Mudik dan Idul Fitri

Rabu, 07 Agustus 2013 - 12:57 WIB
Mudik dan Idul Fitri
Mudik dan Idul Fitri
A A A
SETIAP tahun negeri memiliki hajatan besar dalam menyambut Lebaran, yaitu mudik. Entah mana yang benar, kata mudik ada yang mengatakan mulih dhisik (pulang dulu) atau dari kata udik (kampung).

Namun, makna empiris artinya adalah pulang ke kampung halaman. Jutaan orang perantau melakukan imigrasi dari ibu kota (biasanya) ke kampung halamannya. Inilah tradisi bangsa kita dalam menyambut Idul Fitri yang secara konkret tidak disebut dalam Islam. Mudik adalah pulang kampung. Bagi yang tidak bisa memaknai mendalam tentang mudik, akan menganggap tradisi ini sebagai kebiasaan yang memboroskan baik tenaga maupun uang. Bagaimana tidak, uang jutaan bahkan puluhan juta akan dikonsumsikan hanya untuk melakukan mudik.

Bahkan diperkirakan perputaran uangnya mencapai puluhan triliun. Belum lagi kondisi jalanan yang macet dan berdesak-desakan. Toh, tradisi tahunan ini tetap diikuti jutaan orang. Lalu kenapa orang Indonesia terutama Jawa masih menganggap tradisi mudik itu penting? Ini karena anggapan bahwa ke mana perginya seorang Indonesia atau Jawa, akan kembali ke asal-muasalnya. Orang Indonesia atau Jawa tetap menganggap penting asal-muasalnya, termasuk dari mana dia bisa hidup di dunia ini.

Begitu besar menghormati asal-muasal ini hingga tradisi mudik sebagai suatu yang wajib. Bahkan ketika kembali ke asal-muasal, setiap orang harus berpenampilan menarik dengan membeli baju baru serta potongan rambut yang lebih rapi. Bagi yang sangat memahami (dengan hati) apa itu mudik, tradisi ini akan dilakukan meski harus mengorbankan banyak uang, waktu, maupun tenaga. Itulah tradisi yang di Islam tidak diatur secara detail, tetapi hanyalah budaya dari Nusantara.

Namun mudik dengan ajaran Islam pun tak bertentangan, karena keduanya mempunyai makna yang sama yaitu silaturahmi. Jalinan silaturahmi ini yang membuat kita semua bahagia atau bahkan panjang umur. Terlepas pro dan kontra tentang mudik, toh tradisi ini berhasil menghentikan kegiatan perekonomian dan politik secara nasional. Sebuah tradisi yang berdampak nasional secara masif. Mudik dan Idul Fitri memang tak akan terlepaskan. Tradisi ini akan terus berkembang seiring perkembangan bangsa. Meski modernisasi tetap menguntit perkembangan negeri ini, tradisi mudik tetap ada.

Selain bermakna kembali ke asal, mudik di Idul Fitri adalah untuk saling memaafkan sehingga dibuang semua dosa-dosa manusia. Kembali ke muasal dengan hati yang bersih (hilangnya dosa), membuat orang merasa akan percaya diri kembali melakukan aktivitas harian. Mudik di Idul Fitri seolah sebuah masa istirahat hati atau kembali menata hati agar kembali suci dan putih. Tradisi yang seharusnya bisa menjadi cermin bagi semua pihak di negeri.

Setelah hampir setahun melakukan aktivitas yang secara tak sengaja mengotori hati, maka akan kembali dibersihkan pada Idul Fitri ini. Bersalaman saling memaafkan, bersilaturahmi, dan berbagi kebahagiaan adalah kegiatan yang sangat positif untuk membangun bangsa ini. Di tengah adanya sikap benci, iri, dan bahkan saling menyerang, Idul Fitri dan mudik ini bisa menjadi cermin agar kita semua semestinya menjauhi sikap-sikap tersebut.

Bangsa ini mempunyai tradisi yang luar biasa jika digali. Bangsa ini memiliki warisan tradisi dari leluhur yang luar biasa, yang bisa menjadikan bangsa ini bisa menjadi lebih baik dari saat ini. Kita semua yang saat ini menjadi pengisi negeri ini semestinya terus melestarikan tradisi warisan leluhur. Jangan dilihat hanya dengan mata telanjang tradisi tersebut, tapi lihatlah makna dan pesan yang ada di dalam tradisi tersebut. Bangsa ini memiliki ratusan bahkan ribuan warisan tradisi yang memiliki pesan positif bagi anak negeri. Selain menjalankan pesan dan makna, tugas kita untuk terus menjaga tradisi ini agar tidak punah. Semoga! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7173 seconds (0.1#10.140)