Menyiasati harga pangan
A
A
A
Pernyataan pemerintah yang mengklaim stok sejumlah kebutuhan pokok menghadapi Ramadan terkendali, ternyata meleset dari perkiraan.
Pasokan sejumlah pangan untuk kebutuhan sehari-hari selain terbatas, juga dibarengi harga yang melambung tinggi. Ironisnya, para pejabat yang berwenang di bidang pangan cenderung membela diri dengan berbagai alasan termasuk “mengambinghitamkan” cuaca ekstrem, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan marah melihat kondisi harga pangan yang carut-marut, terutama harga daging sapi yang terus bertengger di atas Rp100.000 per kilogram.
Selama Ramadan yang sudah memasuki hari ketujuh, setidaknya terdapat lima bahan pangan yang menyita perhatian masyarakat karena harganya melambung tinggi yang disertai kelangkaan barang di pasar, mulai daging sapi, daging ayam, telur, bawang merah, hingga cabai rawit merah.
Menyikapi kenaikan harga pangan tersebut, pemerintah menyatakan segera membuat sistem baru untuk menstabilkan harga. Apakah sistem baru yang dimaksud itu adalah membuka keran impor selebar-lebarnya? Dalam waktu dekat, pemerintah segera mengimpor tiga komoditas panganyang meliputi bawang merah, cabai rawit merah, dan daging sapi yang sudah dipercayakan kepada Bulog.
Sayangnya, amanah yang dibebankan kepada Bulog untuk menstabilkan harga daging tidak bisa segera direalisasikan karena tersangkut persoalan birokrasi yang berkaitan dengan perizinan. Padahal, jatah impor daging sapi sebesar 3.000 ton diperuntukkan untuk meredam harga pascakenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan memasuki bulan puasa.
Soal jumlah jatah impor daging sapi tersebut oleh Komite Daging Sapi (KDS) dinilai tidak mampu meredam kenaikan harga daging sapi. Kalau total impor cuma sebanyak 3.000 ton, menurut Sekjen KDS Jakarta Afan Anugroho tidak akan mampu menstabilkan harga. “Ibaratnya hanya menggarami lautan,” tegas Afan. Berdasarkan hitung-hitungan versi KDS, kebutuhan daging beku di Jakarta dan sekitarnya sebanyak 300 ton per hari, itu belum termasuk kebutuhan sapi potong yang mencapai 2.000 ekor per hari.
Celakanya, jumlah impor daging sapi oleh Bulog yang kurang menurut proyeksi KDS, permasalahannya semakin lengkap ketika surat izin impor belum dikeluarkan. Padahal, keputusan untuk menugaskan Bulog sebagai importir daging sapi sudah diketuk sejak 13 Mei lalu. Izin yang dinanti-nanti Bulog akhirnya muncul juga pada 26 Juni, tetapi izin tersebut tak ada artinya karena tidak dilengkapi izin memasukkan daging sapi melalui bandar udara.
Lalu, bagaimana mengatasi harga cabai rawit merah yang melambung tinggi sejak memasuki Ramadan? Di depan anggota Komisi IV DPR pekan lalu, Menteri Pertanian Suswono memaparkan bahwa pemerintah akan mengimpor cabai sebanyak 10.000 ton sepanjang semester dua pada tahun ini. Namun, rencana pemerintah mengimpor cabai itu mendapat respons negatif dari Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) yang menilai keputusan pemerintah tersebut keterlaluan.
Di sisi lain, Ketua Umum AACI Dadi Sudiana mengakui bahwa melonjaknya harga cabai disebabkan pasokan yang terbatas. Pasalnya, sejak awal Juni lalu, suplai cabai dari sentra-sentra produksi seperti Banyuwangi, Jember, Lumajang, dan Kediri anjlok hingga 50%, yang disebabkan oleh cuaca ekstrem. Akibatnya suplai ke pasar selain terganggu, juga terbatas dan harga pun terdongkrak.
Cuaca ekstrem tersebut memangkas produksi cabai petani lokal. Biasanya setiap hektare menghasilkan 10 ton hingga 20 ton cabai, kini hanya 3 ton hingga 5 ton. Namun mengatasi kelangkaan cabai dengan impor adalah bukan langkah yang bijak, yang harus dilakukan pemerintah bagaimana memfasilitasi petani agar bisa menghadapi cuaca ekstrem sehingga tak mengganggu produksi.
Kita berharap, setelah kemarahan Presiden SBY terhadap para pembantunya yang dinilai tidak becus mengurus komoditas pangan terutama daging sapi, tidak berhenti di situ. Semoga dalam bulan puasa ini, masyarakat tidak bingung lagi menyaksikan harga komoditas pangan yang saling berlomba naik sehingga kesulitan menghadirkan bahan pangan itu di rumah.
