Working memory anak-anak kita
A
A
A
SETIAP semester saya selalu mengajar tipe mahasiswa yang berbeda-beda. Kadang saya berkata kepada asisten saya, ”Kali ini mahasiswa pandai-pandai.” Ya, pandai menganalisis, melakukan sintesis, menyelesaikan tugas, aktif berpartisipasi, dan sedikit sekali yang tak menyelesaikan tugas.
Kelas seperti itu sangat cheerful, penuh kebahagiaan dan spirit perjuangan yang tak ada matinya. Mereka ikut ke mana saya pergi. Ya, ke pulau terpencil, ke luar negeri, hadir dalam seminar, ikut rekaman TV, outbond, berjualan di kaki lima, nonton film, dan sebagainya. Mereka belajar teori sekaligus praktik. Tak mengeluh meski tugas lain juga seabrek-abrek. Melatih otak, keberanian, sekaligus melatih mental. Di lain kesempatan saya juga menemukan kelas yang lemot.
Kata anak-anak muda,“Capedeh!” Anehnya, itu juga ada di kelas S-3 yang isinya para dosen, pejabat publik, atau manajer. Selain mereka kurang fokus, tidak jarang saya juga merasa sangat letih ibarat mendorong mobil yang mogok. Tentu saja ini bukan hanya ada di S-3. Kadang juga di program S-1 dan S-2. Sewaktu-waktu kita temui beberapa orang yang lemot mendominasi kelas. Akibatnya, kelas menjadi murung seperti kereta api yang lagi langsir.
Mereka hadir tanpa membaca buku, “lupa” menyelesaikan tugas, mudah lupa terhadap teori-teori dan bacaan penting yang baru diberikan seminggu lalu, dan seterusnya. Keluhan seperti itu ternyata juga ada di dua sisi: di antara para guru dan di dunia kerja. Belakangan ini kita juga banyak mendengar keluhan dari para manajer, birokrat senior, dan para guru tentang hal yang serupa yang diamati mereka. Gejala apa ini?
Hilangnya kecekatan
Sudah lama kita tidak mendengar kata kecekatan. Seakan-akan kecerdasan emosi dan IQ, nilai angka, adalah segala-galanya. Padahal dulu orang-orang tua melatih anak-anaknya agar cekatan: cepat kaki-ringan tangan, segera jalankan tugas, melatih keterampilan cepat dan tepat. Belakangan tubuh anakanak kita cenderung menjadi malas, kurang gerak, bahkan tanpa harus berpikir banyak hal bisa datang sendiri.
Di negara-negara industri, problem seperti ini sudah lama disadari dan mereka mengambil langkah cepat untuk memperbaharuinya. Tanpa kecekatan, produktivitas perekonomian suatu bangsa akan terhambat. Orang akan saling menunggu, menjadi penonton dan penumpang, bukan duduk di depan menjadi pengemudi. Dijamin dengan upah minimum yang tinggi, suatu ketika mereka akan menjadi sangat menuntut walaupun produktivitasnya rendah.
Maka itu, working memory, yang dibentuk dari kecil, menjadi perhatian para ekonom dan para negarawan. Ketika disebut sebagai bagian dari executive function, mereka bisa menerimanya. Working memory atau kemampuan mengelola informasi dengan cepat adalah seperti kita melihat komputer yang sedang bekerja mengolah data.
Satu data datang, yang lain disimpan sementara seperti sebuah “post it notes” yang menghubungkan pikiran kita dari satu info ke info lainnya. Informasi itu saling berhubungan dan begitu terlatih, kita akan cekatan dalam bertindak, berpikir, dan mengumpulkan sesuatu. Working memory adalah sebuah keterampilan yang dilatih sedari dini untuk menyimpan beberapa informasi, sementara informasi yang lainnya terus berdatangan dan kita harus memilih, mendahulukan satu di antaranya, namun tak melupakan yang datang lebih dulu.
