Antisipasi dampak krisis ekonomi global
A
A
A
PERKEMBANGAN perekonomian global semakin memprihatinkan. Sejumlah negara di kawasan Eropa kini terbelit kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan.
Sedangkan Pemerintah Amerika Serikat terus berkonsolidasi untuk keluar dari situasi perekonomian yang masih berfluktuatif. Sementara dua negara di Asia yakni China dan India yang selama ini mempertontonkan pertumbuhan perekonomian yang menakjubkan sedikit mulai meredup. Situasi dan kondisi tersebut bakal berdampak terhadap perkembangan perekonomian nasional.
Membaca kecenderungan perekonomian global yang terus terkoreksi itu, pemerintah tidak ingin kecolongan sehingga perlu langkah antisipasi yang tepat sebelum krisis perekonomian global menahan laju pertumbuhan perekonomian nasional. Pada pertengahan pekan kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar sidang kabinet paripurna yang fokus membahas bagaimana mengantisipasi dampak perkembangan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia.
Dalam sidang kabinet tersebut, Presiden SBY mengeluarkan lima arahan dalam menyikapi kondisi situasi perekonomian global yang sedang gonjang-ganjing. Pertama, pertumbuhan perekonomian nasional harus tetap dijaga dari sisi investasi dan konsumsi domestik serta mempercepat penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Terkait arahan Presiden tersebut, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa membeberkan bahwa pihaknya sedang menyiapkan sejumlah kebijakan guna meningkatkan dan memperbaiki iklim investasi yang lebih kompetitif.
Kedua, jajaran pemerintahan diminta mengontrol inflasi dan menjaga harga bahan pangan pokok yang berpengaruh besar pada masyarakat miskin dan setengah miskin. Ketiga, menghilangkan segala yang menghambat pertumbuhan industri sehingga tetap bisa menyerap tenaga kerja. Keempat, jaring pengaman sosial harus tepat waktu dan sasaran. Kelima, Presiden meminta kebijakan di sektor pertanian tak terkecuali dengan tata niaga agar diadakan evaluasi khusus.
Lima arahan Presiden tersebut sangat jelas dan terukur. Karena itu, kita berharap para pelaksana tugas dapat mengimplementasikannya dengan benar dan tepat waktu. Bukan rahasia umum lagi, hasil rapat seringkali tidak bisa dieksekusi dengan benar alias pelaksanaan di lapangan tidak mencerminkan hasil rapat. Kita harus berkaca pada kebijakan pengadaan daging sapi impor.
Hingga memasuki minggu pertama puasa harga daging sapi bertengger di atas Rp100.000 per kilogram. Pemerintah pun panik dan kementerian terkait saling lempar tanggung jawab atas pengadaan daging sapi tersebut. Sementara Bulog yang diberi izin khusus mengimpor sebanyak 3.000 ton daging sapi untuk menstabilkan harga menjadi sasaran tembak. Namun, badan penyangga pangan itu tak ingin disalahkan dengan membeberkan bahwa pemberian izin sangat mepet sepekan menjelang bulan puasa.
Celakanya, ketika izin impor turun giliran izin memasukkan daging sapi lewat bandar udara yang tak kunjung terbit. Akhirnya, ributlah seantero negeri karena harga daging sapi semakin menggila, padahal pemerintah sudah telanjur mengumumkan semua pasokan pangan aman dan terjaga menghadapi Ramadan.
Kita berharap para pengelola negara benar-benar menyatukan langkah dalam menyikapi dampak krisis perekonomian global. Garis besar apa yang harus dijalankan sudah ditegaskan Presiden secara gamblang. Mari menyatukan sikap sebab dampak krisis perekonomian global sudah mulai terasa melalui pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang terus bertengger di atas Rp10.000 per 1 USD.
Bank Indonesia masih selalu berkilah bahwa pelemahan itu masih dalam batas wajar. Tetapi, lupa bahwa bank sentral sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan yang langsung direspons perbankan nasional dengan menaikkan suku bunga kredit yang mengancam sektor riil.
