BLSM dalam perspektif hukum fakir miskin
A
A
A
Mengikuti tindakan pemerintah menaikkan harga BBM, Komisi VIII DPR menyetujui anggaran program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) selama lima bulan, kurang lebih sebesar Rp12 triliun.
BLSM adalah kompensasi yang diberikan pemerintah kepada orang miskin guna mengurangi beban ekonomi yang semakin menekan kehidupan mereka, sebagai akibat naiknya harga BBM yang membawa dampak membubungnya harga kebutuhan pokok. Sebagai program ad haus, BLSM diberikan kepada 25% penduduk Indonesia, yang meliputi 15,5 juta rumah tangga atau 65,6 juta jiwa. Jumlah orang miskin sasaran BLSM ini jauh lebih tinggi dari klaim pemerintah yang menyebutkan jumlah rakyat miskin menurun menjadi 28 juta orang pada 2012.
Sejak zaman Orde Baru sampai pemerintahan SBY, pemerintah acap menaikkan harga BBM, dan selalu beralasan untuk mengalihkan subsidi BBM dari orang kaya kepada orang miskin. Mungkin saja di masa yang akan datang pemerintah akan menaikkan harga BBM lagi, dengan alasan yang sama, yaitu mengalihkan subsidi BBM dari golongan kaya kepada golongan miskin, dan untuk itu pemerintah mengadakan program BLSM lagi.
Itu berarti dari masa ke masa pemerintah selalu melakukan misalokasi subsidi tanpa pernah bertanggung jawab dan menerima sanksi. Sementara pada saat yang sama, kemiskinan terus melilit dan memberati kehidupan rakyat miskin. BLSM merupakan kebijakan ad hoc yang mewujud dalam proyek menyimpang dari hukum fakir miskin (UU No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin). Menurut UU ini, penanganan fakir miskin harus merupakan kebijakan nasional yang berpihak kepada fakir miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Penanganan fakir miskin tidak boleh bersifat ad haus. Dia harus terintegrasi dalam kebijakan pembangunan nasional, yang secara jelas dimaksudkan untuk mengentaskan fakir miskin. UU Fakir Miskin terang melawan fundamentalisme pasar sebagai inti kebijakan ekonomi neoliberal yang mengharamkan negara untuk melakukan intervensi sosial guna melindungi dan memajukan kaum fakir miskin.
Para ahli ekonomi neoliberal yang mendominasi badan-badan keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, percaya bahwa mekanisme pasar dengan invisible hand-nya mampu mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapi orangorang miskin atau mereka yang tertinggal di belakang. Pandangan para ekonom neoliberal ini secara tegas ditolak oleh hukum fakir miskin.
UU Fakir Miskin mengedepankan peran negara yang aktif melakukan intervensi sosial guna memberantas fakir miskin melalui program: a) pengembangan potensi diri; b) bantuan pangan dan sandang; c) penyediaan pelayanan perumahan; d) penyediaan pelayanan kesehatan; e) penyediaan pelayanan pendidikan; f) penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; g) bantuan hukum; dan/atau h) pelayanan sosial. Program intervensi sosial itu dilaksanakan oleh presiden, gubernur, bupati atau wali kota, serta perangkat daerah secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan, antara lain melalui: a) pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b) peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha; c) jaminan dan perlindungan sosial guna memberikan rasa aman bagi fakir miskin. BLSM berangkat dari pemikiran bahwa orang-orang miskin yang baru terangkat dari status miskin adalah mereka yang memperoleh pendapatan setiap bulan Rp288.000/orang.
Ketika pemerintah karena tekanan pasar menaikkan harga BBM, orang-orang yang baru terangkat dari status miskin itu jatuh menjadi miskin lagi. Karena itu, mereka perlu diberi BLSM untuk menahan guncangan ekonomi dan tidak terjerembap ke lembah kemiskinan. Pandangan ini jelas menyesatkan. Pertama, menetapkan orang bebas dari status miskin setelah memperoleh pendapatan Rp288.000 per bulan jelas tidak tepat, keliru, tidak adil dan menghina orang miskin.
