Fenomena bisnis perkara
A
A
A
KESUCIAN Ramadan umumnya disambut umat Islam dengan peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Pada tataran sosial terlihat betapa semaraknya kegiatan di masjid-masjid, kantor-kantor, ataupun tempat-tempat umum. Namun, apa yang menjadi kecenderungan umat Islam itu tampaknya sama sekali tidak berlaku bagi para praktisi hukum yang sudah terbiasa menjalankan profesinya sebagai “pebisnis perkara”. Diwartakan dalam berbagai media, pada Kamis 25 Juli 2013, Mario ditangkap KPK di kantor Hotma di Jalan Martapura, Jakarta Pusat, sekitar pukul 13.20 WIB.
Dia ditangkap di bilangan Monas, Jakarta Pusat, ketika sedang menumpang ojek. Pada pukul 12.15 WIB, hari yang sama, satu jam sebelumnya atau sekitar pukul 11.15 WIB Djodi diketahui menerima uang suap dari Mario. Uang tersebut diletakkan di dalam tas selempang cokelat. Saat penangkapan itu KPK menyita uang sekitar Rp78 juta. Dalam koridor asas praduga tak bersalah, tulisan ini tidak hendak menuduh para praktisi hukum yang ditangkap KPK itu sebagai oknum-oknum yang terlibat dalam suap-menyuap.
Kita serahkan segalanya kepada aparat berwenang agar diproses sesuai hukum berlaku. Walau demikian, bukan tabu untuk ikut menganalisis atas kasus tersebut agar diperoleh hikmah dan pemahaman yang benar dan utuh sehingga kita dapat bersikap bijak dalam menghadapi kasus serupa. Bertolak dari realitas empiris bahwa kehidupan bernegara hukum Indonesia akhir-akhir ini cenderung “salah kiblat”, dominasi paham positivisme dalam ranah ilmu hukum dan paham kapitalisme pada ranah ilmu ekonomi perlu dikritisi.
Bagi penganut positivisme, apa yang disebut hukum adalah teks atau perundang-undangan atau hukum yang sudah dirumuskan dengan sengaja dan rasional oleh lembaga yang berwenang. Dalam pemahaman demikian, KPK bertindak menangkap tangan dua oknum tersebut atas dasar dan dalam bingkai perundang-undangan.
Apabila dua oknum atau kuasanya berkeberatan serta-merta ingin membelanya agar terbebas dari tuduhan suap-menyuap, jalur dan prosedur hukum perundang-undangan mesti dilaluinya. Keluar dari hukum perundang-undangan dapat disamakan dengan tindakan main hakim sendiri. Cara berhukum yang tekstual itu telah menjadi warna khas dan bagian dari sejarah perkembangan masyarakat kita.
Perkembangan sosial demikian, bila ditarik ke ranah ekonomi, terkait perkembangan sistem perekonomian modern yang kapitalistik. Perekonomian kapitalis adalah cara berekonomi yang terukur dan terencana. Segala aktivitas produksi, distribusi, maupun konsumsi direncanakan secara terukur dan pasti agar keuntungan yang diharapkan pun dapat diprediksi secara akurat.
Tatanan kehidupan yang kapitalistik itu membutuhkan basis tatanan hukum yang bersifat eksak. Di situlah hukum perundang-undangan memberikan kontribusi bagi perekonomian kapitalistik. Ketika paham kapitalisme dan paham positivisme bergandeng tangan, ada kecenderungan tidak tabu (bahkan sering) menjadikan kasus hukum sebagai komoditas yang layak diperjualbelikan demi keuntungan material.
Di dalam kontrak-kontrak kuasa pembelaan antara klien dan pengacara senantiasa akan termuat mengenai honor, imbalan, atau konsekuensi lainnya agar sebuah perkara dapat dimenangkan. Pengacara akan memperhitungkan biaya resmi beperkara dan sekaligus biaya tak resmi agar “pertarungan” di luar sidang pengadilan dapat dilakukan sehingga perkara dimenangkan.
Suap-menyuap salah satu cara beperkara di luar sidang pengadilan. Cara ini seakan telah lazim dan menjadi bagian dari proses hukum, sebagai pelengkap dari cara-cara beperkara yang tergolong legal-positivistik. Uang sebagai sarana menyuap bermakna sebagai “tool of exchange”. Pelaksanaannya menjadi efektif dan efisien bila di antara para pihak terjalin kesepakatan yang rapi dan tertutup.
