(Saling) mempercayakan diri: Krisis?
A
A
A
KECELAKAAN pesawat Asiana Boeing 777-200 di San Fransisco beberapa hari lalu beserta penjelasan awal bahwa kopilot yang sedang bertanggung jawab mendaratkan baru mendapatkan 48 jam terbang untuk pesawat jenis ini salah satu contoh betapa sebagian besar hidup kita itu bertopang pada mempercayakan diri atau nasib kita ke orang lain.
Dalam keseharian saat bepergian keluar kota sebagai penumpang bus kita mempercayakan diri pada sopir bus. Begitu pula bila naik kereta api, kita menaruhkan nasib hidup perjalanan pada masinis. Begitulah di dalam kota, sebagian besar hidup kita dalam bepergian sebagai penumpang mempercayakan diri merupakan esensi sebagian hidup bersama dalam bepergian. Dua butir penting dalam tindakan ini yaitu, pertama, relasi saling mempercayai atau trust menjadi dasar ikatannya.
Yang kedua, secara moral ruang tanggung jawab atas saling mempercayakannya kehidupan di tangan sesama menjadi taruhan yang memuat risiko-risikonya. Bila dicederai, berisiko korban kehilangan nyawa sesama sampai kepercayaan itu terluka. Apalagi bila dikhianati kesalingpercayaan itu, akan meruntuhkan bangunan dasar sosialitas hidup bersama antarmanusia. Lihatlah itu di ranah sosial dalam perkawinan yang mengandaikan trust antara pasangan suami dan istri.
Lihatlah pula di ranah pendidikan hubungan antara guru dan murid atau dosen dan mahasiswa, mempercayai si murid akan jujur dalam ulangan atau ujian menjadi kunci sebuah proses pendidikan watak sebuah masyarakat. Begitu dikhianati dari kecil dengan menyontek atau perilaku tidak jujur, akan membuahkan sosialitas yang lack of trust atau masyarakat yang bohong dan pura-pura yang siap runtuh karena dasarnya diretakkan dan dihancurkan.
Bagaimana itu terjadi dalam ranah politik seperti di Tanah Air kita ini? Beberapa survei mengenai pemilu daerah dan pemilu-pemilu lain terbaca bahwa kepercayaan pada para calon legislatif atau calon kepala daerah yang ternyata dalam proses berikutnya tidak melaksanakan janji-janji mereka dan mencederai kepercayaan pemilihnya akan dihukum masyarakatnya dengan tidak memilih lagi calon dan partainya.
Namun, lebih gawat lagi adalah indikasi grafik golput yang terus naik alias membuat masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya lagi. Kepercayaan terhadap sesama yang dipilih untuk menjadi wakil rakyat di DPR sebagai pembuat undang-undang dalam RUU ormas, undang-undang ormas yang meskipun sudah diajukan oleh banyak ormas bahkan Muhammadiyah dan ormas lain, tetap disahkan menjadi undang-undang menunjukkan pertanyaan besar: para anggota DPR ini mewakili rakyat atau kepentingan mereka sendiri?
Di The Jakarta Post, 9 Juli 2013, bahkan ditulis opini dan survei mengenai penurunan tingkat kepercayaan masyarakat pada the lawmaker alias DPR pembuat undang-undang. Logikanya sederhana: bagaimana ”mempercayakan diri” untuk disuarakan dalam soal kurikulum 2013 dan mempercayai proses yang dipidatokan Menteri Dikbud untuk mendengar masukan dan janji penyiapan guru dan materi dengan waktu cukup ternyata dibuat dalam tempo singkat-singkatnya persiapan dan sosialisasi untuk guru pendamping tak lebih dengan waktu amat pendek dua bulan?