Sedangkan Pemerintah Amerika Serikat terus berkonsolidasi untuk keluar dari situasi perekonomian yang masih berfluktuatif. Sementara dua negara di Asia yakni China dan India yang selama ini mempertontonkan pertumbuhan perekonomian yang menakjubkan sedikit mulai meredup. Situasi dan kondisi tersebut bakal berdampak terhadap perkembangan perekonomian nasional.
Membaca kecenderungan perekonomian global yang terus terkoreksi itu, pemerintah tidak ingin kecolongan sehingga perlu langkah antisipasi yang tepat sebelum krisis perekonomian global menahan laju pertumbuhan perekonomian nasional. Pada pertengahan pekan kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar sidang kabinet paripurna yang fokus membahas bagaimana mengantisipasi dampak perkembangan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia.
Dalam sidang kabinet tersebut, Presiden SBY mengeluarkan lima arahan dalam menyikapi kondisi situasi perekonomian global yang sedang gonjang-ganjing. Pertama, pertumbuhan perekonomian nasional harus tetap dijaga dari sisi investasi dan konsumsi domestik serta mempercepat penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Terkait arahan Presiden tersebut, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa membeberkan bahwa pihaknya sedang menyiapkan sejumlah kebijakan guna meningkatkan dan memperbaiki iklim investasi yang lebih kompetitif.
Kedua, jajaran pemerintahan diminta mengontrol inflasi dan menjaga harga bahan pangan pokok yang berpengaruh besar pada masyarakat miskin dan setengah miskin. Ketiga, menghilangkan segala yang menghambat pertumbuhan industri sehingga tetap bisa menyerap tenaga kerja. Keempat, jaring pengaman sosial harus tepat waktu dan sasaran. Kelima, Presiden meminta kebijakan di sektor pertanian tak terkecuali dengan tata niaga agar diadakan evaluasi khusus.
Lima arahan Presiden tersebut sangat jelas dan terukur. Karena itu, kita berharap para pelaksana tugas dapat mengimplementasikannya dengan benar dan tepat waktu. Bukan rahasia umum lagi, hasil rapat seringkali tidak bisa dieksekusi dengan benar alias pelaksanaan di lapangan tidak mencerminkan hasil rapat. Kita harus berkaca pada kebijakan pengadaan daging sapi impor.
Hingga memasuki minggu pertama puasa harga daging sapi bertengger di atas Rp100.000 per kilogram. Pemerintah pun panik dan kementerian terkait saling lempar tanggung jawab atas pengadaan daging sapi tersebut. Sementara Bulog yang diberi izin khusus mengimpor sebanyak 3.000 ton daging sapi untuk menstabilkan harga menjadi sasaran tembak. Namun, badan penyangga pangan itu tak ingin disalahkan dengan membeberkan bahwa pemberian izin sangat mepet sepekan menjelang bulan puasa.
Celakanya, ketika izin impor turun giliran izin memasukkan daging sapi lewat bandar udara yang tak kunjung terbit. Akhirnya, ributlah seantero negeri karena harga daging sapi semakin menggila, padahal pemerintah sudah telanjur mengumumkan semua pasokan pangan aman dan terjaga menghadapi Ramadan.
Kita berharap para pengelola negara benar-benar menyatukan langkah dalam menyikapi dampak krisis perekonomian global. Garis besar apa yang harus dijalankan sudah ditegaskan Presiden secara gamblang. Mari menyatukan sikap sebab dampak krisis perekonomian global sudah mulai terasa melalui pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang terus bertengger di atas Rp10.000 per 1 USD.
Bank Indonesia masih selalu berkilah bahwa pelemahan itu masih dalam batas wajar. Tetapi, lupa bahwa bank sentral sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan yang langsung direspons perbankan nasional dengan menaikkan suku bunga kredit yang mengancam sektor riil.
(hyk)