Fokus pada manusia
A
A
A
PENDAGANG kaki lima (PKL) yang biasanya memenuhi jalanan di kawasan Tanah Abang akhirnya mendapatkan tempat baru di Blok G Pasar Tanah Abang.
Pada akhirnya tidak ada lagi protes atau mungkin bisa dikatakan perlawanan dari PKL atas kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Ratusan PKL dengan senang hati berpindah lapak dari pinggir jalan ke tempat yang lebih baik. Ketika pembongkaran lapak pinggir jalan, mereka malah bersorak, tidak ada tangis atau teriakan. Awalnya penertiban PKL jalanan di kawasan Tanah Abang memang menimbulkan sedikit perlawanan. Mereka memprotes kebijakan Pemprov DKI Jakarta karena selama ini tempat itulah yang mereka bisa mengais rezeki.
Namun, dengan pendekatan persuasif dan pemberian solusi pemindahan yang tepat, akhirnya para PKL menghentikan perlawanan bahkan berbalik memberikan dukungan. Cara-cara penertiban ini memang masih jarang kita lihat di kota-kota, apalagi di kota besar seperti Jakarta. Penertiban selama ini memang sering diikuti dengan perlawanan, isak tangis PKL, bahkan berujung pada bentrokan. Hingga pada akhirnya mendengar kata “penertiban” selalu identik dengan perlawanan serta bentrokan.
Pasti ada yang salah jika selama ini penertiban berujung pada perlawanan atau bentrokan. Nah, sudah sepantasnya pemerintah daerah melakukan evaluasi jika setiap penertiban terjadi perlawanan ataupun bentrokan. Apa yang telah dilakukan Pemprov DKI terhadap para PKL di Tanah Abang patut mendapat apresiasi. Penertiban yang memanusiakan para PKL sehingga mereka senang hati menerima dengan baik. Penertiban yang diikuti dengan dialog, pemindahan ke daerah yang lebih layak, serta beban sewa yang sangat murah memang akan lebih memanusiakan para PKL.
Dengan begitu, yang terjadi adalah penertiban manusiawi yang akan disambut dengan baik tidak hanya PKL, tapi juga masyarakat yang selama ini sering disuguhi perlawanan dan bentrokan ketika dilakukan penertiban. Apa yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tersebut memang bukan pertama kali. Saat menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, Jokowi berhasil memindahkan PKL di kawasan terlarang ke kawasan yang lebih layak.
Tidak ada perlawanan atau bahkan bentrokan, tapi yang terjadi sebuah “pesta” pemindahan PKL yang semarak dan menjadi hiburan bagi masyarakat Surakarta. Awalnya memang banyak yang menyangsikan potensi kawasan Pasar Klitikan yang terletak di pinggir Kota Surakarta. Namun, seiring pengelolaan yang tepat, Pasar Klitikan sekarang menjadi “primadona” bagi para PKL yang ingin memulai usaha. Awalnya banyak yang menyangsikan Jokowi bisa menertibkan PKL di kawasan Tanah Abang dengan hanya berbekal pengalaman di Kota Surakarta.
Alasan para penyangsi adalah kompleksitas persoalan di Jakarta lebih besar dari permasalahan di Surakarta. Apalagi kawasan Tanah Abang diduga lebih banyak dikelola oleh kelompok liar daripada oleh Pemprov DKI Jakarta. Namun, Jokowi dan jajarannya yang dibantu Polri dan TNI mampu menjawab kesangsian tersebut. Sebuah penertiban manusiawi ala PKL Pasar Klitikan Surakarta berhasil juga dilakukan di Jakarta.
Dalam manajemen memang kompleksitas persoalan akan menjadi tantangan. Namun, kunci dari manajemen adalah people atau manusia. Tampaknya Jokowi memahami ini. Meski Jakarta lebih kompleks, core dari manajemen tetap dijalankan dengan variasi cara yang berbeda karena perbedaan kompleksitas persoalan. Penertiban manusiawi bukanlah cara yang hanya bisa diterapkan di satu daerah atau wilayah. Jika manajemen termasuk penertiban difokuskan kepada manusia, akan dihasilkan sebuah penertiban manusiawi sehingga mempunyai output positif bagi semua pihak.
Cara ini patut menjadi acuan semua pihak bahwa cara-cara manusiawi yang didasari aturan tepat akan menghasilkan output yang positif. Cara ini tidak hanya monopoli satu daerah, tapi juga bisa dilakukan oleh semua daerah.
