Demokrasi saling sandera
A
A
A
Tahun 2013 yang dinobatkan sebagai “tahun politik” kini telah menampilkan fenomena pemanasan suhu politik, yang ditandai dengan demokrasi yang saling menyandera dan berkelindan dengan banalitas pengungkapan berbagai kasus korupsi di ruang publik politis.
Pascapengungkapan kasus kuota sapi impor yang menyeret keterlibatan aktoraktor kunci di PKS, segera timwas Century bergerak cepat untuk mengungkap kembali penanganan kasus bailout Bank Century yang juga menyeret keterlibatan sederet aktor penting di birokrasi BI maupun pemerintahan. Kasus Hambalang yang hingga kini juga belum tuntas diungkap oleh KPK, juga menjadi sisi gelap politik yang juga sudah dan akan menyeret (lagi) sederet elite politik di legislatif maupun eksekutif.
Pemberantasan korupsi kini seakan-akan telah bermetamorfosis menjadi arena transaksi kepentingan politik untuk saling menjegal dan mendekonstruksi citra masingmasing parpol. Publik pun kini kian memaklumi bahwa pengungkapan kasus korupsi di antara para elite parpol ibarat sebuah ”arisan”, pada saatnya semua akan mendapat giliran untuk diungkap kasus korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang mereka lakukan.
Banalitas korupsi sejatinya dipengaruhi libido yaitu hasrat manusia. Kuasa manusia yang didorong oleh kenikmatan semu telah menjerumuskannya ke dalam kubangan pengkhianatan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) serta tindakan sewenangwenang (willkeur). Korupsi pun dianggap wajar. Filosof Jerman Friedrich Nietzsche berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa.
Dorongan berkuasa itu telah membutakan segalanya. Sisi kelam yang berakar pada sejarah purba diri manusia inilah yang sepanjang segala abad telah menjerumuskan tubuh ke dalam korupsi. Hasrat hewani begitu kuat merasuki akal budi manusia, utamanya (oknum) pejabat pemerintah maupun (oknum) elite politik yang duduk di kursi empuk kekuasaan. Mereka memiliki kesempatan besar meraih kebahagiaan dengan kuasa yang digenggam.
Mereka dapat melakukan apa saja di atas kenikmatan kekuasaan. Mentalitas menerabas yang berujung pada perbuatan koruptif tersebut kini juga telah merambah dan berkelindan dengan kontestasi politik yang menimbulkan terjadinya banalitas politik. Onghokham (1983) pernah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam konteks Indonesia.
Menurutnya, fenomena korupsi telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia melalui venality of power, di mana kedudukan diperjualbelikan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan pajak tanpa kontrol hukum, sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/ kerajaan serta praktik pembiaran oleh masyarakat.
Kebiasaan itu juga terus dilembagakan oleh VOC yang juga melakukan hal ini pada daerahdaerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/ penguasa daerah. Melihat realitas historis semacam itu, sulit untuk disangkal bahwa korupsi telah merasuki budaya sosial di negeri ini. Gratifikasi juga memiliki akar sejarah yang nyaris serupa ketika para pejabat kerajaan maupun VOC sering menerima upeti dari para pedagang maupun penguasa rendahan yang membutuhkan konsesi politik.
Rumitnya pemberantasan korupsi di negeri ini disebabkan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) tersebut dilakukan dalam siklus kekuasaan yang bisa mengonstruksi dan menduplikasi jaringan dan koneksitas antarelite politik maupun birokrat yang bahkan kini merambah ke arena kontestasi demokrasi. Korupsi telah dijadikan sebagai arena black campaign bahkan jauh sebelum pemilu legislatif maupun eksekutif digelar.
Ihwal demokrasi yang saling menyandera bermuara pada hasrat berkuasa di antara para elite yang tak segan melakukan pembunuhan maupun kekerasan simbolis terhadap para lawan politik. Maka kontestasi politik yang sesungguhnya, juga harus dilihat pada fenomena yang terjadi jauh sebelum pelaksanaan pemilu sesuai tahapan UU Pemilu digelar secara resmi.
Demokrasi saling sandera yang terjadi saat ini sejatinya bermuara pada liberalisasi politik yang dilakukan di saat prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) belum terinternalisasi sepenuhnya dalam diri subjek-subjek politik maupun birokrat. Akibatnya, permainan politik yang dilakukan telah tercerabut dari akar makna politik sebagai cara pengambilan keputusan yang terbaik dalam polis di era Yunani klasik.
