Partai sebatas pelengkap

Rabu, 03 Juli 2013 - 10:02 WIB
Partai sebatas pelengkap
Partai sebatas pelengkap
A A A
Beberapa waktu lalu Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) merilis hasil temuan survei yang dilakukan pada Mei 2013.

Salah satu temuan yang cukup menarik adalah bahwa masyarakat saat ini berkecenderungan kuat untuk tidak lagi memilih partai namun memilih figur atau calon anggota legislatif (caleg). Survei yang melibatkan 1.799 responden dari seluruh Indonesia itu menunjukkan bahwa 58% dari total sampel menyatakan memilih caleg dan hanya 30% yang menyatakan akan memilih partai.

Hasil ini berbanding terbalik secara cukup signifikan dari hasil temuan yang dilansir oleh P2P-LIPI bekerja sama dengan CSIS-LP3ES-Puskapol, di tahun 2009, di mana menurut catatan Tim Survei P2P-LIPI pada waktu itu mayoritas responden cenderung masih memilih partai politik ketimbang caleg. Hasil temuan ini menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting dari perilaku memilih masyarakat dalam kurun waktu yang cukup singkat.

Situasi ini memperkuat berbagai temuan ataupun kajian sejenis dalam lima tahun terakhir yang semakin menunjukkan potensi “peran pelengkap” partai dalam konteks pemilu. Partai hanya sebatas institusi yang melegalkan eksistensi para caleg, namun mulai terkalahkan perannya oleh caleg pada hari pemilihan. Inilah fenomena ketika peran partai hanya sebatas kendaraan politik.

Rizal Ramli pada forum diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di tahun lalu menyebut dengan sinis peran partai hanya sebagai sekadar “taksi sewaan”. Secara objektif, peran partai jelas tetap penting dan dibutuhkan, setidaknya dalam proses pengawalan demokrasi dan legalitas caleg pada saat penyusunan DCS atau DCT. Namun melihat tren yang cukup berkembang saat ini, pandangan yang melihat bahwa pada akhirnya partai berperan sebagai pelengkap saja itu pun tidak terlalu salah.

Fenomena Memilih Figur

Fenomena ketika caleg menjadi jauh lebih penting ketimbang partai jelas tidak hadir begitu saja. Kuat dugaan bahwa hal ini disokong salah satunya oleh sistem pemilihan yang diberlakukan. Ketika sistem pemilihan terbuka belum tersosialisasikan apalagi dilakukan, dalam benak mayoritas masyarakat pemilu berarti memilih partai.

Apalagi telah cukup lama model memilih partai ini dilaksanakan pada pemilu-pemilu di Tanah Air. Namun manakala sistem pemilihan terbuka ini diberlakukan, masyarakat nampak telah melihat sebuah alternatif yang bisa juga untuk dilakukan. Sistem yang baru tak pelak telah memicu sebuah kebiasaan baru dalam memilih. Sepintas, hasil temuan P2P-LIPI yang pro terhadap figur ini cukup memberi angin segar bagi keberlangsungan sistem pemilihan terbuka, dengan berbagai variannya.

Meski demikian, fenomena migrasi dari orientasi memilih partai ke caleg yang hanya membutuhkan waktu kurang dari lima tahun tentu memerlukan alternatif jawaban yang lain. Bisa jadi tingkat kedekatan masyarakat yang demikian lemah kepada partai politik (party id) adalah akar persoalannya. Survei P2P-LIPI kali ini juga menunjukkan bahwa tingkat kedekatan masyarakat kepada partai demikian lemah.

Hanya 5% responden yang menyatakan sangat dekat dengan partai, sementara 60% responden menyatakan tidak dekat sama sekali dengan partai mana pun. Temuan Survei ini mempertegas kembali temuan yang sama dari Survei dan penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lain. Kedekatan yang demikian lemah tak pelak adalah dampak dari kepercayaan yang lemah.