Bila pendidikan digemborkan sebagai sebuah proses jangka panjang apalagi pendidikan karakter, mengapa pula diterjang sendiri dengan contoh antiproses dan rasionalisasi-rasionalisasi pembenaran bahwa masa depan bangsa akan menemukan solusinya di kurikulum ini? Tiga tahapan dalam mengukur hasil sebuah kebijakan adalah visi dasar yang matang, lalu proses rumusan teknis operasionalnya dan konsistensi rendah hati menerima masukan dan kritik tidak sebagai formalitas dan ritual, tetapi esensial benar-benar mau membuka diri untuk bonum communae (kebaikan bersama).
Ini berarti, asumsi untuk memberi kado menjelang akhir jabatan sebelum 2014 pemilu untuk atasan siapa pun itu harus rendah hati disingkirkan jauh-jauh. Berikutnya perilaku pada eks RSBI sebagai eksperimen pelaksanaan, sekali lagi mencederai trust kita! Mengapa bila kurikulum 2013 solusi kok tidak dibuka untuk seluruh sekolahan?
Dengan tawaran silakan daftar untuk memakainya ini pun gimmick, seolah-olah membuka diri profesional namun terlalu tampak rasionalisasi bahwa proyek harus berjalan dan sukses pokoknya! Logika sederhananya yang bisa ditampilkan dalam kaitan ”mempercayai Dinas” telah menggugat tajam kenyataan guru-guru menjadi objek sosialisasi isi kurikulum 2013 termuat dalam dua indikasi. Pelatihan massal terpusat dengan jam kognisi tanpa internalisasi meskipun dibuka Wapres dan Mendikbud. Apalagi memperlakukan murid-murid harus belajar dan memakainya tetap sebagai sasaran meskipun diberi janji akan ditemani tim selama guru-guru pelatihan nantinya praktik!
Bagaimana mempertanggungjawabkan esensi pendidikan sebagai proses pemekaran bakat-bakat religius, kognitif, estetis dalam sikap jujur dan adil dengan Tuhan dan sesama bila ruang atau ”rumah praksisnya terburu-buru”, project goal oriented yang antiproses. Panggung proses itu tidak saya temui Bapak-Bapak. Yang saya baca adalah ketergesaan dan upaya membenar-benarkan dan tahu-tahu jebloklah kekacauan ujian nasional kemarin.
Itu pun belum dibongkar tuntas, masih ditutup-tutupi karpet melaporkan ke KPK soal korupsi di Diknas dan Dikbud. Bukankah ini satu atap rumah sendiri? Lagi-lagi kepercayaan dan mempercayai pemimpin, apalagi pendidik menjadi taruhannya! Dalam lingkup seolah mendengarkan usulan dan masih bisa dipercayai oleh kita selalu muncul argumentasi dan asumsi solusi yang seolah-olah pula.
lihatlah begitu ketok palu RUU mengenai UU, dengan lantang DPR berkata silakan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil undang-undang ini bila suara-suara rakyat belum puas! Mekanisme ini sudah terjadi sebagai fake exit way (jalan keluar seolah-olah) sejak UU Pornografi, kini UU Ormas. Yang diabaikan oleh mekanisme ini adalah proses ”saling percaya" merumuskan soal dan membuat UU apa pun itu.
Bila saling percaya antarsesama bangsa ini kuat sebenarnya rezim hukum haruslah menjadi ”bahasa terakhir” ketika keragaman dalam kebersamaan yang oleh pendiri bangsa sudah didasarkan pada cara dialog bersama yaitu mufakat mencapai batasnya. Indikasi terus-menerus voting sebenarnya menyalahi proses dasar, buang banyak energi dan waktu untuk mau tetap diskresi berdasar trust.
Voting adalah manifestasi pemenangan kuasa yang kuat mengalahkan yang lemah. Anda uji sendiri di keluarga Anda, bila salah satu anak Anda disabled atau berkemampuan terbatas, apakah Anda akan tega memenangkan yang sehat-sehat dan memperpuruk nasib yang disabled. Keragaman Indonesia itu berlapis-lapis beda tingkat pendidikan, beda tingkat sosial dan akses ke kuasa, serta uang yang semestinya tidak menghalalkan cara memenangkan kepentingan yang kuat dengan voting mengalahkan yang lemah.
