Sektor riil mulai tiarap
A
A
A
PEREKONOMIAN nasional dalam kondisi sulit, target pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini dikoreksi. Situasi sulit itu tercermin dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin mendekati Rp12.000 per USD.
Laju angka inflasi yang diprediksi di atas 9% tahun ini makin mendekati kenyataan. Defisit neraca perdagangan semakin membesar di luar perkiraan hingga Juli lalu. Situasi tersebut makin sempurna ketika Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) ke level 7%. Para pengambil kebijakan ekonomi mafhum bahwa menaikkan BI Rate akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, kebijakan itu harus ditempuh agar perekonomian tidak tergerus semakin dalam di tengah ketidakberdayaan rupiah menghadapi keperkasaan dolar AS.
Sementara kondisi perekonomian global semakin suram menyusul perbaikan perekonomian di sejumlah negara di kawasan Eropa yang masih jauh dari harapan. Persoalan makin kompleks akibat situasi geopolitik di Timur Tengah yang gonjang-ganjing setelah AS mencurahkan perhatian untuk ”menangani” Suriah. Tak pelak lagi, harga minyak mentah dunia terdongkrak yang berdampak langsung terhadap beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dalam kondisi semrawut itu jelas mendongkrak nilai ekspor bukan pekerjaan gampang.
Beban pemerintah makin berat karena perhatian terpecah menghadapi tahun depan yang lebih akrab disebut tahun politik yakni pemilihan anggota legislatif dan presiden. Sejauh mana dampak kenaikan BI Rate yang sudah mencapai 125 bps dalam tiga bulan terakhir ini? Memang, belum ada angka-angka yang bisa menjelaskan secara akurat, tetapi dalam tiga bulan ke depan kenaikan suku bunga acuan itu pasti memengaruhi sektor riil.
Sejumlah perbankan sedang mengotak-atik berapa besar akan menggerek suku bunga kredit untuk menyelaraskan kenaikan suku bunga acuan. Artinya, pelaku usaha di sektor riil terpaksa harus berhitung ulang berkaitan dengan bunga pinjaman, bahkan menunda untuk mencairkan pinjaman perbankan. Dengan demikian, beban pekerjaan rumah pemerintah makin bertambah bagaimana menerbitkan kebijakan yang pro pada sektor riil.
Dampak lain dari kenaikan BI Rate adalah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan. Menaikkan suku bunga acuan, diakui Gubernur BI Agus Martowardojo, akan langsung direspons pihak perbankan dengan menyesuaikan suku bunga kredit. Karena itu, Agus Martowardojo tidak menampik bahwa kenaikan suku bunga acuan berdampak pada pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit. Sebelumnya bank sentral memprediksi penyaluran kredit bakal bertumbuh sekitar 23%–24% hingga akhir tahun ini.
Namun, angka tersebut dikoreksi menjadi 18%-20% melihat kenyataan perekonomian nasional dalam kondisi sulit. Menyikapi kebijakan BI yang menaikkan suku bunga acuan tidaklah bijak kalau hanya melihat satu sisi. Menaikkan BI Rate memang maju kena dan mundur kena. Di satu sisi kebijakan tersebut bermaksud mengerem laju inflasi dan memberi otot kepada rupiah agar tidak loyo menghadapi mata uang negeri Paman Sam. Di sisi lain itu mengancam pelemahan di sektor riil yang diwarnai kenaikan suku bunga dan pelambatan pertumbuhan kredit perbankan.
Lalu tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi perekonomian yang dalam kondisi sulit? Secara kebijakan sudah jelas lewat empat paket kebijakan perekonomian yang diluncurkan pemerintah bulan lalu. Sekarang pemerintah harus fokus membenahi masalah yang menjadi ganjalan perekonomian salah satunya menyehatkan neraca perdagangan yang terus mencetak angka negatif. Selain fokus, pemerintah juga harus menekankan unsur prioritas apa yang harus dilakukan.
Misalnya untuk urusan impor, barang yang tidak prioritas apalagi bisa diproduksi di dalam negeri harus tegas untuk menyetopnya. Selain itu, dalam kondisi serbasulit koordinasi strategis antarkementerian dan lembaga terkait juga harus semakin erat guna menyelesaikan masalah yang ada, tentu dibarengi tindakan solutif.