Dengan begitu, kita akan tetap ingat terhadap tugas-tugas yang telah disampaikan, keputusan rapat terdahulu, dan seterusnya. Tentu saja sejak lahir setiap anak memiliki kualitas working memory yang berbeda-beda. Tetapi, guru seringkali membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain pada usia yang sama karena pada usia yang kronologis tertentu dipahami seorang anak sudah bisa melakukan beberapa hal sekaligus.
Misalnya, anak usia 5 tahun umumnya sudah memiliki keterampilan menyimpan satu-dua informasi yang diingat dengan baik. Sedangkan di usia 10 tahun bisa tiga dan 14 tahun empat informasi lengkap. Tentu saja bukan hanya mengingat. Mereka juga melatih diri menghubungkan logika masing-masing informasi itu sehingga di usia dewasa mereka bisa cepat beradaptasi, tidak keras kepala bertahan pada logika-logika yang tak masuk di akal meski saling bertentangan.
Annie Stuart (2013), ahli pendidikan, mengatakan, orang tua dan pendidik sebaiknya mengenal kemajuan kualitas keterampilan working memory anak-anaknya. Janganlah kita membiarkan anak-anak hidup seenaknya, boleh melakukan apa saja, dan abai dalam bertanggung jawab. Semua itu harus dilatih agar mereka kelak mampu menjadi pribadi yang unggul, bukan pelupa yang ignorant.
Kenali tanda-tandanya, berikan tes tertulis dan kirim anak-anak pada ahlinya, serta biasakan hidup sehat dalam berpikir. Ia memberikan serangkaian sinyal yang perlu diperhatikan orang tua. Kenali gejala-gejala disorder berikut ini: meninggalkan tugas sebelum diselesaikan (misalnya bermain tidak sampai tuntas sudah berpindahpindah, makan tak mencuci piring), sering berkhayal tanpa kejelasan, tidak melakukan pekerjaan rumah yang diberikan sekolah, sering lupa jawaban yang sudah diketahui meski sudah angkat tangan, seringkali kacau dalam menata atau memasang suatu kesatuan, termasuk gagal menyusun dua kalimat menjadi satu.
Nalar dan kebingungan
Banyak orang yang kacau menyamakan nalar dengan logikamemahamirumus-rumus atau bahasa. Ada benarnya bahwa gagasan berpikir akan tampak dalam bahasa dan matematika, tetapi sumbernya bisa jadi bukan dalam pelajaran yang diberikan para guru dalam bidang bahasa dan matematika. Sumbernya adalah pada keterampilan berpikir: executive functioning dan working memory yang meliputi banyak hal.
Anak kita perlu mengetahui di mana kekurangan-kekurangandan kelebihan-kelebihannya. Karena mereka dilahirkan dan dibesarkan dengan kualitas yang berbeda-beda, tentu saja tidak dapat dituntut hasil yang sama. Orang tua bisa mengenali sinyal-sinyal tadi, mengambil tes (juga untuk diri orang tua tentunya), dan berkonsultasi pada ahlinya. Anak-anak tertentu misalnya mampu berhitung dengan angka-angka, yang lain perlu dilatih dengan mendengarkan cerita, ada yang membutuhkan alat bantu visual, musik, dan seterusnya.
Pada waktunya, anak-anak yang dididik dalam keterampilan berpikir yang benar, ada yang mampu keluar dari masalah yang dihadapinya. Namun, sebagian lagi mungkin saja tak mampu bertarung dalam persekolahan biasa, bahkan gagal berinteraksi dalam medan kerja seperti eksekutif lainnya. Tetapi, bukankah dunia ini penuh pilihan? Dalam sebuah e-mail, seorang guru di Amerika Serikat mengaku di usianya yang ke-48 tahun baru menyadari bahwa ia menderita executive function disorder.