Ini politik tanpa etika yang memandang tiap warga negara sama, berharkat, dan sama-sama kedudukannya bermartabat dalam hukum sehingga harus terus mufakat. Sejak kapan rezim hukum menjadi tuan besar dan nomor satu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini? Sejak kita krisis untuk saling mempercayai alias antarkita terjadi distrust.
Uang kita untuk pajak yang kita percayakan untuk solidaritas dikelola pemerintah dan negara agar beda kaya dan miskin dijembatani hingga sarana-sarana pendidikan, fasilitas publik subsidi untuk yang miskin, ternyata dikhianati dengan korupsi.
Maka itu, menarik sekali para anggota masyarakat yang bercita-cita nyata bahwa bilamana MK saat uji materiil UU Ormas, tetapi tidak mendengarkan suara rakyat (baca: masyarakat warga Indonesia), mereka akan kampanye boikot tidak membayar pajak!
Sebagai akhir kata, pulihkan dahulu saling mempercayai sebagai bangsa yang sedang krisis ini (baca buku ”Krisis Peradaban”, Kanisius, 2013) untuk mendalami jernih-jernih betapa jalan budaya yaitu merajut kembali trust melalui seni, pendidikan (yang berinti proses dan bukan rasionalitas teknis apalagi instrumentalis mengobjekkan lalu pragmatis kejar target), humaniora dengan salah satu kesimpulan anak-anak muda yang berseru untuk Indonesia, jalan budaya adalah Bhineka Tunggal Ika dan proses praksis gotong-royong dan bukan ”loe-loe gue-gue”.
Bila jalan politik diekstremkan yang tanpa etika itu cenderung memecah-mecah ”sini kawan” dan ”sana lawan”, seyogianyalah perilaku mempercayai kita rajut kembali meskipun panggung visual televisi dan digital kita penuh dengan pencederaan dan pengkhianatan terhadap saling mempercayai. Last but not least, di bulan yang semua rendah hati menukik ke jalan renung nurani ini semogalah oase dari trust adalah kesediaan menanggungjawabi hidup kita dan hidup sesama kita sebagai rekan dalam menuju Indonesia yang sejahtera.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara & Universitas Indonesia
Budayawan
Dalam keseharian saat bepergian keluar kota sebagai penumpang bus kita mempercayakan diri pada sopir bus. Begitu pula bila naik kereta api, kita menaruhkan nasib hidup perjalanan pada masinis. Begitulah di dalam kota, sebagian besar hidup kita dalam bepergian sebagai penumpang mempercayakan diri merupakan esensi sebagian hidup bersama dalam bepergian. Dua butir penting dalam tindakan ini yaitu, pertama, relasi saling mempercayai atau trust menjadi dasar ikatannya.
Yang kedua, secara moral ruang tanggung jawab atas saling mempercayakannya kehidupan di tangan sesama menjadi taruhan yang memuat risiko-risikonya. Bila dicederai, berisiko korban kehilangan nyawa sesama sampai kepercayaan itu terluka. Apalagi bila dikhianati kesalingpercayaan itu, akan meruntuhkan bangunan dasar sosialitas hidup bersama antarmanusia. Lihatlah itu di ranah sosial dalam perkawinan yang mengandaikan trust antara pasangan suami dan istri.
Lihatlah pula di ranah pendidikan hubungan antara guru dan murid atau dosen dan mahasiswa, mempercayai si murid akan jujur dalam ulangan atau ujian menjadi kunci sebuah proses pendidikan watak sebuah masyarakat. Begitu dikhianati dari kecil dengan menyontek atau perilaku tidak jujur, akan membuahkan sosialitas yang lack of trust atau masyarakat yang bohong dan pura-pura yang siap runtuh karena dasarnya diretakkan dan dihancurkan.
