Kewibawaan aparat hukum
A
A
A
AKHIR-akhir ini masyarakat Indonesia disuguhi oleh berbagai kejadian yang mengagetkan. Mulai dari penyerbuan sejumlah anggota Kopassus ke Lapas Cebongan hingga penembakan anggota Polri.
Kurangnya ketegasan dan kewibawaan para aparat penegak hukum, terutama kepolisian, dinilai menjadi penyebabnya. Kasus penembakan anggota Polri sebenarnya merupakan pelecehan terhadap lembaga penegak hukum. Terkesan, sudah tidak ada rasa sungkan atau takut lagi kepada aparat hukum. Lembaga penegak hukum sudah tidak sakral lagi. Fenomena tersebut seharusnya menjadi renungan dan introspeksi yang mendalam bagi institusi yang dipimpin Jenderal Pol Timur Pradopo ini.
Yang jelas, perlawanan masyarakat terhadap aparatnya sendiri pasti memiliki alasan. Ada sejumlah penyebab kenapa akhir-akhir ini anggota Polri menjadi bulan-bulanan penembak tak dikenal. Pertama, hilangnya wibawa Polri baik secara kelembagaan maupun personal. Hal ini terjadi bukan karena faktor eksternal, lebih pada internal di kepolisian sendiri. Terungkapnya sejumlah kasus korupsi yang dilakukan para jenderal polisi telah membuat Korps Bhayangkara terpuruk di mata rakyat.
Kedua, tindakan brutal Polri dalam mengusut terorisme. Kita sepakat terorisme tidak boleh hidup dari bumi Indonesia. Namun, pengungkapannya selama ini terkesan berlebihan, kalau tidak boleh dibilang “membabi buta”. Hal itu jelas menimbulkan sakit hati di kelompok yang menjadi sasarannya.
Dalam kasus teroris, polisi memang sangat tegas dan cepat. Sayangnya, ketegasannya ini tidak diimbangi dengan penegakan hukum di bidang lain. Misalnya, pemberantasan korupsi. Tidak salah kalau akhirnya ada yang berpikiran polisi tidak bertindak proporsional dalam melihat kasus. Mereka juga mencurigai hal dibalik fenomena tersebut, apakah karena ada dana besar untuk memberantas terorisme atau ada faktor lain.
Ketiga, cenderung pilih kasih dalam penindakan hukum berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat pada Polri. Kasus Cebongan merupakan bukti nyata ketidakpercayaan terhadap aparat hukum dalam hal ini kepolisian bisa menyelesaikan kasus hukum dengan tuntas dan baik. Kopassus yang merasa para pembunuh temannya tidak diadili secara baik, akhirnya melakukan penghakiman sendiri atas nama jiwa korsa.
Langkah Kopassus itu memang tidak dibenarkan secara hukum, namun kejadian ini seharusnya menjadi tamparan keras aparat hukum untuk lebih bekerja secara profesional dan proporsional. Berbagai peristiwa tersebut akhirnya membuat wibawa aparat hukum rendah di mata masyarakat. Masyarakat pun, terutama yang memiliki kemampuan, akhirnya menjadi berani melawan aparatnya sendiri. Fenomena penembakan anggota Polri menjadi satu bagian cerita di atas.
Di sisi lain, kejadian-kejadian itu akhirnya berdampak pada menurunnya rasa aman di masyarakat. Bagaimana mau menyandarkan keamanan pada Polri jika mereka juga tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Karena itu, polisi harus segera berbenah. Polri harus mampu mengungkap dulu siapa pelaku penembakan para anggotanya tersebut secara transparan. Aparat hukum tak boleh pasif atau hanya reaktif, namun harus aktif dalam menegakkan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
Sumber daya polisi memang sangat kurang bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, tapi setidaknya hal ini dapat diminimalisasi dengan kerja nyata yang baik dari aparat kepolisian. Bagaimanapun, kalau boleh jujur, imagetentang polisi saat ini di mata masyarakat memang kurang menyenangkan. Kasus-kasus di atas harusnya menjadi introspeksi, terutama bagi para petinggi Polri, untuk fokus bertugas mengemban amanah, jangan malah menimbun harta dari hal yang tidak dibenarkan.
Keengganan dalam mengusut dugaan jenderal yang memiliki rekening gendut juga menandakan tidak adanya niat baik dari Polri untuk berbenah. Masyarakat yang sudah cerdas dan kritis tidak bisa dibohongi dalam menilai kinerja aparatnya. Semoga berbagai peristiwa di atas bisa menjadikan Polri mawas diri dan lebih profesional untuk berjuang melindungi dan melayani masyarakat.