Kedua, BLSM sebesar Rp150.000 per bulan/keluarga, terang tidak akan sanggup memberdayakan orang miskin menghadapi beban kehidupan yang makin berat setelah naiknya harga BBM. Pandangan ini tidak sesuai dengan hukum fakir miskin. UU Fakir Miskin mengatur antara lain prinsip-prinsip hukum sebagai berikut, yaitu Pertama, pengertian bahwa ”fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencarian dan/atau mempunyai sumber mata pencarian,
tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya.” Kedua, bahwa kebutuhan dasar adalah ”kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/ atau pelayanan sosial.” (Pasal 1 angka 1 dan 3 UU No 13 Tahun 2011). Batas bebas dari kemiskinan pada angka Rp288.000 yang menjadi kebijakan pemerintah untuk mengukur penurunan jumlah orang miskin, bertentangan dengan UU Fakir Miskin tersebut di atas.
Uang Rp288.000 per bulan per orang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar orang miskin. Guna menangani secara tepat dan akurat masalah yang dihadapi orang miskin, hukum fakir miskin menugaskan pemerintah, qqMenteri Sosial untuk menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk menangani kebutuhan para fakir miskin itu. Sudah jelas kriteria itu harus memenuhi kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan atau pelayanan sosial. Kriteria yang ditetapkan oleh menteri sosial itu menjadi dasar bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan pendataan.
Dengan demikian, menurut UU Fakir Miskin, BPS tidak berwenang menentukan kriteria fakir miskin. Itu berarti kebijakan BPS menggunakan ukuran Rp288.000 per bulan per orang untuk menentukan penurunan jumlah orang miskin, tidak mempunyai pijakan hukum. Hukum fakir miskin selanjutnya mengatur hasil pendataan fakir miskin oleh BPS itu diverifikasi dan divalidasi oleh menteri sosial. Verifikasi dan validasi dilakukan oleh menteri sosial sekurang-kurangnya dua tahun sekali, di mana ujung tombaknya adalah potensi dan sumber kesejahteraan sosial di kecamatan atau kelurahan.
Peristiwa pemberian BLSM yang salah sasaran dan berbagai peristiwa kekerasan yang menyertainya menunjukkan bahwa pendataan, verifikasi, dan validasi berkala serta terus-menerus fakir miskin yang diperintahkan oleh hukum tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, cermat, dan sepenuhnya oleh pemerintah. Pengelolaan penanganan fakir miskin oleh pemerintah masih kelihatan jauh dari tuntutan UU dan harapan kaum fakir miskin.
Hukum fakir miskin sebagaimana tertuang dalam UU No 13 Tahun 2011 menolak fundamentalisme pasar sebagai inti kebijakan ekonomi neoliberal yang terus membayangi pemerintah Indonesia dan banyak negeri dunia ketiga. Namun, hukum fakir miskin tidak antipasar. Dia sesungguhnya menghendaki sebuah pasar yang tunduk pada regulasi negara demi fairness, dan perlindungan sosial. Untuk itu, negara perlu aktif mengawasi pasar dan melakukan intervensi sosial guna mewujudkan emansipasi kaum fakir miskin.
Perlu alokasi anggaran yang memadai untuk menopang upaya penanganan fakir miskin yang berkesinambungan. Dalam perspektif ini, BLSM merupakan proyek yang menyimpang dari hukum fakir miskin, yang tak terelakkan ia menjadi objek politik partaipartai politik, terutama partai penguasa. Sungguh tragis, sampai saat ini, baik partai-partai politik anggota koalisi maupun partai-partai politik oposisi tidak menunjukkan kesungguhan untuk melaksanakan hukum itu secara taat asas. Akibatnya UU itu seperti kertas hampa dan kaum fakir miskin seperti ditinggalkan sendirian tanpa daya.