Bagaimana itu terjadi dalam ranah politik seperti di Tanah Air kita ini? Beberapa survei mengenai pemilu daerah dan pemilu-pemilu lain terbaca bahwa kepercayaan pada para calon legislatif atau calon kepala daerah yang ternyata dalam proses berikutnya tidak melaksanakan janji-janji mereka dan mencederai kepercayaan pemilihnya akan dihukum masyarakatnya dengan tidak memilih lagi calon dan partainya.
Namun, lebih gawat lagi adalah indikasi grafik golput yang terus naik alias membuat masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya lagi. Kepercayaan terhadap sesama yang dipilih untuk menjadi wakil rakyat di DPR sebagai pembuat undang-undang dalam RUU ormas, undang-undang ormas yang meskipun sudah diajukan oleh banyak ormas bahkan Muhammadiyah dan ormas lain, tetap disahkan menjadi undang-undang menunjukkan pertanyaan besar: para anggota DPR ini mewakili rakyat atau kepentingan mereka sendiri?
Di The Jakarta Post, 9 Juli 2013, bahkan ditulis opini dan survei mengenai penurunan tingkat kepercayaan masyarakat pada the lawmaker alias DPR pembuat undang-undang. Logikanya sederhana: bagaimana ”mempercayakan diri” untuk disuarakan dalam soal kurikulum 2013 dan mempercayai proses yang dipidatokan Menteri Dikbud untuk mendengar masukan dan janji penyiapan guru dan materi dengan waktu cukup ternyata dibuat dalam tempo singkat-singkatnya persiapan dan sosialisasi untuk guru pendamping tak lebih dengan waktu amat pendek dua bulan?
Bila pendidikan digemborkan sebagai sebuah proses jangka panjang apalagi pendidikan karakter, mengapa pula diterjang sendiri dengan contoh antiproses dan rasionalisasi-rasionalisasi pembenaran bahwa masa depan bangsa akan menemukan solusinya di kurikulum ini? Tiga tahapan dalam mengukur hasil sebuah kebijakan adalah visi dasar yang matang, lalu proses rumusan teknis operasionalnya dan konsistensi rendah hati menerima masukan dan kritik tidak sebagai formalitas dan ritual, tetapi esensial benar-benar mau membuka diri untuk bonum communae (kebaikan bersama).
Ini berarti, asumsi untuk memberi kado menjelang akhir jabatan sebelum 2014 pemilu untuk atasan siapa pun itu harus rendah hati disingkirkan jauh-jauh. Berikutnya perilaku pada eks RSBI sebagai eksperimen pelaksanaan, sekali lagi mencederai trust kita! Mengapa bila kurikulum 2013 solusi kok tidak dibuka untuk seluruh sekolahan?
Dengan tawaran silakan daftar untuk memakainya ini pun gimmick, seolah-olah membuka diri profesional namun terlalu tampak rasionalisasi bahwa proyek harus berjalan dan sukses pokoknya! Logika sederhananya yang bisa ditampilkan dalam kaitan ”mempercayai Dinas” telah menggugat tajam kenyataan guru-guru menjadi objek sosialisasi isi kurikulum 2013 termuat dalam dua indikasi. Pelatihan massal terpusat dengan jam kognisi tanpa internalisasi meskipun dibuka Wapres dan Mendikbud. Apalagi memperlakukan murid-murid harus belajar dan memakainya tetap sebagai sasaran meskipun diberi janji akan ditemani tim selama guru-guru pelatihan nantinya praktik!
Bagaimana mempertanggungjawabkan esensi pendidikan sebagai proses pemekaran bakat-bakat religius, kognitif, estetis dalam sikap jujur dan adil dengan Tuhan dan sesama bila ruang atau ”rumah praksisnya terburu-buru”, project goal oriented yang antiproses. Panggung proses itu tidak saya temui Bapak-Bapak. Yang saya baca adalah ketergesaan dan upaya membenar-benarkan dan tahu-tahu jebloklah kekacauan ujian nasional kemarin.