Kurangnya ketegasan dan kewibawaan para aparat penegak hukum, terutama kepolisian, dinilai menjadi penyebabnya. Kasus penembakan anggota Polri sebenarnya merupakan pelecehan terhadap lembaga penegak hukum. Terkesan, sudah tidak ada rasa sungkan atau takut lagi kepada aparat hukum. Lembaga penegak hukum sudah tidak sakral lagi. Fenomena tersebut seharusnya menjadi renungan dan introspeksi yang mendalam bagi institusi yang dipimpin Jenderal Pol Timur Pradopo ini.
Yang jelas, perlawanan masyarakat terhadap aparatnya sendiri pasti memiliki alasan. Ada sejumlah penyebab kenapa akhir-akhir ini anggota Polri menjadi bulan-bulanan penembak tak dikenal. Pertama, hilangnya wibawa Polri baik secara kelembagaan maupun personal. Hal ini terjadi bukan karena faktor eksternal, lebih pada internal di kepolisian sendiri. Terungkapnya sejumlah kasus korupsi yang dilakukan para jenderal polisi telah membuat Korps Bhayangkara terpuruk di mata rakyat.
Kedua, tindakan brutal Polri dalam mengusut terorisme. Kita sepakat terorisme tidak boleh hidup dari bumi Indonesia. Namun, pengungkapannya selama ini terkesan berlebihan, kalau tidak boleh dibilang “membabi buta”. Hal itu jelas menimbulkan sakit hati di kelompok yang menjadi sasarannya.
Dalam kasus teroris, polisi memang sangat tegas dan cepat. Sayangnya, ketegasannya ini tidak diimbangi dengan penegakan hukum di bidang lain. Misalnya, pemberantasan korupsi. Tidak salah kalau akhirnya ada yang berpikiran polisi tidak bertindak proporsional dalam melihat kasus. Mereka juga mencurigai hal dibalik fenomena tersebut, apakah karena ada dana besar untuk memberantas terorisme atau ada faktor lain.
Ketiga, cenderung pilih kasih dalam penindakan hukum berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat pada Polri. Kasus Cebongan merupakan bukti nyata ketidakpercayaan terhadap aparat hukum dalam hal ini kepolisian bisa menyelesaikan kasus hukum dengan tuntas dan baik. Kopassus yang merasa para pembunuh temannya tidak diadili secara baik, akhirnya melakukan penghakiman sendiri atas nama jiwa korsa.
Langkah Kopassus itu memang tidak dibenarkan secara hukum, namun kejadian ini seharusnya menjadi tamparan keras aparat hukum untuk lebih bekerja secara profesional dan proporsional. Berbagai peristiwa tersebut akhirnya membuat wibawa aparat hukum rendah di mata masyarakat. Masyarakat pun, terutama yang memiliki kemampuan, akhirnya menjadi berani melawan aparatnya sendiri. Fenomena penembakan anggota Polri menjadi satu bagian cerita di atas.
Di sisi lain, kejadian-kejadian itu akhirnya berdampak pada menurunnya rasa aman di masyarakat. Bagaimana mau menyandarkan keamanan pada Polri jika mereka juga tidak mampu menjaga dirinya sendiri. Karena itu, polisi harus segera berbenah. Polri harus mampu mengungkap dulu siapa pelaku penembakan para anggotanya tersebut secara transparan. Aparat hukum tak boleh pasif atau hanya reaktif, namun harus aktif dalam menegakkan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
Sumber daya polisi memang sangat kurang bila dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, tapi setidaknya hal ini dapat diminimalisasi dengan kerja nyata yang baik dari aparat kepolisian. Bagaimanapun, kalau boleh jujur, imagetentang polisi saat ini di mata masyarakat memang kurang menyenangkan. Kasus-kasus di atas harusnya menjadi introspeksi, terutama bagi para petinggi Polri, untuk fokus bertugas mengemban amanah, jangan malah menimbun harta dari hal yang tidak dibenarkan.
Keengganan dalam mengusut dugaan jenderal yang memiliki rekening gendut juga menandakan tidak adanya niat baik dari Polri untuk berbenah. Masyarakat yang sudah cerdas dan kritis tidak bisa dibohongi dalam menilai kinerja aparatnya. Semoga berbagai peristiwa di atas bisa menjadikan Polri mawas diri dan lebih profesional untuk berjuang melindungi dan melayani masyarakat.
(nfl)