Pasokan sejumlah pangan untuk kebutuhan sehari-hari selain terbatas, juga dibarengi harga yang melambung tinggi. Ironisnya, para pejabat yang berwenang di bidang pangan cenderung membela diri dengan berbagai alasan termasuk “mengambinghitamkan” cuaca ekstrem, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan marah melihat kondisi harga pangan yang carut-marut, terutama harga daging sapi yang terus bertengger di atas Rp100.000 per kilogram.
Selama Ramadan yang sudah memasuki hari ketujuh, setidaknya terdapat lima bahan pangan yang menyita perhatian masyarakat karena harganya melambung tinggi yang disertai kelangkaan barang di pasar, mulai daging sapi, daging ayam, telur, bawang merah, hingga cabai rawit merah.
Menyikapi kenaikan harga pangan tersebut, pemerintah menyatakan segera membuat sistem baru untuk menstabilkan harga. Apakah sistem baru yang dimaksud itu adalah membuka keran impor selebar-lebarnya? Dalam waktu dekat, pemerintah segera mengimpor tiga komoditas panganyang meliputi bawang merah, cabai rawit merah, dan daging sapi yang sudah dipercayakan kepada Bulog.
Sayangnya, amanah yang dibebankan kepada Bulog untuk menstabilkan harga daging tidak bisa segera direalisasikan karena tersangkut persoalan birokrasi yang berkaitan dengan perizinan. Padahal, jatah impor daging sapi sebesar 3.000 ton diperuntukkan untuk meredam harga pascakenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan memasuki bulan puasa.
Soal jumlah jatah impor daging sapi tersebut oleh Komite Daging Sapi (KDS) dinilai tidak mampu meredam kenaikan harga daging sapi. Kalau total impor cuma sebanyak 3.000 ton, menurut Sekjen KDS Jakarta Afan Anugroho tidak akan mampu menstabilkan harga. “Ibaratnya hanya menggarami lautan,” tegas Afan. Berdasarkan hitung-hitungan versi KDS, kebutuhan daging beku di Jakarta dan sekitarnya sebanyak 300 ton per hari, itu belum termasuk kebutuhan sapi potong yang mencapai 2.000 ekor per hari.
Celakanya, jumlah impor daging sapi oleh Bulog yang kurang menurut proyeksi KDS, permasalahannya semakin lengkap ketika surat izin impor belum dikeluarkan. Padahal, keputusan untuk menugaskan Bulog sebagai importir daging sapi sudah diketuk sejak 13 Mei lalu. Izin yang dinanti-nanti Bulog akhirnya muncul juga pada 26 Juni, tetapi izin tersebut tak ada artinya karena tidak dilengkapi izin memasukkan daging sapi melalui bandar udara.
Lalu, bagaimana mengatasi harga cabai rawit merah yang melambung tinggi sejak memasuki Ramadan? Di depan anggota Komisi IV DPR pekan lalu, Menteri Pertanian Suswono memaparkan bahwa pemerintah akan mengimpor cabai sebanyak 10.000 ton sepanjang semester dua pada tahun ini. Namun, rencana pemerintah mengimpor cabai itu mendapat respons negatif dari Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) yang menilai keputusan pemerintah tersebut keterlaluan.
Di sisi lain, Ketua Umum AACI Dadi Sudiana mengakui bahwa melonjaknya harga cabai disebabkan pasokan yang terbatas. Pasalnya, sejak awal Juni lalu, suplai cabai dari sentra-sentra produksi seperti Banyuwangi, Jember, Lumajang, dan Kediri anjlok hingga 50%, yang disebabkan oleh cuaca ekstrem. Akibatnya suplai ke pasar selain terganggu, juga terbatas dan harga pun terdongkrak.
Cuaca ekstrem tersebut memangkas produksi cabai petani lokal. Biasanya setiap hektare menghasilkan 10 ton hingga 20 ton cabai, kini hanya 3 ton hingga 5 ton. Namun mengatasi kelangkaan cabai dengan impor adalah bukan langkah yang bijak, yang harus dilakukan pemerintah bagaimana memfasilitasi petani agar bisa menghadapi cuaca ekstrem sehingga tak mengganggu produksi.
Kita berharap, setelah kemarahan Presiden SBY terhadap para pembantunya yang dinilai tidak becus mengurus komoditas pangan terutama daging sapi, tidak berhenti di situ. Semoga dalam bulan puasa ini, masyarakat tidak bingung lagi menyaksikan harga komoditas pangan yang saling berlomba naik sehingga kesulitan menghadirkan bahan pangan itu di rumah.
(nfl)