Itu pun belum dibongkar tuntas, masih ditutup-tutupi karpet melaporkan ke KPK soal korupsi di Diknas dan Dikbud. Bukankah ini satu atap rumah sendiri? Lagi-lagi kepercayaan dan mempercayai pemimpin, apalagi pendidik menjadi taruhannya! Dalam lingkup seolah mendengarkan usulan dan masih bisa dipercayai oleh kita selalu muncul argumentasi dan asumsi solusi yang seolah-olah pula.
lihatlah begitu ketok palu RUU mengenai UU, dengan lantang DPR berkata silakan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil undang-undang ini bila suara-suara rakyat belum puas! Mekanisme ini sudah terjadi sebagai fake exit way (jalan keluar seolah-olah) sejak UU Pornografi, kini UU Ormas. Yang diabaikan oleh mekanisme ini adalah proses ”saling percaya" merumuskan soal dan membuat UU apa pun itu.
Bila saling percaya antarsesama bangsa ini kuat sebenarnya rezim hukum haruslah menjadi ”bahasa terakhir” ketika keragaman dalam kebersamaan yang oleh pendiri bangsa sudah didasarkan pada cara dialog bersama yaitu mufakat mencapai batasnya. Indikasi terus-menerus voting sebenarnya menyalahi proses dasar, buang banyak energi dan waktu untuk mau tetap diskresi berdasar trust.
Voting adalah manifestasi pemenangan kuasa yang kuat mengalahkan yang lemah. Anda uji sendiri di keluarga Anda, bila salah satu anak Anda disabled atau berkemampuan terbatas, apakah Anda akan tega memenangkan yang sehat-sehat dan memperpuruk nasib yang disabled. Keragaman Indonesia itu berlapis-lapis beda tingkat pendidikan, beda tingkat sosial dan akses ke kuasa, serta uang yang semestinya tidak menghalalkan cara memenangkan kepentingan yang kuat dengan voting mengalahkan yang lemah.
Ini politik tanpa etika yang memandang tiap warga negara sama, berharkat, dan sama-sama kedudukannya bermartabat dalam hukum sehingga harus terus mufakat. Sejak kapan rezim hukum menjadi tuan besar dan nomor satu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini? Sejak kita krisis untuk saling mempercayai alias antarkita terjadi distrust.
Uang kita untuk pajak yang kita percayakan untuk solidaritas dikelola pemerintah dan negara agar beda kaya dan miskin dijembatani hingga sarana-sarana pendidikan, fasilitas publik subsidi untuk yang miskin, ternyata dikhianati dengan korupsi.
Maka itu, menarik sekali para anggota masyarakat yang bercita-cita nyata bahwa bilamana MK saat uji materiil UU Ormas, tetapi tidak mendengarkan suara rakyat (baca: masyarakat warga Indonesia), mereka akan kampanye boikot tidak membayar pajak!
Sebagai akhir kata, pulihkan dahulu saling mempercayai sebagai bangsa yang sedang krisis ini (baca buku ”Krisis Peradaban”, Kanisius, 2013) untuk mendalami jernih-jernih betapa jalan budaya yaitu merajut kembali trust melalui seni, pendidikan (yang berinti proses dan bukan rasionalitas teknis apalagi instrumentalis mengobjekkan lalu pragmatis kejar target), humaniora dengan salah satu kesimpulan anak-anak muda yang berseru untuk Indonesia, jalan budaya adalah Bhineka Tunggal Ika dan proses praksis gotong-royong dan bukan ”loe-loe gue-gue”.
Bila jalan politik diekstremkan yang tanpa etika itu cenderung memecah-mecah ”sini kawan” dan ”sana lawan”, seyogianyalah perilaku mempercayai kita rajut kembali meskipun panggung visual televisi dan digital kita penuh dengan pencederaan dan pengkhianatan terhadap saling mempercayai. Last but not least, di bulan yang semua rendah hati menukik ke jalan renung nurani ini semogalah oase dari trust adalah kesediaan menanggungjawabi hidup kita dan hidup sesama kita sebagai rekan dalam menuju Indonesia yang sejahtera.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara & Universitas Indonesia
Budayawan
(hyk)