Mobil murah solusi transportasi atau bikin macet?
A
A
A
LCGC alias low cost green car, mobil yang konon murah dan ramah lingkungan, kebanjiran peminat. Industri mobil seperti Daihatsu Ayla dan Toyota Agya berlomba-lomba memproduksi mobil ini.
Kisaran harga yang terjangkau antara Rp75 juta sampai dengan Rp120 juta tentu menarik minat para pembeli. Belum selesai urusan mobil nasional (mobnas) SMK diluncurkan di mana SMK juga memproduksi mobil murah, sekarang produsen mobil juga berlomba-lomba memproduksi mobil murah.
Mengenai mobnas sendiri, hingga saat ini belum jelas kelanjutannya. Setelah Joko Widodo (Jokowi) ke Jakarta, kabar mobnas ini tidak terdengar lagi. Kebijakan ini tentu mengakibatkan meningkatnya konsumerisme di kalangan masyarakat, sementara perkembangan ruas jalan tidak meningkat secara signifikan.
Pertumbuhan ruas jalan tercatat hanya 0,01% saja. Terlihat secara kasatmata kemacetan jalan terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Waktu tempuh di jam macet seperti pagi hari hanya 5 km/jam saja dan bahan bakar terbakar sia-sia karena macet. Kebijakan yang tidak mengontrol populasi kendaraan dan membiarkan populasi tetap tumbuh tentunya membahayakan ketahanan energi nasional.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (Refor-Miner Institute) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan bahwa kuota bahan bakar minyak bersubsidi 48 juta kiloliter (kl) dalam RAPBN-P 2013 kemungkinan akan terlampaui. Jika diasumsikan konsumsi BBM tumbuh 8–10% tahun ini, volume konsumsi bisa mendekati 50 juta kl. Dampaknya bisa diduga, ketergantungan impor BBM akan makin tinggi sehingga ketahanan energi makin rentan.
Di sela-sela BBM yang harganya meningkat, justru pemerintah mengeluarkan kebijakan populis tetapi membahayakan ketahanan energi, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Perindustrian Nomor 33/M-IND/ PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Aturan ini justru memicu perkembangan produksi kendaraan menjadi tidak terarah.
Terbukti masyarakat berlomba-lomba menginden mobil murah ini karena tidak ada alternatif moda transportasi yang nyaman dan murah. Ditambah lagi dengan tidak adanya perencanaan secara nasional manajemen transportasi massal, tentunya semua ini sangat membahayakan bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dampaknya bisa diduga, investor sedikit demi sedikit hengkang dari Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat dan harga barang pokok pun ikut merambat naik.
Mengapa ini terjadi? Hal ini tidak terlepas karena problem transportasi yang semakin hari semakin rumit. Jalanan dijejali begitu banyak mobil. Waktu tempuh ke tempat tujuan tidak bisa diprediksi, ongkos transportasi menjadi mahal dan terjadi inefisiensi waktu. Tercatat pada 2011 saja jumlah kendaraan di Indonesia mencapai 85.601.351 dan setiap tahun rata-rata meningkat 8–11% setiap tahunnya.
Ini berbanding terbalik dengan panjang pertumbuhan jalan yang hanya 0,01%. Tidak tegasnya pemerintah dalam membuat kebijakan transportasi massal dan tidak terencananya sistem transportasi yang bersinambung berdampak buruk pada pengelolaan pola transportasi, jalanan macet setiap hari, bahan bakar terbakar percuma karena jalanan macet. Ditambah lagi dengan parkir kendaraan yang sembarangan di setiap jalan dan perumahan, penuh sesaklah jalanan.
Kebijakan radikal atas pengaturan populasi kendaraan seperti yang dilakukan Pemerintah Singapura perlu digunakan sebagai contoh. Di sana diatur tentang jumlah kendaraan dibandingkan dengan ruas jalan yang ada. Vehicle quota system (kuota sistem pengaturan jumlah kendaraan) mengatur jumlah kendaraan yang beredar di jalan raya. Setiap kendaraan yang dijual digantikan dengan kendaraan baru dengan sistem bidding atau tender. Harga kendaraan menjadi sangat mahal.
Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang justru sangat mudah dan murah mendapatkan kendaraan bermotor. Di Singapura bahkan ada rumusan di mana total kuota kendaraan tersebut diatur dan didapat dari hitungan. Setiap tahun, kuota ditetapkan untuk mengatur target persentase pertumbuhan dalam total populasi kendaraan bermotor dibandingkan dengan ruas jalan yang ada, ditambah lisensi kuota tambahan untuk menutupi jumlah kendaraan bermotor yang di-deregistrasi selama tahun tersebut dan ditambah izin kuota yang tidak terisi dari tahun sebelumnya.