Pada akhirnya tidak ada lagi protes atau mungkin bisa dikatakan perlawanan dari PKL atas kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Ratusan PKL dengan senang hati berpindah lapak dari pinggir jalan ke tempat yang lebih baik. Ketika pembongkaran lapak pinggir jalan, mereka malah bersorak, tidak ada tangis atau teriakan. Awalnya penertiban PKL jalanan di kawasan Tanah Abang memang menimbulkan sedikit perlawanan. Mereka memprotes kebijakan Pemprov DKI Jakarta karena selama ini tempat itulah yang mereka bisa mengais rezeki.
Namun, dengan pendekatan persuasif dan pemberian solusi pemindahan yang tepat, akhirnya para PKL menghentikan perlawanan bahkan berbalik memberikan dukungan. Cara-cara penertiban ini memang masih jarang kita lihat di kota-kota, apalagi di kota besar seperti Jakarta. Penertiban selama ini memang sering diikuti dengan perlawanan, isak tangis PKL, bahkan berujung pada bentrokan. Hingga pada akhirnya mendengar kata “penertiban” selalu identik dengan perlawanan serta bentrokan.
Pasti ada yang salah jika selama ini penertiban berujung pada perlawanan atau bentrokan. Nah, sudah sepantasnya pemerintah daerah melakukan evaluasi jika setiap penertiban terjadi perlawanan ataupun bentrokan. Apa yang telah dilakukan Pemprov DKI terhadap para PKL di Tanah Abang patut mendapat apresiasi. Penertiban yang memanusiakan para PKL sehingga mereka senang hati menerima dengan baik. Penertiban yang diikuti dengan dialog, pemindahan ke daerah yang lebih layak, serta beban sewa yang sangat murah memang akan lebih memanusiakan para PKL.
Dengan begitu, yang terjadi adalah penertiban manusiawi yang akan disambut dengan baik tidak hanya PKL, tapi juga masyarakat yang selama ini sering disuguhi perlawanan dan bentrokan ketika dilakukan penertiban. Apa yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tersebut memang bukan pertama kali. Saat menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, Jokowi berhasil memindahkan PKL di kawasan terlarang ke kawasan yang lebih layak.
Tidak ada perlawanan atau bahkan bentrokan, tapi yang terjadi sebuah “pesta” pemindahan PKL yang semarak dan menjadi hiburan bagi masyarakat Surakarta. Awalnya memang banyak yang menyangsikan potensi kawasan Pasar Klitikan yang terletak di pinggir Kota Surakarta. Namun, seiring pengelolaan yang tepat, Pasar Klitikan sekarang menjadi “primadona” bagi para PKL yang ingin memulai usaha. Awalnya banyak yang menyangsikan Jokowi bisa menertibkan PKL di kawasan Tanah Abang dengan hanya berbekal pengalaman di Kota Surakarta.
Alasan para penyangsi adalah kompleksitas persoalan di Jakarta lebih besar dari permasalahan di Surakarta. Apalagi kawasan Tanah Abang diduga lebih banyak dikelola oleh kelompok liar daripada oleh Pemprov DKI Jakarta. Namun, Jokowi dan jajarannya yang dibantu Polri dan TNI mampu menjawab kesangsian tersebut. Sebuah penertiban manusiawi ala PKL Pasar Klitikan Surakarta berhasil juga dilakukan di Jakarta.
Dalam manajemen memang kompleksitas persoalan akan menjadi tantangan. Namun, kunci dari manajemen adalah people atau manusia. Tampaknya Jokowi memahami ini. Meski Jakarta lebih kompleks, core dari manajemen tetap dijalankan dengan variasi cara yang berbeda karena perbedaan kompleksitas persoalan. Penertiban manusiawi bukanlah cara yang hanya bisa diterapkan di satu daerah atau wilayah. Jika manajemen termasuk penertiban difokuskan kepada manusia, akan dihasilkan sebuah penertiban manusiawi sehingga mempunyai output positif bagi semua pihak.
Cara ini patut menjadi acuan semua pihak bahwa cara-cara manusiawi yang didasari aturan tepat akan menghasilkan output yang positif. Cara ini tidak hanya monopoli satu daerah, tapi juga bisa dilakukan oleh semua daerah.
(nfl)