Guru-guru lain sudah lama melihat gejala itu pada dirinya. Tetapi, ia baru mengikuti serangkaian tes di usia ke- 48 itu. Padahal sehari-hari ia biasa mengajar anak-anak dengan learning disabilities. Rekan-rekan kerjanya sering mengeluh. Ia menjadi penyendiri dengan rasa percaya diri yang rendah, kariernya tidak begitu cemerlang, tetapi dibiarkan oleh lingkungan. Kini di usia ke 48 ia justru mengalami terapi dan merasa selalu ada jalan keluar. Tidaklah ini juga mungkin terjadi pada kita? Renungkanlah.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Kelas seperti itu sangat cheerful, penuh kebahagiaan dan spirit perjuangan yang tak ada matinya. Mereka ikut ke mana saya pergi. Ya, ke pulau terpencil, ke luar negeri, hadir dalam seminar, ikut rekaman TV, outbond, berjualan di kaki lima, nonton film, dan sebagainya. Mereka belajar teori sekaligus praktik. Tak mengeluh meski tugas lain juga seabrek-abrek. Melatih otak, keberanian, sekaligus melatih mental. Di lain kesempatan saya juga menemukan kelas yang lemot.
Kata anak-anak muda,“Capedeh!” Anehnya, itu juga ada di kelas S-3 yang isinya para dosen, pejabat publik, atau manajer. Selain mereka kurang fokus, tidak jarang saya juga merasa sangat letih ibarat mendorong mobil yang mogok. Tentu saja ini bukan hanya ada di S-3. Kadang juga di program S-1 dan S-2. Sewaktu-waktu kita temui beberapa orang yang lemot mendominasi kelas. Akibatnya, kelas menjadi murung seperti kereta api yang lagi langsir.
Mereka hadir tanpa membaca buku, “lupa” menyelesaikan tugas, mudah lupa terhadap teori-teori dan bacaan penting yang baru diberikan seminggu lalu, dan seterusnya. Keluhan seperti itu ternyata juga ada di dua sisi: di antara para guru dan di dunia kerja. Belakangan ini kita juga banyak mendengar keluhan dari para manajer, birokrat senior, dan para guru tentang hal yang serupa yang diamati mereka. Gejala apa ini?
Hilangnya kecekatan
Sudah lama kita tidak mendengar kata kecekatan. Seakan-akan kecerdasan emosi dan IQ, nilai angka, adalah segala-galanya. Padahal dulu orang-orang tua melatih anak-anaknya agar cekatan: cepat kaki-ringan tangan, segera jalankan tugas, melatih keterampilan cepat dan tepat. Belakangan tubuh anakanak kita cenderung menjadi malas, kurang gerak, bahkan tanpa harus berpikir banyak hal bisa datang sendiri.
Di negara-negara industri, problem seperti ini sudah lama disadari dan mereka mengambil langkah cepat untuk memperbaharuinya. Tanpa kecekatan, produktivitas perekonomian suatu bangsa akan terhambat. Orang akan saling menunggu, menjadi penonton dan penumpang, bukan duduk di depan menjadi pengemudi. Dijamin dengan upah minimum yang tinggi, suatu ketika mereka akan menjadi sangat menuntut walaupun produktivitasnya rendah.
Maka itu, working memory, yang dibentuk dari kecil, menjadi perhatian para ekonom dan para negarawan. Ketika disebut sebagai bagian dari executive function, mereka bisa menerimanya. Working memory atau kemampuan mengelola informasi dengan cepat adalah seperti kita melihat komputer yang sedang bekerja mengolah data.
Satu data datang, yang lain disimpan sementara seperti sebuah “post it notes” yang menghubungkan pikiran kita dari satu info ke info lainnya. Informasi itu saling berhubungan dan begitu terlatih, kita akan cekatan dalam bertindak, berpikir, dan mengumpulkan sesuatu. Working memory adalah sebuah keterampilan yang dilatih sedari dini untuk menyimpan beberapa informasi, sementara informasi yang lainnya terus berdatangan dan kita harus memilih, mendahulukan satu di antaranya, namun tak melupakan yang datang lebih dulu.
Dengan begitu, kita akan tetap ingat terhadap tugas-tugas yang telah disampaikan, keputusan rapat terdahulu, dan seterusnya. Tentu saja sejak lahir setiap anak memiliki kualitas working memory yang berbeda-beda. Tetapi, guru seringkali membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain pada usia yang sama karena pada usia yang kronologis tertentu dipahami seorang anak sudah bisa melakukan beberapa hal sekaligus.
