Kebijakan konyol
A
A
A
PADA 2010 pemerintah pusat mengeluarkan 17 langkah menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan kemacetan di DKI Jakarta.
Langkah menyeluruh tersebut di antaranya penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi dan penambahan jalur Transjakarta, perbaikan jalan, kebijakan perparkiran, penetapan harga gas bagi angkutan transportasi, restrukturisasi angkutan jalan raya, perbaikan pengelolaan angkutan kereta api, pembuatan jalur ganda berganda (double-doubletrack) keretaapi, pembangunanjalurrelkereta api lingkar dalam kota, penambahan jalan tol, peninjauan penggunaan kendaraan kecil bagi angkutan transpor taksi, sampai larangan angkutan liar.
Pemerintah bahkan bertekad merealisasikan pembangunan sarana dan jalur transportasi massal (mass rapid transit/MRT), pemanfaatan monorel, kereta api Bandara Soekarno-Hatta, hingga Stasiun Manggarai, pembentukan badan otoritas transportasi Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta sarana transportasi terpadu Jabodetabek, hingga pengendalian jumlah kendaraan, sampai penyiapan lahan parkir di dekat-dekat stasiun kereta api di Kabupaten Bogor dan Provinsi Tangerang.
Langkah-langkah diputuskan pemerintah melalui Wakil Presiden Boediono dalam rapat yang dihadiri sejumlah menteri dan pejabat di antaranya Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, mantan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, mantan Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, serta mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Memang, beberapa langkah sudah dilaksanakan meski belum ada hasil konkret yang maksimal. Pembangunan jalur ganda di Pulau Jawa tengah dalam penyelesaian, penambahan jalan tol juga dalam proses, pembangunan jalur kereta api lingkar kota di Jakarta akan dimulai 2014, MRT pada Oktober mulai dikerjakan, perbaikan kereta api yang arahnya sudah menuju ke ideal, sedangkan yang lain belum terlihat hasilnya secara nyata.
Jika langkah-langkah tersebut dijalankan, tentu persoalan kemacetan di wilayah Jakarta diharapkan akan terselesaikan. Sayang, dari 17 langkah tersebut, belum ada yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh pemerintah. Ketika langkah-langkah tersebut belum terealisasi secara maksimal, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan 17 langkah tersebut yaitu kebijakan mobil murah.
Untuk melindungi kebijakan ini, pemerintah pusat memayungi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan (LCGC). Kebijakan tersebut tidak hanya diberlakukan di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia. Dengan kebijakan ini, masyarakat bisa mendapatkan mobil dengan harga berkisar Rp75-120 juta. Ini cukup mengherankan ketika pemerintah justru keluar rel jauh dari 17 langkah mengatasi kemacetan.
Pemerintah bahkan tampak bangga dalam mengenalkan kebijakan ini. Parahnya lagi, pemerintah justru mengatakan bahwa kebijakan ini untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat kurang mampu untuk memiliki mobil. Dengan harga yang dipatok, tampaknya harga tersebut bukan untuk masyarakat tidak mampu. Selain itu, bukankah masyarakat tidak mampu justru membutuhkan angkutan umum yang nyaman dan terjangkau?
Alhasil, kebijakan ini tetap ditujukan untuk masyarakat kelas menengah dan atas. Pemerintah juga mengatakan bahwa kebijakan ini tidak akan menambah kemacetan di Jakarta. Ironinya lagi, pemerintah justru mengatakan bahwa tidak ada LCGC, wilayah Jakarta sudah macet. Tentu ini pernyataan yang konyol yang di luar nalar. Bagaimana tidak, secara logika dengan adanya LCGC volume penjualan akan naik dan tentu akan menambah volume kendaraan di jalan raya.
Jika hal ini kembali dikatakan bahwa penjualan bukan hanya di Jakarta, bukankah pasar di Jakarta lebih menjanjikan? Kebijakan ini tentu sangat konyol dan jauh dari solusi kemacetan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui 17 langkah menyeluruh.
