Hutan rakyat yang butuh perhatian
A
A
A
HUTAN adalah sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Disamping melakukan pengelolaan terhadap hutan negara, pemerintah telah mempromosikan dan mendorong pembangunan kehutanan berbasis masyarakat antara lain dengan menggalakkan penanaman komoditas kehutanan pada lahan–lahan rakyat/ lahan milik.
Upaya menanam di lahan kritis atau lahan kosong serta lahan tidak produktif di dalam dan di luar kawasan hutan dengan jenis tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna (MPTS) merupakan salah satu upaya pemulihan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Upaya tersebut juga dapat memberikan hasil berupa kayu, getah, buah, daun, bunga, serat, pakan ternak, dan sebagainya.
Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dalam berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan, dibatasi oleh ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh bibit yang baik.
Sehingga masyarakat cenderung menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dari biji atau benih asalan yang tidak jelas asal usulnya, sehingga tanaman tersebut memerlukan waktu lebih panjang untuk berproduksi dan apabila berproduksi kualitas dan kuantitas hasilnya kurang memuaskan.
Bertolak dari pengalaman tersebut, maka Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan merumuskan kegiatan penyediaan bibit yang lebih baik serta berbasis pemberdayaan masyarakat, yang kita kenal dengan Program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Lebih jelasnya, KBR adalah kebun bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat terutama di pedesaan (Lembaga Masyarakat Desa Hutan/LMDH), melalui pembuatan bibit berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS, multi purpose tree species) yang pembiayaannya dapat bersumber dari dana pemerintah atau non pemerintah.
Bibit yang dihasilkan program KBR tersebut digunakan untuk : (1) merehabilitasi hutan termasuk kegiatan hutan rakyat dan/atau mangrove, lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan pada fasilitas umum/fasilitas sosial (ruang terbuka hijau, turus jalan, kanan kiri sungai, halaman sekolah/perkantoran/rumah ibadah/pertokoan/pasar, dll);
(2) penanaman di kawasan hutan yang telah diarahkan sebagai areal kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm)/Hutan Desa (HD) atau yang telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD).
Peran industri kehutanan menjadi begitu penting, sehingga menjadi salah satu tolok ukur seberapa besar kontribusi kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, salah satu kebijakan prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II adalah “Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan”.
Dewasa ini hutan rakyat sudah sangat berkembang, khususnya dibeberapa wilayah di Pulau Jawa. Nilai dari hasil hutan rakyat ini cukup signifikan untuk memberikan jaminan hidup bagi masyarakat.
Jenis-jenis yang dikembangkan pada umumnya jenis fast growing, misalnya sengon, telah cukup memberikan andil terhadap pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan di luar pulau Jawa.
Selanjutnya kegiatan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (atau Ecolabel) untuk hutan rakyat juga sudah berjalan di beberapa daerah misalnya di Wonogiri. Artinya, masyarakat telah memberikan komitmen terhadap kelestarian hutan yang dibangunnya sebagai sumber penghidupan dalam jangka panjang.
Hal ini tidak saja memberikan harapan berkurangnya tekanan terhadap hutan alam negara, tetapi juga dengan teknik pemanenan yang terkendali, akan memperbaiki kualitas DAS sebagai suatu ekosistem, sehingga akan berpengaruh positif terhadap aspek lingkungan serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan nasional.
Sebagaimana kemampuan negara yang sedang giat membangun, tentunya program KBR memiliki keterbatasan anggaran. Oleh karena itu diharapkan inovasi sekaligus sinergi seluruh pihak untuk mengelola dan mengembangkan hutan rakyat, misalnya kemitraan kelompok tani dengan industri atau investor yang difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui BUMD bahkan BUMDes.
Pemerintah daerah harus proaktif melakukan koordinasi dengan pelaku usaha di masing-masing daerahnya untuk membuka komunikasi atau akses ke pasar internasional guna memberikan keyakinan kepada pasar bahwa hasil hutan yang berasal dari masyarakat dapat dipertanggung jawabkan legalitasnya.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka pembangunan hutan berbasis masyarakat dapat memenuhi kriteria kelestarian produksi, kelestarian lingkungan dan sekaligus akan memberikan kontribusi terhadap kelestarian sosial (kesejahteraan masyarakat).
