Remisi= Hak, Bukan Hadiah, Bukan Pencitraan
A
A
A
PADA 1960-an Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan politik hukum dalam pelaksanaan hukum pidana dengan mengadopsi Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1955) yang disesuaikan dengan filsafat pengayoman yang disebut pemasyarakatan.
Konsep pemasyarakatan dilandaskan pada 10 prinsip dijiwai oleh Pancasila sebagai filsafat hidup manusia yang telah diakui pendiri negara ini di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada 1995 Pemerintah dan DPR RI ketika itu sepakat menetapkan politik pembinaan narapidana berdasarkan Sistem Pemasyarakatan sebagaimana diwujudkan dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS 1995).
Penulis sejak 1975 sampai 1979 turut serta melakukan penelitian ke 365 lembaga pemasyarakatan (lapas) ketika itu di seluruh Indonesia dan dihasilkan suatu Manual Pemasyarakatan sebagai embrio UU PAS 1995.
Sejak pemberlakuan UU PAS 1995, selama 17 tahun sampai perubahan orientasi kebijakan pelaksanaan pidana oleh Pemerintah SBY dengan penerbitan PP terakhir Nomor 99 Tahun 2012 khusus untuk narapidana tertentu pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat dikecualikan berbeda dengan narapidana lain atas dasar jenis tindak pidana yaitu terorisme, korupsi, dan narkoba. Selama 17 tahun pelaksanaan UU Pemasyarakatan diakui tidak lepas dari ekses-ekses negatif selama narapidana menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan.
Anggaran Kementerian Kehakiman sejak dulu sampai perubahan nama menjadi Kementerian Hukum dan HAM, khusus untuk Ditjen Pemasyarakatan, selalu meningkat dan merupakan anggaran terbesar di antara unit pelaksana teknis lain dalam lingkungan kementerian tersebut. Penambahan pembangunan lapas baru tentu menambah besar anggaran kementerian tersebut.
Sedangkan jika dibandingkan dengan sistem kekuasaan kehakiman khususnya dalam proses judisial, tidak ada pembatasan jenis perkara yang masuk ke sistem peradilan pidana. Dengan begitu, alur keluar-masuk penghuni lapas relatif seimbang, bahkan lebih banyak yang masuk daripada yang bebas. Salah satu bukti dari kondisi ini adalah penghuni lapas melebihi kapasitas terutama di kota-kota besar dan di antaranya Lapas Tanjung Gusta, tempat di mana kebakaran dan kaburnya sejumlah narapidana dan hangusnya sejumlah dokumen lapas.
Pertimbangan Pemerintah SBY untuk mengeluarkan PP pengetatan remisi terhadap narapidana tertentu salah satunya alasan keamanan dan aspirasi masyarakat terutama terhadap narapidana korupsi. Pengetatan pemberian remisi yang intinya pembatasan waktu narapidana untuk dapat bertemu keluarganya dan memasuki kehidupan bermasyarakat dipandang dari sudut narapidana sebagai penundaan hak memperoleh remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat sesuai UU PAS 1995.
Namun, jika kebijakan tersebut hanya karena alasan-alasan tersebut di atas sehingga negara harus memperketat pemberian remisi, dipandang tidak adil bila saja pemerintah mau mempertimbangkan jasa-jasa narapidana terlepas dari jenis kejahatannya. Ini bisa dilihat ketika mereka mau berkorban untuk ikut menangani bencana alam dan menjadi donor PMI, aktif menyukseskan pemilu apalagi jumlah seluruh narapidana dan tahanan total pada 29 Juli 2013 mencapai 16.0765 orang, termasuk narapidana narkoba, terorisme, dan korupsi.
Dari sudut perundang-undangan, dalam praktik sering terjadi perubahan atau pencabutan suatu undang-undang termasuk perubahan kebijakan dalam pembinaan narapidana, tetapi perubahan atau pencabutan harus disertai justifikasi baik dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis, maupun komparatif. Dengan begitu, perubahan atau pencabutan UU tersebut tidak menimbulkan keresahan khusus di kalangan narapidana dan bersifat kontra-produktif.
Fakta materiil membuktikan bahwa kebijakan tersebut tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor, pelaku terorisme, dan narkoba. Sebaliknya, semakin meningkatkan koruptor baru, generasi teroris, serta pelaku dan korban baru narkoba. Ketidak-jelasan visi perubahan kebijakan pemerintah dalam pemberian pengetatan remisi terhadap narapidana tertentu semakin nyata ketika peristiwa Lapas Tanjung Gusta mampu mengubah seketika kebijakan tersebut dengan penerbitan SE Menkumham Nomor M.HH- 04.PK.01.05.06 Tahun 2013.
Aturan itu menegaskan bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak berlaku surut terhadap narapidana yang putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesudah 12 November 2013. Perubahan kebijakan pemerintah yang mengikuti situasi ini sudah tentu oleh kalangan tertentu masyarakat dipandang inkonsistensi, bahkan cenderung dianggap setback.