Langkah menyeluruh tersebut di antaranya penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi dan penambahan jalur Transjakarta, perbaikan jalan, kebijakan perparkiran, penetapan harga gas bagi angkutan transportasi, restrukturisasi angkutan jalan raya, perbaikan pengelolaan angkutan kereta api, pembuatan jalur ganda berganda (double-doubletrack) keretaapi, pembangunanjalurrelkereta api lingkar dalam kota, penambahan jalan tol, peninjauan penggunaan kendaraan kecil bagi angkutan transpor taksi, sampai larangan angkutan liar.
Pemerintah bahkan bertekad merealisasikan pembangunan sarana dan jalur transportasi massal (mass rapid transit/MRT), pemanfaatan monorel, kereta api Bandara Soekarno-Hatta, hingga Stasiun Manggarai, pembentukan badan otoritas transportasi Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta sarana transportasi terpadu Jabodetabek, hingga pengendalian jumlah kendaraan, sampai penyiapan lahan parkir di dekat-dekat stasiun kereta api di Kabupaten Bogor dan Provinsi Tangerang.
Langkah-langkah diputuskan pemerintah melalui Wakil Presiden Boediono dalam rapat yang dihadiri sejumlah menteri dan pejabat di antaranya Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, mantan Menteri Perhubungan Freddy Numberi, mantan Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, serta mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Memang, beberapa langkah sudah dilaksanakan meski belum ada hasil konkret yang maksimal. Pembangunan jalur ganda di Pulau Jawa tengah dalam penyelesaian, penambahan jalan tol juga dalam proses, pembangunan jalur kereta api lingkar kota di Jakarta akan dimulai 2014, MRT pada Oktober mulai dikerjakan, perbaikan kereta api yang arahnya sudah menuju ke ideal, sedangkan yang lain belum terlihat hasilnya secara nyata.
Jika langkah-langkah tersebut dijalankan, tentu persoalan kemacetan di wilayah Jakarta diharapkan akan terselesaikan. Sayang, dari 17 langkah tersebut, belum ada yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh pemerintah. Ketika langkah-langkah tersebut belum terealisasi secara maksimal, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan 17 langkah tersebut yaitu kebijakan mobil murah.
Untuk melindungi kebijakan ini, pemerintah pusat memayungi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan (LCGC). Kebijakan tersebut tidak hanya diberlakukan di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia. Dengan kebijakan ini, masyarakat bisa mendapatkan mobil dengan harga berkisar Rp75-120 juta. Ini cukup mengherankan ketika pemerintah justru keluar rel jauh dari 17 langkah mengatasi kemacetan.
Pemerintah bahkan tampak bangga dalam mengenalkan kebijakan ini. Parahnya lagi, pemerintah justru mengatakan bahwa kebijakan ini untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat kurang mampu untuk memiliki mobil. Dengan harga yang dipatok, tampaknya harga tersebut bukan untuk masyarakat tidak mampu. Selain itu, bukankah masyarakat tidak mampu justru membutuhkan angkutan umum yang nyaman dan terjangkau?
Alhasil, kebijakan ini tetap ditujukan untuk masyarakat kelas menengah dan atas. Pemerintah juga mengatakan bahwa kebijakan ini tidak akan menambah kemacetan di Jakarta. Ironinya lagi, pemerintah justru mengatakan bahwa tidak ada LCGC, wilayah Jakarta sudah macet. Tentu ini pernyataan yang konyol yang di luar nalar. Bagaimana tidak, secara logika dengan adanya LCGC volume penjualan akan naik dan tentu akan menambah volume kendaraan di jalan raya.
Jika hal ini kembali dikatakan bahwa penjualan bukan hanya di Jakarta, bukankah pasar di Jakarta lebih menjanjikan? Kebijakan ini tentu sangat konyol dan jauh dari solusi kemacetan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui 17 langkah menyeluruh.
(nfl)