Laju angka inflasi yang diprediksi di atas 9% tahun ini makin mendekati kenyataan. Defisit neraca perdagangan semakin membesar di luar perkiraan hingga Juli lalu. Situasi tersebut makin sempurna ketika Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) ke level 7%. Para pengambil kebijakan ekonomi mafhum bahwa menaikkan BI Rate akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, kebijakan itu harus ditempuh agar perekonomian tidak tergerus semakin dalam di tengah ketidakberdayaan rupiah menghadapi keperkasaan dolar AS.
Sementara kondisi perekonomian global semakin suram menyusul perbaikan perekonomian di sejumlah negara di kawasan Eropa yang masih jauh dari harapan. Persoalan makin kompleks akibat situasi geopolitik di Timur Tengah yang gonjang-ganjing setelah AS mencurahkan perhatian untuk ”menangani” Suriah. Tak pelak lagi, harga minyak mentah dunia terdongkrak yang berdampak langsung terhadap beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dalam kondisi semrawut itu jelas mendongkrak nilai ekspor bukan pekerjaan gampang.
Beban pemerintah makin berat karena perhatian terpecah menghadapi tahun depan yang lebih akrab disebut tahun politik yakni pemilihan anggota legislatif dan presiden. Sejauh mana dampak kenaikan BI Rate yang sudah mencapai 125 bps dalam tiga bulan terakhir ini? Memang, belum ada angka-angka yang bisa menjelaskan secara akurat, tetapi dalam tiga bulan ke depan kenaikan suku bunga acuan itu pasti memengaruhi sektor riil.
Sejumlah perbankan sedang mengotak-atik berapa besar akan menggerek suku bunga kredit untuk menyelaraskan kenaikan suku bunga acuan. Artinya, pelaku usaha di sektor riil terpaksa harus berhitung ulang berkaitan dengan bunga pinjaman, bahkan menunda untuk mencairkan pinjaman perbankan. Dengan demikian, beban pekerjaan rumah pemerintah makin bertambah bagaimana menerbitkan kebijakan yang pro pada sektor riil.
Dampak lain dari kenaikan BI Rate adalah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan. Menaikkan suku bunga acuan, diakui Gubernur BI Agus Martowardojo, akan langsung direspons pihak perbankan dengan menyesuaikan suku bunga kredit. Karena itu, Agus Martowardojo tidak menampik bahwa kenaikan suku bunga acuan berdampak pada pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit. Sebelumnya bank sentral memprediksi penyaluran kredit bakal bertumbuh sekitar 23%–24% hingga akhir tahun ini.
Namun, angka tersebut dikoreksi menjadi 18%-20% melihat kenyataan perekonomian nasional dalam kondisi sulit. Menyikapi kebijakan BI yang menaikkan suku bunga acuan tidaklah bijak kalau hanya melihat satu sisi. Menaikkan BI Rate memang maju kena dan mundur kena. Di satu sisi kebijakan tersebut bermaksud mengerem laju inflasi dan memberi otot kepada rupiah agar tidak loyo menghadapi mata uang negeri Paman Sam. Di sisi lain itu mengancam pelemahan di sektor riil yang diwarnai kenaikan suku bunga dan pelambatan pertumbuhan kredit perbankan.
Lalu tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi perekonomian yang dalam kondisi sulit? Secara kebijakan sudah jelas lewat empat paket kebijakan perekonomian yang diluncurkan pemerintah bulan lalu. Sekarang pemerintah harus fokus membenahi masalah yang menjadi ganjalan perekonomian salah satunya menyehatkan neraca perdagangan yang terus mencetak angka negatif. Selain fokus, pemerintah juga harus menekankan unsur prioritas apa yang harus dilakukan.
Misalnya untuk urusan impor, barang yang tidak prioritas apalagi bisa diproduksi di dalam negeri harus tegas untuk menyetopnya. Selain itu, dalam kondisi serbasulit koordinasi strategis antarkementerian dan lembaga terkait juga harus semakin erat guna menyelesaikan masalah yang ada, tentu dibarengi tindakan solutif.
(nfl)