Kejahatan sosial pemerintah
A
A
A
Setelah melalui fase awal dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk rakyat miskin kini memasuki fase selanjutnya. Banyak kekeliruan telah terjadi dan banyak juga evaluasi dilakukan.
Dari sistem Bantuan Langsung Tunai pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga menuai banyak masalah. Tahun ini pascakeputusan pemerintah Susilo Bambang Yudoyono menaikkan harga BBM pada 13 Juni 2013, pemerintah menargetkan program kompensasi kenaikan harga BMM dengan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan beras miskin.
Yang menarik, hampir semua kekeliruan pemberian kompensasi selama ini terungkap bukan oleh penyelenggara dana kompensasi tersebut, melainkan justru terungkap lewat partisipasi aktif masyarakat, baik melalui laporan langsung, protes, ataupun lewat kasus-kasus yang diungkap oleh media massa. Telah terjadi sebuah situasi yang disebut ”cases produce the stimulus actio”, dan dalam situasi ini kita kembali melihat peran besar media sebagai ”social control” yang bahkan melebihi apa yang disebut ahli komunikasi sebagai ”social sphere”.
Evaluasi yang dilakukan penyelenggara dana kompensasi BBM, baik pada tingkat pusat maupun pada level penyelenggara lapangan umumnya lebih terfokus pada teknis penyelenggaraan, bukan pada hakikat penyelenggaraan. Padahal jika kita sedikit mengungkap fenomena yang terjadi pada tataran ”realitas di balik realitas”, banyak hal yang dapat dipelajari. Kriteria miskin sampai sekarang masih menjadi problema tersendiri yang harus dikaji pada tingkat di lapangan.
Meski definisi tentang miskin sudah dirumuskan, perlu kaji ulang mendalam pada tataran aplikatif yang menyangkut dinamika kehidupan rakyat di level bawah. Di samping itu, kita juga perlu mencermati fenomena sosial, di mana banyak sekali rakyat yang rela dianggap miskin atau memasukkan dirinya ke dalam kriteria miskin untuk mendapatkan dana yang sudah disiapkan.
Beberapa dari mereka bahkan harus berkorban untuk mendapatkan itu, sementara banyak di antaranya yang tidak mendapat jatah mengajukan protes, dari hanya bicara sampai pada tingkat anarkistis berupa penganiayaan maupun pembakaran, baik pada tempat-tempat pribadi berupa rumah penyelenggara di lapangan ataupun pada fasilitas umum berupa kantor kepala desa. Sementara di tingkat pusat konflik lebih terjadi pada tataran ide.
Saat ini terjadi situasi yang dinamakan ”organic grassroot conflict”, di mana pelaku dan korban sama-sama berasal dari satu kalangan dan sebagaimana biasa yang repot selain dari kalangan itu sendiri tentu saja aparat kepolisian. Organic grassroot conflict umumnya terjadi ketika sebuah kebijakan diturunkan tanpa memperhatikan realitas sosial di lapangan, termasuk di dalamnya implikasi yang timbul akibat reaksi atas kebijakan. Ini juga muncul akibat sebuah kebijakan yang bersifat trial and error.
Pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah pembuat kebijakan itu sendiri. Pemerintah dalam kasus ini telah menciptakan organic grassroot conflict yang termasuk kategori ”kejahatan” sosial. Adapun anggapan bahwa itu hanya merupakan kisi-kisi sebuah kebijakan, jelas merupakan sebuah pelecehan terhadap, tidak hanya status sosial, tetapi juga nyawa manusia.
Pemerintah, yang notabene sebagai pembuat kebijakan, mungkin agak tergesa merumuskan sebuah bentuk kompensasi yang seakan dibuat untuk menghibur rasa resah masyarakat atas kenaikan harga BBM. Padahal hiburan itu bisa saja dikemas dengan cerdas dalam bentuk komunikasi politik yang jujur seperti yang selama ini sudah coba dilakukan presiden pada setiap kesempatan pada masa-masa awal gejolak kenaikan harga BBM.