Bahasa sandi menjadi bagian dari “tool of exchange” itu. Konsep “exchange” adalah konsep bisnis atau ekonomi dan perilaku suap-menyuap dapat disamakan sebagai “organic transaction”(Macaulay, 1966). Dalam tradisi beperkara, para pihak yang terlibat sedemikian banyak, dan semua ingin mendapatkan bagian keuntungan finansial. Mereka membina hubungan intens sebagai suatu “on-going relationship”.
Setahu saya, merasuk dan merusaknya konsep “exchange” dalam beperkara di pengadilan maupun di luar pengadilan itu sudah sedemikian parah. Sulit disembuhkan atau diberantas apabila para penegak hukum terjebak di dalam pendekatan legal-positivistik semata. Mengapa? Karena hukum perundang-undangan terlalu sempit dan kaku untuk mampu menguak dan menjerat pelaku suap-menyuap.
Para pelaku sedemikian lihai melakukan pergeseran, tukar-menukar, patgulipat terhadap hukum perundang-undangan dengan hukum sebagai perilaku. Hukum perundang-undangan dipelajari secara intens oleh pelaku untuk dicari celahnya dan pada celah itulah hukum sebagai perilaku dimunculkan secara serta-merta, berjamaah, ataupun spontan lewat interaksi para pelakunya.
Suap-menyuap telah menjadi fenomena bisnis perkara. Masyarakat pengadilan, kantor-kantor pengacara —yang di dalamnya ada para penegak hukum maupun para pencari keadilan— hendaknya dipahami sebagai komunitas khas, ibarat pabrik memiliki potensi memproduksi perilaku hukum menyimpang.
Mungkin, saat-saat tertentu para anggota komunitas tampak mematuhi hukum walaupun setelah ditelusuri hal demikian bukan bertolak dari kesadaran dan moralitas bernegara hukum, melainkan dalam rangka “organic transaction” dan demi keuntungan finansial.
Di sana ada kepalsuan atau kemunafikan hukum. Aparat penegak hukum, khususnya KPK, mesti waspada, jangan sampai bertindak berdasarkan “the understanding which gives meaning of people’s experiences and actions”. Wallahualam.
Prof DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pada tataran sosial terlihat betapa semaraknya kegiatan di masjid-masjid, kantor-kantor, ataupun tempat-tempat umum. Namun, apa yang menjadi kecenderungan umat Islam itu tampaknya sama sekali tidak berlaku bagi para praktisi hukum yang sudah terbiasa menjalankan profesinya sebagai “pebisnis perkara”. Diwartakan dalam berbagai media, pada Kamis 25 Juli 2013, Mario ditangkap KPK di kantor Hotma di Jalan Martapura, Jakarta Pusat, sekitar pukul 13.20 WIB.
Dia ditangkap di bilangan Monas, Jakarta Pusat, ketika sedang menumpang ojek. Pada pukul 12.15 WIB, hari yang sama, satu jam sebelumnya atau sekitar pukul 11.15 WIB Djodi diketahui menerima uang suap dari Mario. Uang tersebut diletakkan di dalam tas selempang cokelat. Saat penangkapan itu KPK menyita uang sekitar Rp78 juta. Dalam koridor asas praduga tak bersalah, tulisan ini tidak hendak menuduh para praktisi hukum yang ditangkap KPK itu sebagai oknum-oknum yang terlibat dalam suap-menyuap.
Kita serahkan segalanya kepada aparat berwenang agar diproses sesuai hukum berlaku. Walau demikian, bukan tabu untuk ikut menganalisis atas kasus tersebut agar diperoleh hikmah dan pemahaman yang benar dan utuh sehingga kita dapat bersikap bijak dalam menghadapi kasus serupa. Bertolak dari realitas empiris bahwa kehidupan bernegara hukum Indonesia akhir-akhir ini cenderung “salah kiblat”, dominasi paham positivisme dalam ranah ilmu hukum dan paham kapitalisme pada ranah ilmu ekonomi perlu dikritisi.
Bagi penganut positivisme, apa yang disebut hukum adalah teks atau perundang-undangan atau hukum yang sudah dirumuskan dengan sengaja dan rasional oleh lembaga yang berwenang. Dalam pemahaman demikian, KPK bertindak menangkap tangan dua oknum tersebut atas dasar dan dalam bingkai perundang-undangan.