Misalnya, anak usia 5 tahun umumnya sudah memiliki keterampilan menyimpan satu-dua informasi yang diingat dengan baik. Sedangkan di usia 10 tahun bisa tiga dan 14 tahun empat informasi lengkap. Tentu saja bukan hanya mengingat. Mereka juga melatih diri menghubungkan logika masing-masing informasi itu sehingga di usia dewasa mereka bisa cepat beradaptasi, tidak keras kepala bertahan pada logika-logika yang tak masuk di akal meski saling bertentangan.
Annie Stuart (2013), ahli pendidikan, mengatakan, orang tua dan pendidik sebaiknya mengenal kemajuan kualitas keterampilan working memory anak-anaknya. Janganlah kita membiarkan anak-anak hidup seenaknya, boleh melakukan apa saja, dan abai dalam bertanggung jawab. Semua itu harus dilatih agar mereka kelak mampu menjadi pribadi yang unggul, bukan pelupa yang ignorant.
Kenali tanda-tandanya, berikan tes tertulis dan kirim anak-anak pada ahlinya, serta biasakan hidup sehat dalam berpikir. Ia memberikan serangkaian sinyal yang perlu diperhatikan orang tua. Kenali gejala-gejala disorder berikut ini: meninggalkan tugas sebelum diselesaikan (misalnya bermain tidak sampai tuntas sudah berpindahpindah, makan tak mencuci piring), sering berkhayal tanpa kejelasan, tidak melakukan pekerjaan rumah yang diberikan sekolah, sering lupa jawaban yang sudah diketahui meski sudah angkat tangan, seringkali kacau dalam menata atau memasang suatu kesatuan, termasuk gagal menyusun dua kalimat menjadi satu.
Nalar dan kebingungan
Banyak orang yang kacau menyamakan nalar dengan logikamemahamirumus-rumus atau bahasa. Ada benarnya bahwa gagasan berpikir akan tampak dalam bahasa dan matematika, tetapi sumbernya bisa jadi bukan dalam pelajaran yang diberikan para guru dalam bidang bahasa dan matematika. Sumbernya adalah pada keterampilan berpikir: executive functioning dan working memory yang meliputi banyak hal.
Anak kita perlu mengetahui di mana kekurangan-kekurangandan kelebihan-kelebihannya. Karena mereka dilahirkan dan dibesarkan dengan kualitas yang berbeda-beda, tentu saja tidak dapat dituntut hasil yang sama. Orang tua bisa mengenali sinyal-sinyal tadi, mengambil tes (juga untuk diri orang tua tentunya), dan berkonsultasi pada ahlinya. Anak-anak tertentu misalnya mampu berhitung dengan angka-angka, yang lain perlu dilatih dengan mendengarkan cerita, ada yang membutuhkan alat bantu visual, musik, dan seterusnya.
Pada waktunya, anak-anak yang dididik dalam keterampilan berpikir yang benar, ada yang mampu keluar dari masalah yang dihadapinya. Namun, sebagian lagi mungkin saja tak mampu bertarung dalam persekolahan biasa, bahkan gagal berinteraksi dalam medan kerja seperti eksekutif lainnya. Tetapi, bukankah dunia ini penuh pilihan? Dalam sebuah e-mail, seorang guru di Amerika Serikat mengaku di usianya yang ke-48 tahun baru menyadari bahwa ia menderita executive function disorder.
Guru-guru lain sudah lama melihat gejala itu pada dirinya. Tetapi, ia baru mengikuti serangkaian tes di usia ke- 48 itu. Padahal sehari-hari ia biasa mengajar anak-anak dengan learning disabilities. Rekan-rekan kerjanya sering mengeluh. Ia menjadi penyendiri dengan rasa percaya diri yang rendah, kariernya tidak begitu cemerlang, tetapi dibiarkan oleh lingkungan. Kini di usia ke 48 ia justru mengalami terapi dan merasa selalu ada jalan keluar. Tidaklah ini juga mungkin terjadi pada kita? Renungkanlah.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(nfl)