BPN harus punya terobosan soal tanah & HGU
A
A
A
Sindonews.com - Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus melakukan terobosan terhadap persoalan tanah dan Hak Guna Usaha (HGU) terlantar. Pasalnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010, sebagai dasar penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, tidak berjalan maksimal.
Juru bicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Galih Andreanto mengatakan, terobosan itu perlu dilakukan BPN. Sebab, eskalasi konflik pertanahan makin beragam. Begitu pula dengan jumlah dan jenis konflik yang tiap tahunnya mengalami peningkatan.
Menurutnya, apabila tidak dilakukan, maka dikhawatirkan jenis persoalan pertanahan makin banyak. “Bila persoalan itu terus meningkat, maka PR (Pekerjaan Rumah) BPN makin menumpuk,” ujarnya dalam keterangan resminya di Jakarta, (9/7/2013).
Sebagai contoh, kata dia, untuk tahun 2012 saja, 45 persen konflik pertanahan di bidang perkebunan. Konflik sektor ini menjadi besar disebabkan ketidaktegasan BPN dalam menerapkan kebijakan. Seperti penetapan status sebuah tanah atau HGU. Apakah masuk dalam kategori terlantar atau tidak.
Dalam kasus seperti ini maka korbannya adalah petani yang kerap dihadapkan dengan pemilik HGU ataupun sebaliknya. Penanganan konflik pertanahan seperti ini, menurutnya, harus mengedepankan kepentingan masyarakat. Karena itulah dibutuhkan sejumlah terobosan dari BPN.
“Seperti mengumpulkan para pemilik HGU. Mendata ulang serta menghitung ulang apakah HGU tersebut masuk dalam kategori terlantar apa tidak,” tuturnya.
Apabila terlantar, lanjut dia, maka segera didistribusikan ke masyarakat. Sehingga datanya jelas. Tujuannya adalah upaya untuk melindungi masyarakat atau petani yang sudah lebih dahulu menduduki sebuah tanah.
Lebih lanjut dia menuturkan, BPN harus berani mengambil terobosan-terobosan baru seperti ini. Pasalnya, pelaksanaan PP No.11/2010 mangkrak. Hingga saat ini, sambung dia, restribusi tanah terlantar dan Hak Guna Usaha (HGU) terlantar yang dimiliki perkebunan besar belum diredistribusikan kepada rakyat.
Awalnya, hadirnya PP ini menjadi pembuka jalan bagi redistribusi tanah-tanah yang banyak diterlantarkan oleh perusahaan besar. Operasionalisasi PP ini, katanya, menguap di bawah kepemimpinan Hendarman Supandji.
"Banyak tanah secara fisik terlantar tetapi tidak didata sebagai tanah terlantar. Padahal, tanah-tanah tersebut sudah ditinggalkan oleh pengusaha dan juga sudah digarap oleh rakyat," katanya.
Dia menambahkan, dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, perusahaan dapat memperbaharui hingga 95 tahun. Pengajuan maksimal 35 tahun. Lalu, Perpanjangan 25 tahun. Sedangkan pembaharuan yakni 35 tahun.
HGU, ucapnya, disesuaikan dengan lahan yang dimanfaatkan perusahaan. Sisanya, lahan yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan, disertifikat dan diberikan ke masyarakat untuk meningkatkan kesejahtraan petani.
"Apabila tidak berani, maka BPN tak ubahnya seperti melanggengkan kebijakan orde baru. Tidak mau melakukan perubahan-perubahan yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Apalagi, produk HGU dikeluarkan di masa orde baru,“ tegasnya.
Mandeknya proses penetapan tanah terlantar ini, menurut dia, menunjukan tidak adanya komitmen politik BPN dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Karena pada dasarnya, PP tanah terlantar ini menjadi jalan untuk menyaring mana pengusaha spekulan tanah dan mana pengusaha yang bersungguh-sungguh memanfaatkan tanah. Karena itu dia mempertanyakan komitmen pelaksanaan reforma agraria BPN.
Juru bicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Galih Andreanto mengatakan, terobosan itu perlu dilakukan BPN. Sebab, eskalasi konflik pertanahan makin beragam. Begitu pula dengan jumlah dan jenis konflik yang tiap tahunnya mengalami peningkatan.
Menurutnya, apabila tidak dilakukan, maka dikhawatirkan jenis persoalan pertanahan makin banyak. “Bila persoalan itu terus meningkat, maka PR (Pekerjaan Rumah) BPN makin menumpuk,” ujarnya dalam keterangan resminya di Jakarta, (9/7/2013).
Sebagai contoh, kata dia, untuk tahun 2012 saja, 45 persen konflik pertanahan di bidang perkebunan. Konflik sektor ini menjadi besar disebabkan ketidaktegasan BPN dalam menerapkan kebijakan. Seperti penetapan status sebuah tanah atau HGU. Apakah masuk dalam kategori terlantar atau tidak.
Dalam kasus seperti ini maka korbannya adalah petani yang kerap dihadapkan dengan pemilik HGU ataupun sebaliknya. Penanganan konflik pertanahan seperti ini, menurutnya, harus mengedepankan kepentingan masyarakat. Karena itulah dibutuhkan sejumlah terobosan dari BPN.
“Seperti mengumpulkan para pemilik HGU. Mendata ulang serta menghitung ulang apakah HGU tersebut masuk dalam kategori terlantar apa tidak,” tuturnya.
Apabila terlantar, lanjut dia, maka segera didistribusikan ke masyarakat. Sehingga datanya jelas. Tujuannya adalah upaya untuk melindungi masyarakat atau petani yang sudah lebih dahulu menduduki sebuah tanah.
Lebih lanjut dia menuturkan, BPN harus berani mengambil terobosan-terobosan baru seperti ini. Pasalnya, pelaksanaan PP No.11/2010 mangkrak. Hingga saat ini, sambung dia, restribusi tanah terlantar dan Hak Guna Usaha (HGU) terlantar yang dimiliki perkebunan besar belum diredistribusikan kepada rakyat.
Awalnya, hadirnya PP ini menjadi pembuka jalan bagi redistribusi tanah-tanah yang banyak diterlantarkan oleh perusahaan besar. Operasionalisasi PP ini, katanya, menguap di bawah kepemimpinan Hendarman Supandji.
"Banyak tanah secara fisik terlantar tetapi tidak didata sebagai tanah terlantar. Padahal, tanah-tanah tersebut sudah ditinggalkan oleh pengusaha dan juga sudah digarap oleh rakyat," katanya.
Dia menambahkan, dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, perusahaan dapat memperbaharui hingga 95 tahun. Pengajuan maksimal 35 tahun. Lalu, Perpanjangan 25 tahun. Sedangkan pembaharuan yakni 35 tahun.
HGU, ucapnya, disesuaikan dengan lahan yang dimanfaatkan perusahaan. Sisanya, lahan yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan, disertifikat dan diberikan ke masyarakat untuk meningkatkan kesejahtraan petani.
"Apabila tidak berani, maka BPN tak ubahnya seperti melanggengkan kebijakan orde baru. Tidak mau melakukan perubahan-perubahan yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Apalagi, produk HGU dikeluarkan di masa orde baru,“ tegasnya.
Mandeknya proses penetapan tanah terlantar ini, menurut dia, menunjukan tidak adanya komitmen politik BPN dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Karena pada dasarnya, PP tanah terlantar ini menjadi jalan untuk menyaring mana pengusaha spekulan tanah dan mana pengusaha yang bersungguh-sungguh memanfaatkan tanah. Karena itu dia mempertanyakan komitmen pelaksanaan reforma agraria BPN.
(maf)