Apabila dua oknum atau kuasanya berkeberatan serta-merta ingin membelanya agar terbebas dari tuduhan suap-menyuap, jalur dan prosedur hukum perundang-undangan mesti dilaluinya. Keluar dari hukum perundang-undangan dapat disamakan dengan tindakan main hakim sendiri. Cara berhukum yang tekstual itu telah menjadi warna khas dan bagian dari sejarah perkembangan masyarakat kita.
Perkembangan sosial demikian, bila ditarik ke ranah ekonomi, terkait perkembangan sistem perekonomian modern yang kapitalistik. Perekonomian kapitalis adalah cara berekonomi yang terukur dan terencana. Segala aktivitas produksi, distribusi, maupun konsumsi direncanakan secara terukur dan pasti agar keuntungan yang diharapkan pun dapat diprediksi secara akurat.
Tatanan kehidupan yang kapitalistik itu membutuhkan basis tatanan hukum yang bersifat eksak. Di situlah hukum perundang-undangan memberikan kontribusi bagi perekonomian kapitalistik. Ketika paham kapitalisme dan paham positivisme bergandeng tangan, ada kecenderungan tidak tabu (bahkan sering) menjadikan kasus hukum sebagai komoditas yang layak diperjualbelikan demi keuntungan material.
Di dalam kontrak-kontrak kuasa pembelaan antara klien dan pengacara senantiasa akan termuat mengenai honor, imbalan, atau konsekuensi lainnya agar sebuah perkara dapat dimenangkan. Pengacara akan memperhitungkan biaya resmi beperkara dan sekaligus biaya tak resmi agar “pertarungan” di luar sidang pengadilan dapat dilakukan sehingga perkara dimenangkan.
Suap-menyuap salah satu cara beperkara di luar sidang pengadilan. Cara ini seakan telah lazim dan menjadi bagian dari proses hukum, sebagai pelengkap dari cara-cara beperkara yang tergolong legal-positivistik. Uang sebagai sarana menyuap bermakna sebagai “tool of exchange”. Pelaksanaannya menjadi efektif dan efisien bila di antara para pihak terjalin kesepakatan yang rapi dan tertutup.
Bahasa sandi menjadi bagian dari “tool of exchange” itu. Konsep “exchange” adalah konsep bisnis atau ekonomi dan perilaku suap-menyuap dapat disamakan sebagai “organic transaction”(Macaulay, 1966). Dalam tradisi beperkara, para pihak yang terlibat sedemikian banyak, dan semua ingin mendapatkan bagian keuntungan finansial. Mereka membina hubungan intens sebagai suatu “on-going relationship”.
Setahu saya, merasuk dan merusaknya konsep “exchange” dalam beperkara di pengadilan maupun di luar pengadilan itu sudah sedemikian parah. Sulit disembuhkan atau diberantas apabila para penegak hukum terjebak di dalam pendekatan legal-positivistik semata. Mengapa? Karena hukum perundang-undangan terlalu sempit dan kaku untuk mampu menguak dan menjerat pelaku suap-menyuap.
Para pelaku sedemikian lihai melakukan pergeseran, tukar-menukar, patgulipat terhadap hukum perundang-undangan dengan hukum sebagai perilaku. Hukum perundang-undangan dipelajari secara intens oleh pelaku untuk dicari celahnya dan pada celah itulah hukum sebagai perilaku dimunculkan secara serta-merta, berjamaah, ataupun spontan lewat interaksi para pelakunya.
Suap-menyuap telah menjadi fenomena bisnis perkara. Masyarakat pengadilan, kantor-kantor pengacara —yang di dalamnya ada para penegak hukum maupun para pencari keadilan— hendaknya dipahami sebagai komunitas khas, ibarat pabrik memiliki potensi memproduksi perilaku hukum menyimpang.
Mungkin, saat-saat tertentu para anggota komunitas tampak mematuhi hukum walaupun setelah ditelusuri hal demikian bukan bertolak dari kesadaran dan moralitas bernegara hukum, melainkan dalam rangka “organic transaction” dan demi keuntungan finansial.
Di sana ada kepalsuan atau kemunafikan hukum. Aparat penegak hukum, khususnya KPK, mesti waspada, jangan sampai bertindak berdasarkan “the understanding which gives meaning of people’s experiences and actions”. Wallahualam.
Prof DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM)
(hyk)