Apa pun yang terjadi, kebijakan sudah diturunkan dan evaluasi teknis sudah dijalankan. Namun, yang harus dijaga adalah bagaimana mengeliminasi ekses negatif dari kebijakan yang diturunkan. Termasuk di dalamnya kemungkinan terjadi ”social jealousy” yang juga mempunyai potensi organic grassroot conflict yang lagi-lagi akan mengambil korban dari kalangan bawah. Disadari betapa rumitnya merumuskan sebuah kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak, tetapi yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kebijakan itu tidak harus mengorbankan sebagian rakyat untuk kebaikan sebagian lainnya.
Mungkin perlu dikaji ulang, tidak hanya pada tataran teknis di lapangan, tetapi juga pada tataran ide, mengenai kebijakan pembagian dana kompensasi ini dalam bentuk lain yang lebih bersifat menyeluruh dan menyangkut langsung hajat hidup rakyat miskin agar tidak muncul potensi organic grassroot conflict dalam bentuk lain. Ada banyak cara untuk menghibur rakyat yang memang sedang susah selain sekadar membagi-bagi sejumlah uang yang menjadi hak rakyat, yang harus diakui, memang sangat dibutuhkan.
Selain perlu juga memikirkan rumusan kebijakan ini dalam jangka panjang, bukan hanya pada tataran teknis pelaksanaan yang akan sangat kompleks, melainkan juga dari berbagai sisi seperti efektivitas dan akibat psikologis sosial yang mungkin dapat ditimbulkan. Prestasi pemberantasan korupsi, penciptaan lapangan kerja, rekonstruksi birokratis yang menyangkut langsung kebutuhan rakyat,
termasuk di dalamnya sistem reward and punishment terhadap aparat birokratis di lapangan. Selain itu penumbuhan rasa aman rakyat terhadap berbagai bentuk kriminalitas di jalan bisa menjadi bentuk hiburan yang dapat diberikan pemerintah. Semua itu harus dikemas dalam bentuk sebuah komunikasi politik yang jujur, cerdas, dan bertanggung jawab.
UMAIMAH WAHID
Wakil Dekan FIKOM Universitas Budi Luhur
Dari sistem Bantuan Langsung Tunai pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga menuai banyak masalah. Tahun ini pascakeputusan pemerintah Susilo Bambang Yudoyono menaikkan harga BBM pada 13 Juni 2013, pemerintah menargetkan program kompensasi kenaikan harga BMM dengan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan beras miskin.
Yang menarik, hampir semua kekeliruan pemberian kompensasi selama ini terungkap bukan oleh penyelenggara dana kompensasi tersebut, melainkan justru terungkap lewat partisipasi aktif masyarakat, baik melalui laporan langsung, protes, ataupun lewat kasus-kasus yang diungkap oleh media massa. Telah terjadi sebuah situasi yang disebut ”cases produce the stimulus actio”, dan dalam situasi ini kita kembali melihat peran besar media sebagai ”social control” yang bahkan melebihi apa yang disebut ahli komunikasi sebagai ”social sphere”.
Evaluasi yang dilakukan penyelenggara dana kompensasi BBM, baik pada tingkat pusat maupun pada level penyelenggara lapangan umumnya lebih terfokus pada teknis penyelenggaraan, bukan pada hakikat penyelenggaraan. Padahal jika kita sedikit mengungkap fenomena yang terjadi pada tataran ”realitas di balik realitas”, banyak hal yang dapat dipelajari. Kriteria miskin sampai sekarang masih menjadi problema tersendiri yang harus dikaji pada tingkat di lapangan.
Meski definisi tentang miskin sudah dirumuskan, perlu kaji ulang mendalam pada tataran aplikatif yang menyangkut dinamika kehidupan rakyat di level bawah. Di samping itu, kita juga perlu mencermati fenomena sosial, di mana banyak sekali rakyat yang rela dianggap miskin atau memasukkan dirinya ke dalam kriteria miskin untuk mendapatkan dana yang sudah disiapkan.
