Manajemen subsidi

Senin, 30 September 2013 - 06:15 WIB
Manajemen subsidi
Manajemen subsidi
A A A
ORANG semakin yakin ada yang tidak beres dengan pengelolaan anggaran negara, terutama dalam kebijakan subsidi. Kita masih senang menggunakan subsidi untuk keperluan yang seharusnya tidak membutuhkan subsidi.

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) adalah salah satu contoh manajemen pengelolaan uang negara yang keliru secara ekonomi. Di samping membebani APBN, subsidi BBM yang berlebihan juga tidak mendidik masyarakat kita untuk hemat energi. Harga BBM yang terlalu murah dibandingkan harga pasar internasional maupun harga di negara lain dalam jangka pendek terlihat menyenangkan. Namun dalam jangka panjang, ini jebakan yang membuat APBN kita keropos.

Dulu Indonesia adalah negara pengekspor minyak dan masuk menjadi anggota OPEC. Namun sejak 2008, Indonesia keluar dari OPEC karena sudah menjadi pengimpor minyak. Kebutuhan minyak dalam negeri terus meningkat dan produksinya kian menurun dan harus mengimpor. Sekarang kita defisit BBM sekitar 420.000 barel per hari. Kondisi ini akan membuat subsidi BBM semakin membengkak dan sangat mungkin melampaui angka Rp300 triliun per tahun.

Ini bukti Indonesia bukan lagi negara yang kaya minyak. Perdebatan makin rumit karena BBM adalah isu politik yang sangat seksi. Buktinya Presiden SBY pernah menurunkan harga premium dan solar pada Januari 2009 dari Rp6.000 menjadi Rp5.500 dan dari Rp5.500 menjadi Rp4.500. Alasan penurunan karena turunnya harga minyak dunia. Namun banyak yang mengaitkan kebijakan ini dengan momentum Pemilu 2009. Harga minyak dunia memang naik turun, tetapi trennya cenderung naik dan kenaikannya semakin signifikan sehingga beban APBN untuk subsidi kian besar.

Di sini subsidi menjadi sumber masalah serius. Tepatkah subsidi BBM terus dikucurkan dan APBN terus dikorbankan? Perhatian pemerintah tersedot untuk menutup defisit anggaran akibat subsidi salah sasaran itu.Anggaran yang harusnya digunakan untuk keperluan yang lebih penting seperti membangun infrastruktur, pendidikan, riset dan teknologi, kemandirian pangan dan energi menjadi terbengkelai. Hasilnya daya saing negara dari sisi sumber daya manusia serta kenyamanan dan kemudahan bisnis tidak bisa naik signifikan.

Subsidi salah sasaran juga terlihat begitu telanjang dalam kebijakan mobil murah LCGC (low cost green car). Ada yang menyebut negara menyubsidi sekitar Rp20 juta untuk satu mobil yang dijual “murah” di bawah harga Rp100 juta. Agar bisa dijual murah, pemerintah memberi sejumlah insentif kepada produsen mobil, termasuk pembebasan pajak. Jika mobil murah laku 100.000 unit berarti negara kehilangan sekitar Rp20 triliun. Mari kita bandingkan dengan efek investasi produsen mobil dengan pembukaan pabrik, penyerapan tenaga kerja maupun usaha lokal untuk menyuplai suku cadang.

Sebandingkah dengan ongkos yang harus dibayar? Ini belum bicara soal penting tidaknya mobil murah bagi masyarakat. Bukankah transportasi massal yang aman dan nyaman lebih signifikan daripada mobil murah itu? Bukankah transportasi massal lebih pantas disubsidi? Inilah potret salah kaprah manajemen subsidi kita. Bagaimana dengan kebijakan pangan? Apakah subsidi sudah diberikan pada problem-problem penting yang memberatkan masyarakat, petani dan nelayan?

Ataukah subsidi justru dinikmati segelintir importir atau orang-orang yang memancing ikan di air keruh? Masyarakat dan segenap civil soviety perlu bangkit kembali menyatukan barisan untuk meneriakkan pembenahan manajemen subsidi ini kepada pemerintah dan DPR. Keduanya memiliki peran besar sebagai manajer dalam pengelolaan APBN.

Kedua lembaga terhormat ini mestinya lebih peka menangkap keresahan di masyarakat tanpa harus menunggu didemo. Ubah segera manajemen subsidi biar tepat sasaran untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4649 seconds (0.1#10.140)