Migas dan selingkuh bisnis-politik

Jum'at, 23 Agustus 2013 - 09:45 WIB
Migas dan selingkuh bisnis-politik
Migas dan selingkuh bisnis-politik
A A A
TERTANGKAPNYA Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini harus menjadi pintu masuk mengurai mafia migas. Tidak mungkin guru besar ITB itu berani terima uang suap jika tidak ada arahan atau perintah dari pejabat yang berpengaruh terkait suatu proyek dalam tata niaga lifting migas.

Diduga, uang tersebut bukan hanya untuk Rudi sendiri. Melainkan untuk kepentingan orang yang berpengaruh tadi. Barangkali hal inilah yang kemudian menjelaskan kepada kita mengapa KPK atas petunjuk Rudi kemudian menemukan USD200.000 di laci Sekjen Kementerian ESDM tersebut. Menteri Jero Wacik boleh saja membantah. Namun, pengakuan Rudi patut didalami oleh KPK jika ingin menguak lebih dalam lagi jaringan mafia migas dari hulu hingga hilir yang selama ini menggerogoti potensi penerimaan negara hingga triliunan rupiah setiap tahun.

Mengecilkan target volume kemampuan produksi atau lifting dalam APBN padahal sesungguhnya sangat besar dan meninggikan nilai cost recovery, adalah salah satu modus yang paling mudah dibaca. Yang terungkap dari kasus operasi tangkap tangan (OTT) Rudi itu, baru dari satu perusahaan. Itu pun tergolong perusahaan berskala kecil. Masih puluhan perusahaan migas raksasa kelas dunia yang diduga melakukan praktik yang sama dengan omzet kejahatan triliunan rupiah setiap tahun. Rumor lain yang tak kalau panas terkait kasus Rudi adalah soal perusahaan Kernell Oil (KO) yang diduga melakukan suap.

Berdasarkan informasi, KO yang berkedudukan di Singapura yang dipimpin oleh seorang warga negara Singapura bernama Widodo itu sudah berbisnis sejak zaman SKK Migas masih bernama BP Migas yang dipimpin R Prijono. Keterlibatan KO berbisnis minyak tidak lain karena peran pejabat tinggi kementerian ESDM ketika itu. Seperti dalam cerita-cerita di film bertema ‘business intelligent’, pejabat ESDM tersebut sengaja menempatkan orangnya untuk menjaga kepentingan KO di BP Migas hingga berubah menjadi SKK Migas.

KO terdaftar sebagai perusahaan trader di SKK Migas sejak jaman BP Migas. Atau sejak jaman R Prijono sampai sekarang dijabat Rudi Rubiandini. Konon, KO sangat aktif berbisnis dari hulu sampai hilir. Sampai-sampai di kalangan para pebisnis migas, KO dikenal sebagai kartel migas. Setelah R Prijono selesai jabatannya dan digantikan Rudi, peran orang yang ditempatkan pejabat tinggi ESDM yang merangkap sebagai market intelligenttersebut tetap dilakukan untuk mengawal kepentingan KO.

Saking intensnya, sempat beredar isu Rudi menjalin hubungan asmara dengan orangnya pejabat tinggi ESDM tersebut. Seperti diketahui, investigasi penyidik KPK berhasil menyadap pembicaraan telepon Rudi dengan orang kepercayaan pejabat tinggi ESDM tersebut yang mengantarkan para pihak akhirnya digelandang KPK dalam operasi tangkap tangan.

Perselingkuhan kelas dunia

Perselingkuhan politik dan bisnis dalam industri migas sudah menjadi aturan main tak tertulis. Perselingkuhan itu biasanya berujung pada ‘kawin paksa’ pemburu rente dan pemburu kuasa. Ketika pemburu kuasa tunduk pada kehendak pemburu rente, Kepentingan negara dan rakyat pun harus dikorbankan.

Perselingkuhan atau hanky pankydalam industri dan bisnis migas sudah menjadi rahasia umum yang universal. Tak perlu lagi ditutup-tutupi, jika industri migas tidak sarat perselingkuhan, mungkin tidak semua cadangan minyak fosil di perut bumi bisa dieksplorasi. Kecenderungan ini merupakan ekses dari ketidakseimbangan kekuatan karena terbentuknya blok negara kaya dan negara miskin, serta negara maju dan negara berkembang.

Orang-orang kaya dari negara maju datang ke negeri berkembang mencari ladang minyak. Tidak hanya uang, mereka juga membawa teknologi. Namun, menguasai sebuah ladang minyak yang luas bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan dukungan kekuatan politik untuk memuluskan proses penguasaan sebuah ladang minyak. Jelas bahwa tidak ada yang gratis. Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan politik. Terjadilah perselingkuhan itu. Biasanya dibungkus dengan kalimat-kalimat seperti “berhasil mendatangkan investor” atau “investasi terus tumbuh” hingga kalimat “meningkatkan produksi minyak mentah”.