Sesungguhnya perubahan kebijakan tersebut menangkap aspirasi sekelompok narapidana tertentu terhadap pemberlakuan PP 99 Tahun 2012 yang dianggap tidak adil sehingga gejolak yang lebih besar akan muncul jika tidak ada perubahan kebijakan sebagaimana tertuang dalam SE menteri hukum dan HAM. Jangankan pandangan seseorang yang dapat berubah-ubah tergantung situasi yang dihadapi; seorang menteri saja dapat mengubah kebijakan yang berdampak luas terhadap nasib pembinaan narapidana di lapas.
Seingat saya, seorang Albert Einstein yang jenius itu tidak percaya pada Tuhan selama hidupnya kemudian mengakui keberadaan-Nya ketika akan mengembuskan nafas terakhir. Apakah sikap seperti itu dianggap inkonsisten atau sejalan dengan pengaruh situasi lingkungan dan sejalan dengan perkembangan evolusioner biologis dan psikologis umat manusia? Sejak 2011–2013 saya telah menulis lima artikel tentang remisi, tapi tidak sedikit pun kata-kata saya menegaskan remisi terhadap koruptor harus dihapus.
Tetapi, jelas saya katakan bahwa wacana penghapusan remisi masuk akal, tetapi harus dipertimbangkan ketentuan Standar Internasional tentang Minimum Perlakuan Narapidana Tahun 1955. Duplik Saudara Zamrony dalam KORAN SINDO pada 30 Juli 2013 terhadap artikel saya tidak ada yang baru dan signifikan jika dibandingkan dengan tulisan yang bersangkutan sebelumnya sehingga tentu memerlukan diskusi terbuka yang sangat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa fakultas hukum semester III.
Yang jelas pengabdian saya selaku ilmuwan selama 40 tahun dan birokrat tidak sama dengan plesetan yang ditulis Saudara Zamrony dengan mengutip pendapat Saudara Mahfud MD (Tahun?): “menurut plesetan Profesor Mahfud MD, makna orisinal artinya ‘yang berpendapat bukan sesuai pendapatan dan berlogika bukan sesuai logistik’”. Kami berdua, Saudara Mahfud MD dan saya, saling menghormati satu sama lain sebagai sesama kaum intelektual.
Dengan begitu, apa yang dikutip tersebut tidak berlaku pada diri saya dan plesetan itu mungkin cocok pada sebagian kawan-kawan pejuang antikorupsi seperti kasus ayat tembakau.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritur Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
Konsep pemasyarakatan dilandaskan pada 10 prinsip dijiwai oleh Pancasila sebagai filsafat hidup manusia yang telah diakui pendiri negara ini di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada 1995 Pemerintah dan DPR RI ketika itu sepakat menetapkan politik pembinaan narapidana berdasarkan Sistem Pemasyarakatan sebagaimana diwujudkan dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS 1995).
Penulis sejak 1975 sampai 1979 turut serta melakukan penelitian ke 365 lembaga pemasyarakatan (lapas) ketika itu di seluruh Indonesia dan dihasilkan suatu Manual Pemasyarakatan sebagai embrio UU PAS 1995.
Sejak pemberlakuan UU PAS 1995, selama 17 tahun sampai perubahan orientasi kebijakan pelaksanaan pidana oleh Pemerintah SBY dengan penerbitan PP terakhir Nomor 99 Tahun 2012 khusus untuk narapidana tertentu pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat dikecualikan berbeda dengan narapidana lain atas dasar jenis tindak pidana yaitu terorisme, korupsi, dan narkoba. Selama 17 tahun pelaksanaan UU Pemasyarakatan diakui tidak lepas dari ekses-ekses negatif selama narapidana menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan.
Anggaran Kementerian Kehakiman sejak dulu sampai perubahan nama menjadi Kementerian Hukum dan HAM, khusus untuk Ditjen Pemasyarakatan, selalu meningkat dan merupakan anggaran terbesar di antara unit pelaksana teknis lain dalam lingkungan kementerian tersebut. Penambahan pembangunan lapas baru tentu menambah besar anggaran kementerian tersebut.
Sedangkan jika dibandingkan dengan sistem kekuasaan kehakiman khususnya dalam proses judisial, tidak ada pembatasan jenis perkara yang masuk ke sistem peradilan pidana. Dengan begitu, alur keluar-masuk penghuni lapas relatif seimbang, bahkan lebih banyak yang masuk daripada yang bebas. Salah satu bukti dari kondisi ini adalah penghuni lapas melebihi kapasitas terutama di kota-kota besar dan di antaranya Lapas Tanjung Gusta, tempat di mana kebakaran dan kaburnya sejumlah narapidana dan hangusnya sejumlah dokumen lapas.