ABDUL HAKIM G NUSANTARA
Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007
BLSM adalah kompensasi yang diberikan pemerintah kepada orang miskin guna mengurangi beban ekonomi yang semakin menekan kehidupan mereka, sebagai akibat naiknya harga BBM yang membawa dampak membubungnya harga kebutuhan pokok. Sebagai program ad haus, BLSM diberikan kepada 25% penduduk Indonesia, yang meliputi 15,5 juta rumah tangga atau 65,6 juta jiwa. Jumlah orang miskin sasaran BLSM ini jauh lebih tinggi dari klaim pemerintah yang menyebutkan jumlah rakyat miskin menurun menjadi 28 juta orang pada 2012.
Sejak zaman Orde Baru sampai pemerintahan SBY, pemerintah acap menaikkan harga BBM, dan selalu beralasan untuk mengalihkan subsidi BBM dari orang kaya kepada orang miskin. Mungkin saja di masa yang akan datang pemerintah akan menaikkan harga BBM lagi, dengan alasan yang sama, yaitu mengalihkan subsidi BBM dari golongan kaya kepada golongan miskin, dan untuk itu pemerintah mengadakan program BLSM lagi.
Itu berarti dari masa ke masa pemerintah selalu melakukan misalokasi subsidi tanpa pernah bertanggung jawab dan menerima sanksi. Sementara pada saat yang sama, kemiskinan terus melilit dan memberati kehidupan rakyat miskin. BLSM merupakan kebijakan ad hoc yang mewujud dalam proyek menyimpang dari hukum fakir miskin (UU No 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin). Menurut UU ini, penanganan fakir miskin harus merupakan kebijakan nasional yang berpihak kepada fakir miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.
Penanganan fakir miskin tidak boleh bersifat ad haus. Dia harus terintegrasi dalam kebijakan pembangunan nasional, yang secara jelas dimaksudkan untuk mengentaskan fakir miskin. UU Fakir Miskin terang melawan fundamentalisme pasar sebagai inti kebijakan ekonomi neoliberal yang mengharamkan negara untuk melakukan intervensi sosial guna melindungi dan memajukan kaum fakir miskin.
Para ahli ekonomi neoliberal yang mendominasi badan-badan keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, percaya bahwa mekanisme pasar dengan invisible hand-nya mampu mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapi orangorang miskin atau mereka yang tertinggal di belakang. Pandangan para ekonom neoliberal ini secara tegas ditolak oleh hukum fakir miskin.
UU Fakir Miskin mengedepankan peran negara yang aktif melakukan intervensi sosial guna memberantas fakir miskin melalui program: a) pengembangan potensi diri; b) bantuan pangan dan sandang; c) penyediaan pelayanan perumahan; d) penyediaan pelayanan kesehatan; e) penyediaan pelayanan pendidikan; f) penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; g) bantuan hukum; dan/atau h) pelayanan sosial. Program intervensi sosial itu dilaksanakan oleh presiden, gubernur, bupati atau wali kota, serta perangkat daerah secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan, antara lain melalui: a) pemberdayaan kelembagaan masyarakat;
b) peningkatan kapasitas fakir miskin untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha; c) jaminan dan perlindungan sosial guna memberikan rasa aman bagi fakir miskin. BLSM berangkat dari pemikiran bahwa orang-orang miskin yang baru terangkat dari status miskin adalah mereka yang memperoleh pendapatan setiap bulan Rp288.000/orang.
Ketika pemerintah karena tekanan pasar menaikkan harga BBM, orang-orang yang baru terangkat dari status miskin itu jatuh menjadi miskin lagi. Karena itu, mereka perlu diberi BLSM untuk menahan guncangan ekonomi dan tidak terjerembap ke lembah kemiskinan. Pandangan ini jelas menyesatkan. Pertama, menetapkan orang bebas dari status miskin setelah memperoleh pendapatan Rp288.000 per bulan jelas tidak tepat, keliru, tidak adil dan menghina orang miskin.
