Menggugat SKK Migas
A
A
A
HARI ulang tahun kemerdekaan RI ke-68 tahun ini dirayakan di tengah berita heboh tentang korupsi oleh pejabat tinggi negara.
Tidak tanggung-tanggung, pelaku utamanya adalah kepala lembaga terpenting pengelola migas nasional, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang dijabat orang terpandang berpredikat guru besar pula: Profesor Rudi Rubiandini! Sebuah kado ulang tahun yang sangat tidak pantas dan memalukan, sekaligus membuat miris dan ironis.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang salah dalam pengelolaan migas kita? Sebenarnya terbongkarnya satu kasus korupsi sektor migas bukanlah surprise bagi sebagian besar kita. Kenapa? Karena memang dugaan korupsi di dunia migas sudah menjadi rahasia umum. Di sini berlaku fenomena gunung es, yang terungkap di publik hanya sebagian kecil dari masih banyaknya penyelewengan di bawah permukaan. Yang sedikit membuat kaget, mungkin karena pelakunya seorang profesional terpandang dan bergelar guru besar.
Selebihnya, jika kasus korupsi migas lain terbongkar, itu akan menjadi hal yang biasa.... Jika menengok ke belakang, pada 2006 misalnya, BPK melaporkan temuan audit di BP Migas periode 2004-2005 sebesar USD2,53 miliar (Rp26 triliun). Pada 2006, BPKP melaporkan potensi kerugian negara terkait cost recovery (CR) periode 2000-2005 sekitar Rp9,37 triliun. BPK melaporkan potensi kerugian negara dari penggelembungan CR periode 2000-2006 senilai Rp18,07 triliun.
Tahun 2011 BPK melaporkan proyek fiktif biomediasi Chevron yang telah disetujui BP Migas, dengan potensi kerugian negara Rp2,6 triliun. Untuk tiga tahun terakhir 2010–2012, BPK melaporkan temuan hasil audit di BP Migas yang berpotensi merugikan negara sebesar USD230 juta atau sekitar Rp2,3 triliun. Puluhan triliun rupiah temuan BPK di atas berpotensi merugikan negara, karena sangat patut diduga telah dikorupsi.
Hampir seluruh temuan berstatus mengambang tanpa tindak lanjut, tidak pernah terselesaikan, yang akhirnya akan menghilang di telan bumi seiring dengan berjalannya waktu. Lembaga-lembaga terkait seperti DPR, kepolisian, dan kejaksaan yang mestinya menindaklanjuti temuan BPK, alpa bertindak. Akhirnya, para koruptor lolos dari jerat hukum dan tinggallah negara dan rakyat yang menanggung kerugian.
Ternyata aspek sistem dan aturan main pengelolaan migas nasional memang belum dijalankan sesuai prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Sejak diberlakukannya UU Migas No 22/2001, niat perbaikan atas pengelolaan migas yang kacau pada era Orde Baru ternyata belum membawa hasil. Di bawah sistem yang mengacu pada UU Migas No 22/2001, korupsi justru terus berlanjut. Laporan-laporan BPK dan BPKP di atas menjadi buktinya.
Upaya perbaikan sistem memang dilakukan, baik melalui gugatan judicial reviewatas UU Migas maupun melalui “niat baik” segelintir anggota DPR periode 2004–2009 untuk membentuk UU Migas baru. Namun, upaya-upaya tersebut selalu kandas, kalah berhadapan dengan berbagai pihak yang kepentingan menikmati rente dari sistem yang bermasalah. Kita pun kalah berhadapan dengan pihak asing yang memang sudah menikmati hasil dari upaya pemaksaan pemberlakuan UU Migas 2001 tersebut, saat krisis ekonomi 1997/1998.
Hasil judicial review ke-2 UU Migas yang “berbuah” pada pembubaran BP Migas sesuai Keputusan MK No 36/PUU pada 13 November 2012 sedikit memberi harapan perbaikan. BP Migas yang menjadi lembaga pengendali dan pengawas kontrak-kontrak migas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan dianggap berperan menimbulkan terus berjangkitnya korupsi di sektor migas nasional. SKK Migas yang dibentuk sesuai Perpres No 9/2013 untuk menggantikan BP Migas, ternyata mempunyai peran, fungsi, dan tugas yang sama dengan BP Migas.
Perubahan ke arah perbaikan tidak terjadi. Kecuali “dilengkapi” dengan adanya Komisi Pengawas, SKK Migas sama saja dengan BP Migas yang dulu! Tak heran jika banyak yang sinis, bahwa kebijakan tersebut hanya basa-basi, ganti “casing”, fungsi dan perannya sama saja. Di sini kita mencatat satu hal penting: fungsi dan peran SKK Migas memang tetap bertentangan dengan konstitusi sebagaimana BP Migas!
Dalam amar putusannya, MK menjelaskan tentang pentingnya fungsi “penguasaan oleh negara” atas sumber daya migas yang dimiliki. Penguasaan ini harus diwujudkan dalam lima peran utama, berupa mengadakan kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. MK juga menjelaskan bahwa peran mengelola akan optimal jika dilakukan oleh entitas bisnis seperti BUMN.