Apabila ada kuota tersisa, kemudian ditenderkan sisa kuota kendaraan tersebut. Umur kendaraan diatur dan dibatasi, semakin tua umurnya semakin mahal pajaknya dan untuk pemilik kendaraan yang tua ditawarkan insentif untuk pembelian mobil baru, dalam arti pemilik mobil tua diberi diskon pajak certificate of entitlement rebate. Dengan sistem itu tentu jumlah kendaraan dapat dibatasi dan masyarakat dipaksa untuk menggunakan kendaraan umum.
Sebelum mengarahkan masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum, tentunya pemerintah harus mengatur ketersediaan kendaraan umum. Kita harus mengambil contoh di Singapura, transportasi diatur mulai dari transportasi lingkungan, jarak pendek, jarak jauh, bahkan ada transportasi khusus malam hari. Di samping itu seluruh transportasi diintegrasikan antara bus, MRT, dan LRT sehingga masyarakat dengan mudah menggunakan transportasi umum.
Strategi mesti terpadu, misalnya dengan pengembangan angkutan umum massal yang berorientasi pada mobilitas penumpang dengan jumlah besar (bus rapid transit; TransJakarta/busway, light rapid transit, mass rapid transit/MRT hingga angkutan sungai atau waterways). Kemudian perlu pengaturan tentang pembatasan kendaraan seperti electronic road pricing/ERP, sistem 3 in 1, pengaturan arah jalan (flow) menjadi satu arah, dan pengaturan pelat nomor ganjil genap. Intensitas kepadatan jalan perlu juga diukur agar kemacetan dapat dihindari.
Dengan sistem seperti ini, diharapkan ketahanan energi bisa dipertahankan. Tentunya pemerintah harus bekerja keras memperbaiki sistem transportasi Indonesia yang telanjur amburadul dan tidak tertata. Kebijakan mobil murah harus ditinjau ulang, kalau perlu pajak kendaraan progresif dengan cara tender diberlakukan. Setelah itu tentu kebijakan makro tentang pengaturan transportasi massal mulai dibangun dan direncanakan secara bersinambung.
WIJAYA KUSUMA SUBROTO, SH, MM
Ketua Perindo DPW DKI Jakarta
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara
Kisaran harga yang terjangkau antara Rp75 juta sampai dengan Rp120 juta tentu menarik minat para pembeli. Belum selesai urusan mobil nasional (mobnas) SMK diluncurkan di mana SMK juga memproduksi mobil murah, sekarang produsen mobil juga berlomba-lomba memproduksi mobil murah.
Mengenai mobnas sendiri, hingga saat ini belum jelas kelanjutannya. Setelah Joko Widodo (Jokowi) ke Jakarta, kabar mobnas ini tidak terdengar lagi. Kebijakan ini tentu mengakibatkan meningkatnya konsumerisme di kalangan masyarakat, sementara perkembangan ruas jalan tidak meningkat secara signifikan.
Pertumbuhan ruas jalan tercatat hanya 0,01% saja. Terlihat secara kasatmata kemacetan jalan terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Waktu tempuh di jam macet seperti pagi hari hanya 5 km/jam saja dan bahan bakar terbakar sia-sia karena macet. Kebijakan yang tidak mengontrol populasi kendaraan dan membiarkan populasi tetap tumbuh tentunya membahayakan ketahanan energi nasional.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (Refor-Miner Institute) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan bahwa kuota bahan bakar minyak bersubsidi 48 juta kiloliter (kl) dalam RAPBN-P 2013 kemungkinan akan terlampaui. Jika diasumsikan konsumsi BBM tumbuh 8–10% tahun ini, volume konsumsi bisa mendekati 50 juta kl. Dampaknya bisa diduga, ketergantungan impor BBM akan makin tinggi sehingga ketahanan energi makin rentan.
Di sela-sela BBM yang harganya meningkat, justru pemerintah mengeluarkan kebijakan populis tetapi membahayakan ketahanan energi, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Perindustrian Nomor 33/M-IND/ PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau. Aturan ini justru memicu perkembangan produksi kendaraan menjadi tidak terarah.
Terbukti masyarakat berlomba-lomba menginden mobil murah ini karena tidak ada alternatif moda transportasi yang nyaman dan murah. Ditambah lagi dengan tidak adanya perencanaan secara nasional manajemen transportasi massal, tentunya semua ini sangat membahayakan bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dampaknya bisa diduga, investor sedikit demi sedikit hengkang dari Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat dan harga barang pokok pun ikut merambat naik.