Hal ini terutama karena kurangnya sosialisasi politik, komunikasi politik dan perilaku partai yang belum seutuhnya mencerminkan kepentingan masyarakat. Dalam situasi ketika partai belum cukup atraktif di mata masyarakat inilah, kecenderungan untuk mengabaikan atau menomorduakan partai saat memilih muncul ke permukaan. Selain itu, masyarakat pun saat ini telah semakin kritis untuk melihat kebermanfaatan pemilu dengan tidak lagi terpaku pada simbol-simbol kepartaian semata.

Masyarakat nampak sudah pandai dalam memilih dan memilah siapa yang dapat memberikan manfaat bagi dirinya, terlepas dari latar belakang partainya. Sayangnya, harus diakui pula tak jarang makna memberikan manfaat itu bagi sebagian masyarakat bersifat jangka pendek saja. Dalam kondisi ketika sebagian besar masyarakat semakin pandai berhitung, adalah wajar jika pendekatan yang bersifat personal, yang mampu menumbuhkan keyakinan dan hasil konkret semakin dibutuhkan. Di sini figur-figur atau caleg dengan mobilitas individual yang dimilikinya jelas lebih berpotensi untuk mengisi kebutuhan itu. Tidak mengherankan pula jika figur pada akhirnya lebih diperhitungkan oleh masyarakat ketimbang partai, saat hari H pemilihan.

Implikasi

Situasi sedemikian memiliki pelbagai implikasi. Di satu sisi, fenomena pro terhadap figur berimplikasi memotong jalur oligarki partai. Kedekatankedekatan elitis yang dibangun antara elite partai dengan segelintir caleg guna memuluskan jalan ke gedung parlemen tidak banyak berarti lagi, mengingat pada akhirnya aspirasi rakyatlah yang akan menentukan nasib caleg.

Dengan kata lain, peluang terpilih menjadi lebih merata kepada seluruh caleg, terlepas dari apakah seorang caleg ada di nomor urut jadi atau tidak. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, seorang caleg dituntut sejak dini untuk mampu membangun dan memelihara kedekatan dengan para pemilih. Era ongkang-ongkang kaki atau bergantung semata pada mesin partai telah berakhir. Seluruh caleg saat ini dituntut untuk bekerja lebih keras lagi untuk dapat dikenal dan dipilih dalam wilayah pemilihannya.

Dari situasi ini diharapkan mereka yang terpilih adalah mereka memang benar-benar memiliki pemahaman yang komprehensif atas aspirasi wilayah dan penduduk yang diwakilinya. Namun demikian, fenomena pro-figur ini juga berpotensi menimbulkan kecemburuan internal. Dengan kenyataan partai pada akhirnya lebih mengandalkan figur-figur populer, soal popularitas akan menjadi segala-galanya.

Kader debutan namun yang memiliki popularitas dapat meninggalkan kader-kader lawas. Bisa jadi jika tidak direspons dengan baik, akan muncul pemikiran untuk lebih berkiprah di masyarakat secara individual, ketimbang berkomitmen pada cita-cita bersama sebagai kader partai. Kaderisasi bisa jadi akan bersifat artifisial.

Tidak saja karena pada akhirnya siapa saja dapat menjadi caleg, namun di sisi lain kader dalam praktiknya tidak dituntut untuk berkomitmen pada cita-cita partai yang sesungguhnya. Bagi partaipartai yang komitmen ideologisnya demikian lemah, partai akan benar-benar menjadi sekadar alat individu, tepatnya mereka yang mengandalkan popularitas sempit. Di sini ancaman kebobrokan demokrasi dalam pandangan Plato—ketika negara dikelola bukan oleh mereka yang tercerahkan (the philosopher-kings) namun sekadar yang terpopuler— bukan tidak mungkin akan terjadi.

FIRMAN NOOR, Ph.D
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI,
Dosen pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5575 seconds (0.1#10.140)