Bahkan, kalau dianggap perlu, perselingkuhan itu diwujudkan dengan invasi militer atau perang. Amerika Serikat (AS) dan sekutunya harus mencari alasan untuk berperang di Irak, serta memperkeruh krisis di Libya untuk menguasai ladang minyak di kedua negara itu. Selain mengerahkan mesin perangnya, selama bertahuntahun AS pun harus menyiagakan 150.000 pasukannya di Irak. Menurut peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz, AS harus mengeluarkan dana hampir USD3 triliun untuk membiayai perang di Irak. Belakangan, dunia tahu bahwa perang itu bermotif minyak.

Data dari Centre for Global Energy Studies (CGES) yang berbasis di London menyebutkan bahwa kandungan minyak di perut bumi Irak merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Ketika perang itu sampai pada episode tentang perlunya mempertahankan kehadiran militer AS untuk menjaga stabilitas Irak, raksasa-raksasa bisnis perminyakan dari barat, seperti ExxonMobil, Chevron, BP dan Shell langsung berdatangan ke Irak. Tak ketinggalan untuk berbisnis di Irak adalah perusahaan jasa perminyakan Halliburton dari AS yang pernah dipimpin oleh Dick Cheney, mantan Wapres AS.

Tanpa harus merancang perang, perselingkuhan itu pun dipraktikan di Indonesia. Warga Papua danmasyarakat Indonesia pada umumnya boleh saja menyuarakan aspirasi mengenai ketidakadilan akibat penambangan emas oleh Freeport- McMoRan Copper & Gold Inc. Namun, penggalian di Papua legal karena kehendak kekuatan-kekuatan politik di negara ini.

Selingkuh Cepu

Raksasa-raksasa industri Migas dari barat pun sudah lama mencari peruntungan di Indonesia. Namun, heboh perselingkuhan untuk kepentingan di Blok Cepu masih diingat banyak orang hingga kini. Dalam kasus Blok Cepu, masyarakat yang peduli bersepakat untuk berpendapat bahwa kepentingan nasional yang jauh lebih besar dan strategis telah dikorbankan.

Tahapan eksplorasi minyak di Blok Cepu harus melalui proses yang sangat berliku. Awalnya, izin eksplorasi di blok ini ada dalam genggaman Humpuss Patragras. Karena keterbatasan dana dan teknologi, Humpuss menjalin kerja sama dengan Ampolex dari Australia. Kehadiran Ampolex di Blok Cepu ternyata bukan jalan keluar, karena eksplorasi tidak dikerjakan. Bahkan, Ampolex pun diakuisisi oleh Mobil Oil. Karena proses akuisisi ini berlarutlarut, pengeboran dihentikan pada 1996. Masalah bertambah ketika Humpuss pun menjual sahamnya kepada Mobil Oil di tengah krisis ekonomi 1998.

Akhirnya, ExxonMobil membeli hak eksplorasi Blok Cepu. Hasil pemetaan lapisan bawah permukaan oleh anak usaha ExxonMobil, yakni Mobil Cepu Ltd yang berstatus sebagai mitra Pertamina di blok ini cukup mencengangkan. Sebab, kandungan minyak mentah di Blok Cepu ternyata mencapai 1,478 miliar barel, plus kandungan gas sebesar 8,14 miliar kaki kubik. Mungkin karena kandungan yang demikian besar itu, Pertamina dan ExxonMobil terjebak dalam proses negosiasi yang alot dan berlarut-larut.

Pertamina bersikukuh menjaga kepentingan nasional. Di tengah ketidakpastian itu, Departemen Luar Negeri AS mengagendakan kunjungan Menlu AS (saat itu) Condoleezza Rice ke Indonesia pada Maret 2006. Sebelum pesawat yang ditumpangi Rice take off, Pemerintah Indonesia mengganti dewan direksi Pertamina. ExxonMobil pun menjadi operator utama dengan kontrak pengelolaan Blok Cepu selama 30 tahun. Porsi saham Pertamina dan ExxonMobil masing-masing 45%, sementara 10% lainnya diserahkan kepada kabupaten Bojonegoro dan Blora, serta Pemda Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Perselingkuhan di Blok Cepu adalah kesepakatan besar bernilai triliunan rupiah. Begitu juga kesepakatan untuk eksplorasi ladang minyak lainnya di berbagai daerah. Maka, kalau nilai kesepakatan itu diperbandingkan dengan jumlah uang suap yang diduga diterima Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, nilanya memang terlalu kecil. Hanya senilai biaya entertainment dua tiga hari di bisnis migas.

Sebab, dari pengurusan izin hingga keperluan pelesiran, mereka yang berada dalam komunitas bisnis migas selalu berbicara tentang jumlah atau nilai uang yang besar. Untuk menghibur seorang oknum pejabat, perusahaan minyak tak segan-segan mengeluarkan dana sampai miliaran rupiah. Sudah menjadi rahasia umum harga tak resmi untuk mendapatkan perpanjangan izin kontrak migas di Indonesia bisa mencapai angka USD50 juta.

Diyakini bahwa Rudi Rubiandini tidak sendiri. Itu sebabnya, KPK bisa menemukan uang USD200.000 di ruang Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM. Maka, kasus Rudi Rubiandini memang patut dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap perselingkuhan bisnis-politik dalam industri migas di Indonesia. Tentu saja penyelidikan harus diarahkan ke atas, karena perselingkuhan atau deal-nya memang dimulai dari atas.

BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7592 seconds (0.1#10.140)