari 50 juta kiloliter dengan penambahan penjualan mobil murah.

Masalahnya, Indonesia sudah menjadi negara net-importer untuk penyediaan BBM subsidi sehingga penambahan mobil murah akan meningkatkan impor BBM yang berpotensi memperbesar defisit neraca perdagangan. Menurut data BPS, defisit neraca perdagangan pada Juli 2013 sudah mencapai USD5,65 miliar yang merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah di republik ini. Kenaikan konsumsi BBM sebagai dampak penambahan mobil murah diprediksikan akan menaikkan volume impor BBM yang akan semakin memperbesar defisit neraca perdagangan.

Bukannya berupaya menurunkan defisit neraca perdagangan, pemerintah justru menetapkan kebijakan mobil murah yang paradoks hingga berpotensi membengkakkan defisit neraca perdagangan. Pembengkakan defisit neraca perdagangan tersebut tidak hanya berdampak pada pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, tetapi juga berpotensi menaikkan inflasi.

Kalau benar inflasi meningkat pascapeluncuran mobil murah, justru rakyat kecillah yang akan merasakan dampak kenaikan inflasi tersebut. Padahal rakyat kecil tidak pernah merasakan kehadiran mobil murah tersebut karena memang tidak mampu membeli mobil murah. Sungguh ironis memang.

FAHMY RADHI
Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1785 seconds (0.1#10.140)