Adisatrya Suryo Sulisto
Anggota Komisi VI DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Upaya menanam di lahan kritis atau lahan kosong serta lahan tidak produktif di dalam dan di luar kawasan hutan dengan jenis tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna (MPTS) merupakan salah satu upaya pemulihan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Upaya tersebut juga dapat memberikan hasil berupa kayu, getah, buah, daun, bunga, serat, pakan ternak, dan sebagainya.
Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dalam berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan, dibatasi oleh ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh bibit yang baik.
Sehingga masyarakat cenderung menanam tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna dari biji atau benih asalan yang tidak jelas asal usulnya, sehingga tanaman tersebut memerlukan waktu lebih panjang untuk berproduksi dan apabila berproduksi kualitas dan kuantitas hasilnya kurang memuaskan.
Bertolak dari pengalaman tersebut, maka Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan merumuskan kegiatan penyediaan bibit yang lebih baik serta berbasis pemberdayaan masyarakat, yang kita kenal dengan Program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Lebih jelasnya, KBR adalah kebun bibit yang dikelola oleh kelompok masyarakat terutama di pedesaan (Lembaga Masyarakat Desa Hutan/LMDH), melalui pembuatan bibit berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS, multi purpose tree species) yang pembiayaannya dapat bersumber dari dana pemerintah atau non pemerintah.
Bibit yang dihasilkan program KBR tersebut digunakan untuk : (1) merehabilitasi hutan termasuk kegiatan hutan rakyat dan/atau mangrove, lahan kritis serta kegiatan penghijauan lingkungan pada fasilitas umum/fasilitas sosial (ruang terbuka hijau, turus jalan, kanan kiri sungai, halaman sekolah/perkantoran/rumah ibadah/pertokoan/pasar, dll);
(2) penanaman di kawasan hutan yang telah diarahkan sebagai areal kerja Hutan Kemasyarakatan (HKm)/Hutan Desa (HD) atau yang telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD).
Peran industri kehutanan menjadi begitu penting, sehingga menjadi salah satu tolok ukur seberapa besar kontribusi kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, salah satu kebijakan prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II adalah “Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan”.
Dewasa ini hutan rakyat sudah sangat berkembang, khususnya dibeberapa wilayah di Pulau Jawa. Nilai dari hasil hutan rakyat ini cukup signifikan untuk memberikan jaminan hidup bagi masyarakat.
Jenis-jenis yang dikembangkan pada umumnya jenis fast growing, misalnya sengon, telah cukup memberikan andil terhadap pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan di luar pulau Jawa.
Selanjutnya kegiatan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (atau Ecolabel) untuk hutan rakyat juga sudah berjalan di beberapa daerah misalnya di Wonogiri. Artinya, masyarakat telah memberikan komitmen terhadap kelestarian hutan yang dibangunnya sebagai sumber penghidupan dalam jangka panjang.
Hal ini tidak saja memberikan harapan berkurangnya tekanan terhadap hutan alam negara, tetapi juga dengan teknik pemanenan yang terkendali, akan memperbaiki kualitas DAS sebagai suatu ekosistem, sehingga akan berpengaruh positif terhadap aspek lingkungan serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan nasional.
Sebagaimana kemampuan negara yang sedang giat membangun, tentunya program KBR memiliki keterbatasan anggaran. Oleh karena itu diharapkan inovasi sekaligus sinergi seluruh pihak untuk mengelola dan mengembangkan hutan rakyat, misalnya kemitraan kelompok tani dengan industri atau investor yang difasilitasi oleh pemerintah daerah melalui BUMD bahkan BUMDes.
Pemerintah daerah harus proaktif melakukan koordinasi dengan pelaku usaha di masing-masing daerahnya untuk membuka komunikasi atau akses ke pasar internasional guna memberikan keyakinan kepada pasar bahwa hasil hutan yang berasal dari masyarakat dapat dipertanggung jawabkan legalitasnya.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka pembangunan hutan berbasis masyarakat dapat memenuhi kriteria kelestarian produksi, kelestarian lingkungan dan sekaligus akan memberikan kontribusi terhadap kelestarian sosial (kesejahteraan masyarakat).
Adisatrya Suryo Sulisto
Anggota Komisi VI DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan
(kur)