Pertimbangan Pemerintah SBY untuk mengeluarkan PP pengetatan remisi terhadap narapidana tertentu salah satunya alasan keamanan dan aspirasi masyarakat terutama terhadap narapidana korupsi. Pengetatan pemberian remisi yang intinya pembatasan waktu narapidana untuk dapat bertemu keluarganya dan memasuki kehidupan bermasyarakat dipandang dari sudut narapidana sebagai penundaan hak memperoleh remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat sesuai UU PAS 1995.
Namun, jika kebijakan tersebut hanya karena alasan-alasan tersebut di atas sehingga negara harus memperketat pemberian remisi, dipandang tidak adil bila saja pemerintah mau mempertimbangkan jasa-jasa narapidana terlepas dari jenis kejahatannya. Ini bisa dilihat ketika mereka mau berkorban untuk ikut menangani bencana alam dan menjadi donor PMI, aktif menyukseskan pemilu apalagi jumlah seluruh narapidana dan tahanan total pada 29 Juli 2013 mencapai 16.0765 orang, termasuk narapidana narkoba, terorisme, dan korupsi.
Dari sudut perundang-undangan, dalam praktik sering terjadi perubahan atau pencabutan suatu undang-undang termasuk perubahan kebijakan dalam pembinaan narapidana, tetapi perubahan atau pencabutan harus disertai justifikasi baik dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis, maupun komparatif. Dengan begitu, perubahan atau pencabutan UU tersebut tidak menimbulkan keresahan khusus di kalangan narapidana dan bersifat kontra-produktif.
Fakta materiil membuktikan bahwa kebijakan tersebut tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor, pelaku terorisme, dan narkoba. Sebaliknya, semakin meningkatkan koruptor baru, generasi teroris, serta pelaku dan korban baru narkoba. Ketidak-jelasan visi perubahan kebijakan pemerintah dalam pemberian pengetatan remisi terhadap narapidana tertentu semakin nyata ketika peristiwa Lapas Tanjung Gusta mampu mengubah seketika kebijakan tersebut dengan penerbitan SE Menkumham Nomor M.HH- 04.PK.01.05.06 Tahun 2013.
Aturan itu menegaskan bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak berlaku surut terhadap narapidana yang putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesudah 12 November 2013. Perubahan kebijakan pemerintah yang mengikuti situasi ini sudah tentu oleh kalangan tertentu masyarakat dipandang inkonsistensi, bahkan cenderung dianggap setback.
Sesungguhnya perubahan kebijakan tersebut menangkap aspirasi sekelompok narapidana tertentu terhadap pemberlakuan PP 99 Tahun 2012 yang dianggap tidak adil sehingga gejolak yang lebih besar akan muncul jika tidak ada perubahan kebijakan sebagaimana tertuang dalam SE menteri hukum dan HAM. Jangankan pandangan seseorang yang dapat berubah-ubah tergantung situasi yang dihadapi; seorang menteri saja dapat mengubah kebijakan yang berdampak luas terhadap nasib pembinaan narapidana di lapas.
Seingat saya, seorang Albert Einstein yang jenius itu tidak percaya pada Tuhan selama hidupnya kemudian mengakui keberadaan-Nya ketika akan mengembuskan nafas terakhir. Apakah sikap seperti itu dianggap inkonsisten atau sejalan dengan pengaruh situasi lingkungan dan sejalan dengan perkembangan evolusioner biologis dan psikologis umat manusia? Sejak 2011–2013 saya telah menulis lima artikel tentang remisi, tapi tidak sedikit pun kata-kata saya menegaskan remisi terhadap koruptor harus dihapus.
Tetapi, jelas saya katakan bahwa wacana penghapusan remisi masuk akal, tetapi harus dipertimbangkan ketentuan Standar Internasional tentang Minimum Perlakuan Narapidana Tahun 1955. Duplik Saudara Zamrony dalam KORAN SINDO pada 30 Juli 2013 terhadap artikel saya tidak ada yang baru dan signifikan jika dibandingkan dengan tulisan yang bersangkutan sebelumnya sehingga tentu memerlukan diskusi terbuka yang sangat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa fakultas hukum semester III.
Yang jelas pengabdian saya selaku ilmuwan selama 40 tahun dan birokrat tidak sama dengan plesetan yang ditulis Saudara Zamrony dengan mengutip pendapat Saudara Mahfud MD (Tahun?): “menurut plesetan Profesor Mahfud MD, makna orisinal artinya ‘yang berpendapat bukan sesuai pendapatan dan berlogika bukan sesuai logistik’”. Kami berdua, Saudara Mahfud MD dan saya, saling menghormati satu sama lain sebagai sesama kaum intelektual.
Dengan begitu, apa yang dikutip tersebut tidak berlaku pada diri saya dan plesetan itu mungkin cocok pada sebagian kawan-kawan pejuang antikorupsi seperti kasus ayat tembakau.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritur Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
(hyk)