Mudik, mudik, Lebaran!

Senin, 05 Agustus 2013 - 08:11 WIB
Mudik, mudik, Lebaran!
Mudik, mudik, Lebaran!
A A A
SEPANJANG bulan Ramadan, di Jakarta, suara umat beriman, di masjid-masjid, selalu membahana sejak jam setengah tiga malam.

”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bapak-bapak, ibu-ibu, sahur, sahur, sahur....” Terkadang lalu terdengar pula selingan suara lain, beduk dipukul- pukul: dung, dung, dung, dung, dung, dung…. ”Apakah yang tersirat di balik suara-suara gaduh itu?” Mungkin ukhuwah Islamiah dan rasa tanggung jawab iman untuk ”menyelamatkan”, minimal mengingatkan, sesama umat beriman agar mereka tak terlambat makan sahur dan beribadat malam sebagai persiapan perjuangan esoknya, sepanjang hari menahan hawa nafsu yang begitu mendera, agar kita menjadi orang-orangyangbertakwasebagaimana seruan Allah dalam kitab suci-Nya?

Kalau itulah makna yang tersirat, pertanyaan itu keliru. Itu tadi bukan suara gaduh dan bukan kegaduhan duniawi, melainkan musik ”surgawi” yang mengalun dengan derap penuh semangat iman, tanggung jawab sosial, dan kesalehan. Tapi bagaimana kaum muslimin dan muslimat, yang bekerja keras siang harinya sambil tetap berpuasa, pulang ke rumah sudah malam, terpaksa bertarawih sendiri dan berdoa sehingga pada jam satu baru sempat memenuhi haknya, memberi badan kesempatan beristirahat?

Mata punya hak untuk tidur. Jantung berhak menikmati ketenangan istirahat total. Telinga minta suguhan malam: ketenangan yang dalam dan syahdu. Pinggang yang pegal menuntut kesempatan rileks, menelentang, miring ke kiri, miring ke kanan, untuk kembali dalam posisi nyaman. Dan begitu seterusnya. Semua organ tubuh minta hak mereka dipenuhi. Dibutuhkan ketenangan. Tidak ada polusi suara.

Dalam ketenangan yang senyap, tubuh dan jiwa kita segar kembali dan siap beribadah lebih baik lagi. Jangan lupa, tadi sudah salat, sudah berdoa, sudah berkontemplasi. Jika harus salat lagi, dengan agak dipaksa oleh suara-suara keras, mungkin tak menghasilkan kekhusukan. Salat dilakukan tanpa kekhusyukan. Zikir tanpa kekhusyukan. Kita hanya dibuat capai.

Dalam kondisi tubuh yang terbatas, yang sedang lelah, jiwa pun terpengaruh. Jiwa pun menuntut hak untuk beristirahat, dengan tenang dan khusuk. Saat badan tidur, dengan tenang, jiwa siap untuk ”melek” sendirian dan takter goda kelelahan badan. Jiwa bisa mandiri. Tapi jiwa pun bisa terganggu kegaduhan di sekitar kita. Dalam momentum seperti itu, untuk kalangan yang baru sempat mulaitidurpada jamsatu malam, suara-suara dari masjid menjadi kehangatan iman yang dipaksakan.

Allah tak menginginkan apa yang dipaksakan. Orang sakit tak diharapkan berpuasa. Ibu menyusui diberi hak khusus untuk tak berpuasa. Kaum musafir tak diwajibkan berpuasa. Dan mereka rida. Allah rida. Agama, ibadah, amalan memiliki arti penting, hingga ke puncaknya puncak, jika semuanya dibingkai dan diberi roh ”ketulusan” atau ”keikhlasan”. Semua hal harus dilaksanakan dengan ”ikhlas”. Ibadah yang dipaksakan, amal yang tak memiliki keikhlasan, mungkin bukan amal.