Mengapa ini terjadi? Hal ini tidak terlepas karena problem transportasi yang semakin hari semakin rumit. Jalanan dijejali begitu banyak mobil. Waktu tempuh ke tempat tujuan tidak bisa diprediksi, ongkos transportasi menjadi mahal dan terjadi inefisiensi waktu. Tercatat pada 2011 saja jumlah kendaraan di Indonesia mencapai 85.601.351 dan setiap tahun rata-rata meningkat 8–11% setiap tahunnya.
Ini berbanding terbalik dengan panjang pertumbuhan jalan yang hanya 0,01%. Tidak tegasnya pemerintah dalam membuat kebijakan transportasi massal dan tidak terencananya sistem transportasi yang bersinambung berdampak buruk pada pengelolaan pola transportasi, jalanan macet setiap hari, bahan bakar terbakar percuma karena jalanan macet. Ditambah lagi dengan parkir kendaraan yang sembarangan di setiap jalan dan perumahan, penuh sesaklah jalanan.
Kebijakan radikal atas pengaturan populasi kendaraan seperti yang dilakukan Pemerintah Singapura perlu digunakan sebagai contoh. Di sana diatur tentang jumlah kendaraan dibandingkan dengan ruas jalan yang ada. Vehicle quota system (kuota sistem pengaturan jumlah kendaraan) mengatur jumlah kendaraan yang beredar di jalan raya. Setiap kendaraan yang dijual digantikan dengan kendaraan baru dengan sistem bidding atau tender. Harga kendaraan menjadi sangat mahal.
Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang justru sangat mudah dan murah mendapatkan kendaraan bermotor. Di Singapura bahkan ada rumusan di mana total kuota kendaraan tersebut diatur dan didapat dari hitungan. Setiap tahun, kuota ditetapkan untuk mengatur target persentase pertumbuhan dalam total populasi kendaraan bermotor dibandingkan dengan ruas jalan yang ada, ditambah lisensi kuota tambahan untuk menutupi jumlah kendaraan bermotor yang di-deregistrasi selama tahun tersebut dan ditambah izin kuota yang tidak terisi dari tahun sebelumnya.
Apabila ada kuota tersisa, kemudian ditenderkan sisa kuota kendaraan tersebut. Umur kendaraan diatur dan dibatasi, semakin tua umurnya semakin mahal pajaknya dan untuk pemilik kendaraan yang tua ditawarkan insentif untuk pembelian mobil baru, dalam arti pemilik mobil tua diberi diskon pajak certificate of entitlement rebate. Dengan sistem itu tentu jumlah kendaraan dapat dibatasi dan masyarakat dipaksa untuk menggunakan kendaraan umum.
Sebelum mengarahkan masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum, tentunya pemerintah harus mengatur ketersediaan kendaraan umum. Kita harus mengambil contoh di Singapura, transportasi diatur mulai dari transportasi lingkungan, jarak pendek, jarak jauh, bahkan ada transportasi khusus malam hari. Di samping itu seluruh transportasi diintegrasikan antara bus, MRT, dan LRT sehingga masyarakat dengan mudah menggunakan transportasi umum.
Strategi mesti terpadu, misalnya dengan pengembangan angkutan umum massal yang berorientasi pada mobilitas penumpang dengan jumlah besar (bus rapid transit; TransJakarta/busway, light rapid transit, mass rapid transit/MRT hingga angkutan sungai atau waterways). Kemudian perlu pengaturan tentang pembatasan kendaraan seperti electronic road pricing/ERP, sistem 3 in 1, pengaturan arah jalan (flow) menjadi satu arah, dan pengaturan pelat nomor ganjil genap. Intensitas kepadatan jalan perlu juga diukur agar kemacetan dapat dihindari.
Dengan sistem seperti ini, diharapkan ketahanan energi bisa dipertahankan. Tentunya pemerintah harus bekerja keras memperbaiki sistem transportasi Indonesia yang telanjur amburadul dan tidak tertata. Kebijakan mobil murah harus ditinjau ulang, kalau perlu pajak kendaraan progresif dengan cara tender diberlakukan. Setelah itu tentu kebijakan makro tentang pengaturan transportasi massal mulai dibangun dan direncanakan secara bersinambung.
WIJAYA KUSUMA SUBROTO, SH, MM
Ketua Perindo DPW DKI Jakarta
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara
(hyk)