Ini 9 pasal pelemahan KPK dalam RUU KUHAP
A
A
A
Sindonews.com - Setelah gagal memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat revisi UU KPK, DPR kembali berupaya melemahkan KPK lewat revisi UU Kitab UU Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan RUU Kitab UU Hukum Pidana (KUHP).
Koordinator Indonesia Corrupt Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan bahwa DPR terkesan memaksakan kehendaknya terhadap kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi yang sering kali menjerat anggota dewan.
"Ini sama dengan pembunuhan terhadap KPK," tegas Emerson di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2013).
Berikut 9 Pasal yang diduga ICW bermasalah dan mengkekang kewenangan KPK:
1. Pasal 3 ayat 2 intinya ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.
Dampak dari Pasal 3 ayat 2 yaitu ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Pasal 44 intinya tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Dampak dari Pasal 44 yaitu penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
3. Pasal 58 intinya tentang Penentuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5x24 jam.
Dampak dari Pasal 58 yaitu KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Di sini, hanya disebutkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Kepala Kejaksaan Negeri atau penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
4. Pasal 67 intinya tentang penangguhan penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa.
Dampaknya dari Pasal 67 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
5. Pasal 75 intinya tentang penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 75 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus dikembalikan kepada pemilik.
6. Pasal 83 intinya tentang penyadapan pembicaraan harus mendapat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 83 yakni penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim.
7. Pasal 84 intinya tentang dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 84 yakni jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK akan dihentikan.
8. Pasal 240 intinya tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Dampak dari Pasal 240 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.
9. Pasal 250 intinya tentang Putusan MA mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Dampak dari Pasal 250 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.
Baca juga berita Fraksi Hanura percepat pembahasan RUU KUHAP.
Koordinator Indonesia Corrupt Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan bahwa DPR terkesan memaksakan kehendaknya terhadap kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi yang sering kali menjerat anggota dewan.
"Ini sama dengan pembunuhan terhadap KPK," tegas Emerson di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (1/10/2013).
Berikut 9 Pasal yang diduga ICW bermasalah dan mengkekang kewenangan KPK:
1. Pasal 3 ayat 2 intinya ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.
Dampak dari Pasal 3 ayat 2 yaitu ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Pasal 44 intinya tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Dampak dari Pasal 44 yaitu penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
3. Pasal 58 intinya tentang Penentuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5x24 jam.
Dampak dari Pasal 58 yaitu KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Di sini, hanya disebutkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Kepala Kejaksaan Negeri atau penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
4. Pasal 67 intinya tentang penangguhan penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa.
Dampaknya dari Pasal 67 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
5. Pasal 75 intinya tentang penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 75 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus dikembalikan kepada pemilik.
6. Pasal 83 intinya tentang penyadapan pembicaraan harus mendapat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 83 yakni penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim.
7. Pasal 84 intinya tentang dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 84 yakni jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK akan dihentikan.
8. Pasal 240 intinya tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Dampak dari Pasal 240 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.
9. Pasal 250 intinya tentang Putusan MA mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Dampak dari Pasal 250 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.
Baca juga berita Fraksi Hanura percepat pembahasan RUU KUHAP.
(lal)