Mengingat BP Migas hanyalah lembaga BHMN yang tak memiliki kemampuan “mengelola” (dari ke-5 peran negara di atas), dalam arti memanfaatkan sumber daya migas bagi kepentingan ekonomi dan finansial (memonetisasi aset) nasional, maka target konstitusional guna meraih sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal terpenuhi. Karena tidak memiliki peran inilah, mengapa MK membubarkan BP Migas.
Sejalan dengan dibubarkannya BP Migas, dalam butir 1.7 amar putusannya, MK memang menyatakan bahwa “Fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh pemerintah, c.q. kementerian terkait, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut”. Dengan amar putusan MK ini, pemerintah berhak membentuk lembaga pengganti BP Migas, sehingga lahirlah SKK Migas sesuai Perpres No 9/20013. Namun menilik fungsi dan tugas SKK Migas yang memang sama saja dengan BP Migas (minus Komisi Pengawas), pemerintah telah dengan sengaja dan sadar mengulang kesalahan pada UU Migas No 22/2001.
Jika memiliki iktikad baik dan patuh terhadap konstitusi, pemerintah tentunya tidak akan membentuk lembaga pengganti yang juga berstatus BHMN seperti SKK Migas, yang tidak memiliki peran “mengelola”. Pemerintah mestinya menyerahkan fungsi dan tugas BP Migas kepada BUMN, dalam hal ini yang realistis adalah kepada Pertamina. Mengapa alternatif ideal tersebut tidak diambil? Tentu karena banyak oknum yang berkepentingan.
Dalam hal ini, jangan salahkan jika ada yang menaruh curiga: SKK dibentuk agar praktik-praktik perburuan rente dapat terus berlangsung. Apalagi pada SKK Migas, Komisi Pengawas berasal dari “kalangan sendiri”, pihak eksekutif juga. Tertangkap tangannya Profesor Rudi membuktikan bahwa sistem pengelolaan migas menggunakan lembaga BHMN seperti SKK Migas memang rawan korupsi, sebagaimana terjadi pada BP Migas. Karena itu, sistem harus diperbaiki. SKK Migas harus segera dibubarkan.
Pemerintah harus menerbitkan Perpres baru yang menugaskan Pertamina, di bawah direktorat/divisi baru, untuk menjalankan fungsi dan tugas BP Migas dan SKK Migas yang memang tidak konstitusional. Perpres tersebut dapat menjadi kado ulang tahun yang berharga bagi rakyat, sebagai penawar atas kado yang disebut di awal tulisan.
MARWAN BATUBARA
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS)
Tidak tanggung-tanggung, pelaku utamanya adalah kepala lembaga terpenting pengelola migas nasional, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang dijabat orang terpandang berpredikat guru besar pula: Profesor Rudi Rubiandini! Sebuah kado ulang tahun yang sangat tidak pantas dan memalukan, sekaligus membuat miris dan ironis.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang salah dalam pengelolaan migas kita? Sebenarnya terbongkarnya satu kasus korupsi sektor migas bukanlah surprise bagi sebagian besar kita. Kenapa? Karena memang dugaan korupsi di dunia migas sudah menjadi rahasia umum. Di sini berlaku fenomena gunung es, yang terungkap di publik hanya sebagian kecil dari masih banyaknya penyelewengan di bawah permukaan. Yang sedikit membuat kaget, mungkin karena pelakunya seorang profesional terpandang dan bergelar guru besar.
Selebihnya, jika kasus korupsi migas lain terbongkar, itu akan menjadi hal yang biasa.... Jika menengok ke belakang, pada 2006 misalnya, BPK melaporkan temuan audit di BP Migas periode 2004-2005 sebesar USD2,53 miliar (Rp26 triliun). Pada 2006, BPKP melaporkan potensi kerugian negara terkait cost recovery (CR) periode 2000-2005 sekitar Rp9,37 triliun. BPK melaporkan potensi kerugian negara dari penggelembungan CR periode 2000-2006 senilai Rp18,07 triliun.
Tahun 2011 BPK melaporkan proyek fiktif biomediasi Chevron yang telah disetujui BP Migas, dengan potensi kerugian negara Rp2,6 triliun. Untuk tiga tahun terakhir 2010–2012, BPK melaporkan temuan hasil audit di BP Migas yang berpotensi merugikan negara sebesar USD230 juta atau sekitar Rp2,3 triliun. Puluhan triliun rupiah temuan BPK di atas berpotensi merugikan negara, karena sangat patut diduga telah dikorupsi.
Hampir seluruh temuan berstatus mengambang tanpa tindak lanjut, tidak pernah terselesaikan, yang akhirnya akan menghilang di telan bumi seiring dengan berjalannya waktu. Lembaga-lembaga terkait seperti DPR, kepolisian, dan kejaksaan yang mestinya menindaklanjuti temuan BPK, alpa bertindak. Akhirnya, para koruptor lolos dari jerat hukum dan tinggallah negara dan rakyat yang menanggung kerugian.