Beberapa dari mereka bahkan harus berkorban untuk mendapatkan itu, sementara banyak di antaranya yang tidak mendapat jatah mengajukan protes, dari hanya bicara sampai pada tingkat anarkistis berupa penganiayaan maupun pembakaran, baik pada tempat-tempat pribadi berupa rumah penyelenggara di lapangan ataupun pada fasilitas umum berupa kantor kepala desa. Sementara di tingkat pusat konflik lebih terjadi pada tataran ide.
Saat ini terjadi situasi yang dinamakan ”organic grassroot conflict”, di mana pelaku dan korban sama-sama berasal dari satu kalangan dan sebagaimana biasa yang repot selain dari kalangan itu sendiri tentu saja aparat kepolisian. Organic grassroot conflict umumnya terjadi ketika sebuah kebijakan diturunkan tanpa memperhatikan realitas sosial di lapangan, termasuk di dalamnya implikasi yang timbul akibat reaksi atas kebijakan. Ini juga muncul akibat sebuah kebijakan yang bersifat trial and error.
Pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah pembuat kebijakan itu sendiri. Pemerintah dalam kasus ini telah menciptakan organic grassroot conflict yang termasuk kategori ”kejahatan” sosial. Adapun anggapan bahwa itu hanya merupakan kisi-kisi sebuah kebijakan, jelas merupakan sebuah pelecehan terhadap, tidak hanya status sosial, tetapi juga nyawa manusia.
Pemerintah, yang notabene sebagai pembuat kebijakan, mungkin agak tergesa merumuskan sebuah bentuk kompensasi yang seakan dibuat untuk menghibur rasa resah masyarakat atas kenaikan harga BBM. Padahal hiburan itu bisa saja dikemas dengan cerdas dalam bentuk komunikasi politik yang jujur seperti yang selama ini sudah coba dilakukan presiden pada setiap kesempatan pada masa-masa awal gejolak kenaikan harga BBM.
Apa pun yang terjadi, kebijakan sudah diturunkan dan evaluasi teknis sudah dijalankan. Namun, yang harus dijaga adalah bagaimana mengeliminasi ekses negatif dari kebijakan yang diturunkan. Termasuk di dalamnya kemungkinan terjadi ”social jealousy” yang juga mempunyai potensi organic grassroot conflict yang lagi-lagi akan mengambil korban dari kalangan bawah. Disadari betapa rumitnya merumuskan sebuah kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak, tetapi yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kebijakan itu tidak harus mengorbankan sebagian rakyat untuk kebaikan sebagian lainnya.
Mungkin perlu dikaji ulang, tidak hanya pada tataran teknis di lapangan, tetapi juga pada tataran ide, mengenai kebijakan pembagian dana kompensasi ini dalam bentuk lain yang lebih bersifat menyeluruh dan menyangkut langsung hajat hidup rakyat miskin agar tidak muncul potensi organic grassroot conflict dalam bentuk lain. Ada banyak cara untuk menghibur rakyat yang memang sedang susah selain sekadar membagi-bagi sejumlah uang yang menjadi hak rakyat, yang harus diakui, memang sangat dibutuhkan.
Selain perlu juga memikirkan rumusan kebijakan ini dalam jangka panjang, bukan hanya pada tataran teknis pelaksanaan yang akan sangat kompleks, melainkan juga dari berbagai sisi seperti efektivitas dan akibat psikologis sosial yang mungkin dapat ditimbulkan. Prestasi pemberantasan korupsi, penciptaan lapangan kerja, rekonstruksi birokratis yang menyangkut langsung kebutuhan rakyat,
termasuk di dalamnya sistem reward and punishment terhadap aparat birokratis di lapangan. Selain itu penumbuhan rasa aman rakyat terhadap berbagai bentuk kriminalitas di jalan bisa menjadi bentuk hiburan yang dapat diberikan pemerintah. Semua itu harus dikemas dalam bentuk sebuah komunikasi politik yang jujur, cerdas, dan bertanggung jawab.
UMAIMAH WAHID
Wakil Dekan FIKOM Universitas Budi Luhur
(nfl)