Kedua, BLSM sebesar Rp150.000 per bulan/keluarga, terang tidak akan sanggup memberdayakan orang miskin menghadapi beban kehidupan yang makin berat setelah naiknya harga BBM. Pandangan ini tidak sesuai dengan hukum fakir miskin. UU Fakir Miskin mengatur antara lain prinsip-prinsip hukum sebagai berikut, yaitu Pertama, pengertian bahwa ”fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencarian dan/atau mempunyai sumber mata pencarian,
tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/ atau keluarganya.” Kedua, bahwa kebutuhan dasar adalah ”kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/ atau pelayanan sosial.” (Pasal 1 angka 1 dan 3 UU No 13 Tahun 2011). Batas bebas dari kemiskinan pada angka Rp288.000 yang menjadi kebijakan pemerintah untuk mengukur penurunan jumlah orang miskin, bertentangan dengan UU Fakir Miskin tersebut di atas.
Uang Rp288.000 per bulan per orang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar orang miskin. Guna menangani secara tepat dan akurat masalah yang dihadapi orang miskin, hukum fakir miskin menugaskan pemerintah, qqMenteri Sosial untuk menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk menangani kebutuhan para fakir miskin itu. Sudah jelas kriteria itu harus memenuhi kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan atau pelayanan sosial. Kriteria yang ditetapkan oleh menteri sosial itu menjadi dasar bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan pendataan.
Dengan demikian, menurut UU Fakir Miskin, BPS tidak berwenang menentukan kriteria fakir miskin. Itu berarti kebijakan BPS menggunakan ukuran Rp288.000 per bulan per orang untuk menentukan penurunan jumlah orang miskin, tidak mempunyai pijakan hukum. Hukum fakir miskin selanjutnya mengatur hasil pendataan fakir miskin oleh BPS itu diverifikasi dan divalidasi oleh menteri sosial. Verifikasi dan validasi dilakukan oleh menteri sosial sekurang-kurangnya dua tahun sekali, di mana ujung tombaknya adalah potensi dan sumber kesejahteraan sosial di kecamatan atau kelurahan.
Peristiwa pemberian BLSM yang salah sasaran dan berbagai peristiwa kekerasan yang menyertainya menunjukkan bahwa pendataan, verifikasi, dan validasi berkala serta terus-menerus fakir miskin yang diperintahkan oleh hukum tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, cermat, dan sepenuhnya oleh pemerintah. Pengelolaan penanganan fakir miskin oleh pemerintah masih kelihatan jauh dari tuntutan UU dan harapan kaum fakir miskin.
Hukum fakir miskin sebagaimana tertuang dalam UU No 13 Tahun 2011 menolak fundamentalisme pasar sebagai inti kebijakan ekonomi neoliberal yang terus membayangi pemerintah Indonesia dan banyak negeri dunia ketiga. Namun, hukum fakir miskin tidak antipasar. Dia sesungguhnya menghendaki sebuah pasar yang tunduk pada regulasi negara demi fairness, dan perlindungan sosial. Untuk itu, negara perlu aktif mengawasi pasar dan melakukan intervensi sosial guna mewujudkan emansipasi kaum fakir miskin.
Perlu alokasi anggaran yang memadai untuk menopang upaya penanganan fakir miskin yang berkesinambungan. Dalam perspektif ini, BLSM merupakan proyek yang menyimpang dari hukum fakir miskin, yang tak terelakkan ia menjadi objek politik partaipartai politik, terutama partai penguasa. Sungguh tragis, sampai saat ini, baik partai-partai politik anggota koalisi maupun partai-partai politik oposisi tidak menunjukkan kesungguhan untuk melaksanakan hukum itu secara taat asas. Akibatnya UU itu seperti kertas hampa dan kaum fakir miskin seperti ditinggalkan sendirian tanpa daya.
ABDUL HAKIM G NUSANTARA
Ketua Komnas HAM Periode 2002-2007
(nfl)