Kitab suci belum mengatur cara beribadah dan beramal yang dipaksa. Kita diminta berlomba mencari—dengan iman, kekuatan tenaga, dan jiwa kita— roh semua amal: keikhlasan tadi. Ikhlas, tulus, dan penyerahan utuh kepada Allah merupakan intinya inti semua jenis ibadah kita. Pendeknya, seperti disebut tadi, dia itu ”roh” dari amal ibadah kita. Makna teriakan membahana, yang begitu gaduh, di mana-mana di dalam masjid kita? Kita harus berprasangka baik: semua insya Allah ada artinya.

Tapi jelas bahwa hal itu bukan ”roh”, bukan ”jiwa” dari ibadah dan amal kita. Di ujung bulan Ramadan, ada acara mudik Lebaran: sebuah tradisi mapan, yang bukan agama, bukan perintah Allah, dan tak ada sangkutpautnya dengan iman. Tapi ”tradisi” selalu dijunjung tinggi, seolah dia pun bagian dari apa yang ”suci”. Dan mudik Lebaran seolah dirasakan sebagai tradisi agung kaum migran di Jakarta yang melakukan ritus tahunan, mudik tadi, ke segala penjuru Tanah Air.

Agama menciptakan tradisi keagamaan yang begitu meriah. Di balik tradisi keagamaan, tampil tradisi lain, yaitu ”mudik”, yang duniawi dan tidak suci sama sekali, tapi meriah, menggetarkan, dan mengguncangkan seluruh Tanah Air. Negara terlibat. Polisi paling sibuk. Mereka yang bertugas di malam Lebaran mengorbankan hak keluarga dan anak istri. Tapi polisi tak dipuji sama sekali. Semua pihak menaruh perhatian pada mudik. Memang tak ada teriakan apa pun.

Tapi derap jiwa para migran—dengan sendirinya para muslimin dan muslimat—meneriakkan kata-kata ini: mudik, mudik, mudik! Dan wujudnya, lebih jelas, lebih nyata: duit dibelanjakan, sebagian dikantongi, untuk membikin mudik sebagai peristiwa budaya yang bersifat super kolosal, menjadi lebih meriah. Fenomena lain? Jalanan penuh sesak. Semua kendaraan seolah ikut berteriak: mudik, mudik, mudik. Bus-bus antarkota penuh sesak. Kereta api full dan tiket sudah habis sejak tiga bulan sebelum Ramadan. Pesawat tak pernah menyisakan tempat.

Kecuali seat calon penumpang yang batal mendadak. Dan semua itu karena urusan mudik tadi. Semua orang mudik. Seolah kemanusiaan kita tak lengkap tanpa mudik. Kita ini seolah menjadi begitu histeris karena perkara mudik. ”Lebaran?” ”Urusan Lebaran memang melekat di dalam mudik tadi. Tapi dalam arti tertentu Lebaran seolah diucapkan belakangan. Memang, setidaknya dua minggu sebelum Lebaran tiba, jiwa kita sudah disibukkan oleh kesadaran akan perlunya mudik Lebaran itu. Kelihatannya urusan kita hanya mudik itu.

Kenyataannya dua unsur yang berbeda. Mudik itu satu hal, yang luar biasa merepotkannya. Lebaran menjadi hal lain: ketenangan di kampung, perasaan meriah dan kebanggaan. Kemudian sungkem dan maaf-memaafkan, bersilaturahmi dengan teman-teman lama. Saat itu persahabatan diperbarui atau dikukuhkan lagi dan para pemudik memperoleh energi baru: semangat hidup untuk fight lagi di Jakarta yang garang dan tak mengenal ampun.

Mudik, untuk berlebaran, itu fenomena campuran. Satu fenomena kebudayaan di kalangan kaum migran, orang modern yang masih setia merawat tradisi, dan fenomena keagamaan yang memberi kaum migran tadi atribut rohaniah yang memang mereka butuhkan.

MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0486 seconds (0.1#10.140)