Hasil survei sulit pengaruhi opini publik
A
A
A
Sindonews.com - Maraknya hasil survei yang dirilis menjelang pemilu 2014 dinilai sulit mempengaruhi opini masyarakat. Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro mengatakan tidak ada jaminan sama sekali bahwa hasil rilis survei dapat mempengaruhi opini publik.
"Kasus DKI Jakarta itu dapat dijadikan contoh. makanya di putaran kedua tidak ada survei lagi," katanya saat dihubungi SINDO, Selasa (10/9/2013).
Siti mengaku saat ini tidak dapat menilai lagi lembaga suirvei mana saja yang masih independen. Pasalnya, menurut dia survei ini dapat dilenceng-lencengkan hasilnya.
"Saya tidak dapat melihat lagi mana survei independen atau melakukan survei berdasarkan akademik dengan yang hanya partisan. Kabur semua sekarang," katanya.
Dia mengatakan dibandingkan survei, quick count lebih dapat dipercaya.
Meskipin memang terkada ada perbedaan nol koma dengan perhitungan manual.
Siti menilai perlunya memberikan pembelajaran. Menurut dia, jangan sampai survei malah memperkeruh situasi politik dengan cara-cara survei yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Memang tidak semua tetapi kenamyakan partisan. Ada beberapa integritasnya masih tetapi banyak partisan. Kalau seperti itu bagaimana dapat menjaga kepercayaan publik,"ungkapnya.
Dia mengatakan survei merupakan persepsi yang diquantifikasikan. Suervei mulai tumbuh di Indonesia sejak tahun 2004.
"1999 sepertinya tidak ada survei. Lebih disemarakkan lagi pilkada juga ada survei. 924 pilkada. Luar biasa lembaga survei meraup keuntungan," katanya.
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Toto Sugiarto mengatakan untuk jangka pendek memang berpengaruh. Namun setelah itu akan mengcompare dengan lembaga-lembag survei lainnya.
"Jika lembaga survei yang berbeda sendiri tentu tidak akan dipercaya publik," katanya.
Apa yang diumumkan oleh survei dapat mempengaruhi opini masyarakat meskipun tidak secara langsung. Menurutnya sebuah lembaga survei harus menjaga objektivitasnya. Angka yang diumumkan ke publik itulah angka dari hasil lapangan.
"Ini penentu lembaga survei. Kalau lembaga survei partisan maka publik tidak akan percaya lagi. Ini sebenarnya bunuh diri untuk lembaga survei itu sendiri. Jika tidak ingin terbuh itu harus objektif," katanya.
Terkait banyaknya hasil survei yang berbeda satu sama lain, Toto mengatakan ada kemungkinan. Pertama karena survei itu tidak independen. Kedua memang metodenya berbeda. Misalnya, cara pengambilan samplenya berbeda.
"Mungkin katakanlah salah satu survei multistage random sampling langsung ke rakyat di survei lain menggunakan telpon pasti akan berbeda. Pemilik telpon tentu akan berbeda opininya dengan semua masyarakat Indonesia," katanya..
Keberadaan lembaga survei memang positif. Pasalnya akan membawa politik menjadi rasional tidak lagi mitos-mitos.
"Kasus DKI Jakarta itu dapat dijadikan contoh. makanya di putaran kedua tidak ada survei lagi," katanya saat dihubungi SINDO, Selasa (10/9/2013).
Siti mengaku saat ini tidak dapat menilai lagi lembaga suirvei mana saja yang masih independen. Pasalnya, menurut dia survei ini dapat dilenceng-lencengkan hasilnya.
"Saya tidak dapat melihat lagi mana survei independen atau melakukan survei berdasarkan akademik dengan yang hanya partisan. Kabur semua sekarang," katanya.
Dia mengatakan dibandingkan survei, quick count lebih dapat dipercaya.
Meskipin memang terkada ada perbedaan nol koma dengan perhitungan manual.
Siti menilai perlunya memberikan pembelajaran. Menurut dia, jangan sampai survei malah memperkeruh situasi politik dengan cara-cara survei yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Memang tidak semua tetapi kenamyakan partisan. Ada beberapa integritasnya masih tetapi banyak partisan. Kalau seperti itu bagaimana dapat menjaga kepercayaan publik,"ungkapnya.
Dia mengatakan survei merupakan persepsi yang diquantifikasikan. Suervei mulai tumbuh di Indonesia sejak tahun 2004.
"1999 sepertinya tidak ada survei. Lebih disemarakkan lagi pilkada juga ada survei. 924 pilkada. Luar biasa lembaga survei meraup keuntungan," katanya.
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Toto Sugiarto mengatakan untuk jangka pendek memang berpengaruh. Namun setelah itu akan mengcompare dengan lembaga-lembag survei lainnya.
"Jika lembaga survei yang berbeda sendiri tentu tidak akan dipercaya publik," katanya.
Apa yang diumumkan oleh survei dapat mempengaruhi opini masyarakat meskipun tidak secara langsung. Menurutnya sebuah lembaga survei harus menjaga objektivitasnya. Angka yang diumumkan ke publik itulah angka dari hasil lapangan.
"Ini penentu lembaga survei. Kalau lembaga survei partisan maka publik tidak akan percaya lagi. Ini sebenarnya bunuh diri untuk lembaga survei itu sendiri. Jika tidak ingin terbuh itu harus objektif," katanya.
Terkait banyaknya hasil survei yang berbeda satu sama lain, Toto mengatakan ada kemungkinan. Pertama karena survei itu tidak independen. Kedua memang metodenya berbeda. Misalnya, cara pengambilan samplenya berbeda.
"Mungkin katakanlah salah satu survei multistage random sampling langsung ke rakyat di survei lain menggunakan telpon pasti akan berbeda. Pemilik telpon tentu akan berbeda opininya dengan semua masyarakat Indonesia," katanya..
Keberadaan lembaga survei memang positif. Pasalnya akan membawa politik menjadi rasional tidak lagi mitos-mitos.
(lal)