Ternyata aspek sistem dan aturan main pengelolaan migas nasional memang belum dijalankan sesuai prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Sejak diberlakukannya UU Migas No 22/2001, niat perbaikan atas pengelolaan migas yang kacau pada era Orde Baru ternyata belum membawa hasil. Di bawah sistem yang mengacu pada UU Migas No 22/2001, korupsi justru terus berlanjut. Laporan-laporan BPK dan BPKP di atas menjadi buktinya.
Upaya perbaikan sistem memang dilakukan, baik melalui gugatan judicial reviewatas UU Migas maupun melalui “niat baik” segelintir anggota DPR periode 2004–2009 untuk membentuk UU Migas baru. Namun, upaya-upaya tersebut selalu kandas, kalah berhadapan dengan berbagai pihak yang kepentingan menikmati rente dari sistem yang bermasalah. Kita pun kalah berhadapan dengan pihak asing yang memang sudah menikmati hasil dari upaya pemaksaan pemberlakuan UU Migas 2001 tersebut, saat krisis ekonomi 1997/1998.
Hasil judicial review ke-2 UU Migas yang “berbuah” pada pembubaran BP Migas sesuai Keputusan MK No 36/PUU pada 13 November 2012 sedikit memberi harapan perbaikan. BP Migas yang menjadi lembaga pengendali dan pengawas kontrak-kontrak migas dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan dianggap berperan menimbulkan terus berjangkitnya korupsi di sektor migas nasional. SKK Migas yang dibentuk sesuai Perpres No 9/2013 untuk menggantikan BP Migas, ternyata mempunyai peran, fungsi, dan tugas yang sama dengan BP Migas.
Perubahan ke arah perbaikan tidak terjadi. Kecuali “dilengkapi” dengan adanya Komisi Pengawas, SKK Migas sama saja dengan BP Migas yang dulu! Tak heran jika banyak yang sinis, bahwa kebijakan tersebut hanya basa-basi, ganti “casing”, fungsi dan perannya sama saja. Di sini kita mencatat satu hal penting: fungsi dan peran SKK Migas memang tetap bertentangan dengan konstitusi sebagaimana BP Migas!
Dalam amar putusannya, MK menjelaskan tentang pentingnya fungsi “penguasaan oleh negara” atas sumber daya migas yang dimiliki. Penguasaan ini harus diwujudkan dalam lima peran utama, berupa mengadakan kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. MK juga menjelaskan bahwa peran mengelola akan optimal jika dilakukan oleh entitas bisnis seperti BUMN.
Mengingat BP Migas hanyalah lembaga BHMN yang tak memiliki kemampuan “mengelola” (dari ke-5 peran negara di atas), dalam arti memanfaatkan sumber daya migas bagi kepentingan ekonomi dan finansial (memonetisasi aset) nasional, maka target konstitusional guna meraih sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal terpenuhi. Karena tidak memiliki peran inilah, mengapa MK membubarkan BP Migas.
Sejalan dengan dibubarkannya BP Migas, dalam butir 1.7 amar putusannya, MK memang menyatakan bahwa “Fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh pemerintah, c.q. kementerian terkait, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut”. Dengan amar putusan MK ini, pemerintah berhak membentuk lembaga pengganti BP Migas, sehingga lahirlah SKK Migas sesuai Perpres No 9/20013. Namun menilik fungsi dan tugas SKK Migas yang memang sama saja dengan BP Migas (minus Komisi Pengawas), pemerintah telah dengan sengaja dan sadar mengulang kesalahan pada UU Migas No 22/2001.
Jika memiliki iktikad baik dan patuh terhadap konstitusi, pemerintah tentunya tidak akan membentuk lembaga pengganti yang juga berstatus BHMN seperti SKK Migas, yang tidak memiliki peran “mengelola”. Pemerintah mestinya menyerahkan fungsi dan tugas BP Migas kepada BUMN, dalam hal ini yang realistis adalah kepada Pertamina. Mengapa alternatif ideal tersebut tidak diambil? Tentu karena banyak oknum yang berkepentingan.
Dalam hal ini, jangan salahkan jika ada yang menaruh curiga: SKK dibentuk agar praktik-praktik perburuan rente dapat terus berlangsung. Apalagi pada SKK Migas, Komisi Pengawas berasal dari “kalangan sendiri”, pihak eksekutif juga. Tertangkap tangannya Profesor Rudi membuktikan bahwa sistem pengelolaan migas menggunakan lembaga BHMN seperti SKK Migas memang rawan korupsi, sebagaimana terjadi pada BP Migas. Karena itu, sistem harus diperbaiki. SKK Migas harus segera dibubarkan.
Pemerintah harus menerbitkan Perpres baru yang menugaskan Pertamina, di bawah direktorat/divisi baru, untuk menjalankan fungsi dan tugas BP Migas dan SKK Migas yang memang tidak konstitusional. Perpres tersebut dapat menjadi kado ulang tahun yang berharga bagi rakyat, sebagai penawar atas kado yang disebut di awal tulisan.
MARWAN BATUBARA
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS)
(nfl)