Peyorasi makna politik telah terjadi jauh sebelum Lenin berkata politik ialah ”siapa yang boleh melakukan apa kepada siapa” (Who could do what to whom). Harold Lasswell juga pernah mengatakan bahwa politik adalah ”siapa yang dapat apa, bila dan bagaimana” (who gets what, when and how). Tak heran, jika kemudian dalam politik yang sudah mengalami peyorasi makna tersebut, memenangi suatu konflik politik berarti merampas kuasa dari satu kumpulan atau entitas dan memberikannya kepada kumpulan lain.
Sulit disangkal bahwa konflik politik bisa berubah menjadi sebuah “zero-sum game”. Di arena tersebut, tiada yang dipelajari atau diselesaikan, melain menentukan “siapa yang menang dan siapa yang tewas”. Demokrasi saling menyandera yang terjadi saat ini berpotensi menjagal proses transisi demokrasi yang seharusnya diiringi dengan tumbuhnya kepemerintahan yang baik (good governance).
Dalam kondisi tersebut, pengungkapan berbagai kasus korupsi yang konon telah menjerat sebagian besar elite politik telah dijadikan sebagai ”kuburan” karier politik bagi yang telah tersandera berbagai kasus korupsi dalam kontestasi politik yang sarat dengan berbagai praktik kleptopolitik.
DR. W. RIAWAN TJANDRA, SH., M.HUM.
Pengajar pada Fakultas Hukum,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pascapengungkapan kasus kuota sapi impor yang menyeret keterlibatan aktoraktor kunci di PKS, segera timwas Century bergerak cepat untuk mengungkap kembali penanganan kasus bailout Bank Century yang juga menyeret keterlibatan sederet aktor penting di birokrasi BI maupun pemerintahan. Kasus Hambalang yang hingga kini juga belum tuntas diungkap oleh KPK, juga menjadi sisi gelap politik yang juga sudah dan akan menyeret (lagi) sederet elite politik di legislatif maupun eksekutif.
Pemberantasan korupsi kini seakan-akan telah bermetamorfosis menjadi arena transaksi kepentingan politik untuk saling menjegal dan mendekonstruksi citra masingmasing parpol. Publik pun kini kian memaklumi bahwa pengungkapan kasus korupsi di antara para elite parpol ibarat sebuah ”arisan”, pada saatnya semua akan mendapat giliran untuk diungkap kasus korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang mereka lakukan.
Banalitas korupsi sejatinya dipengaruhi libido yaitu hasrat manusia. Kuasa manusia yang didorong oleh kenikmatan semu telah menjerumuskannya ke dalam kubangan pengkhianatan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) serta tindakan sewenangwenang (willkeur). Korupsi pun dianggap wajar. Filosof Jerman Friedrich Nietzsche berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa.
Dorongan berkuasa itu telah membutakan segalanya. Sisi kelam yang berakar pada sejarah purba diri manusia inilah yang sepanjang segala abad telah menjerumuskan tubuh ke dalam korupsi. Hasrat hewani begitu kuat merasuki akal budi manusia, utamanya (oknum) pejabat pemerintah maupun (oknum) elite politik yang duduk di kursi empuk kekuasaan. Mereka memiliki kesempatan besar meraih kebahagiaan dengan kuasa yang digenggam.
Mereka dapat melakukan apa saja di atas kenikmatan kekuasaan. Mentalitas menerabas yang berujung pada perbuatan koruptif tersebut kini juga telah merambah dan berkelindan dengan kontestasi politik yang menimbulkan terjadinya banalitas politik. Onghokham (1983) pernah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam konteks Indonesia.
Menurutnya, fenomena korupsi telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia melalui venality of power, di mana kedudukan diperjualbelikan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan pajak tanpa kontrol hukum, sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/ kerajaan serta praktik pembiaran oleh masyarakat.
Kebiasaan itu juga terus dilembagakan oleh VOC yang juga melakukan hal ini pada daerahdaerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/ penguasa daerah. Melihat realitas historis semacam itu, sulit untuk disangkal bahwa korupsi telah merasuki budaya sosial di negeri ini. Gratifikasi juga memiliki akar sejarah yang nyaris serupa ketika para pejabat kerajaan maupun VOC sering menerima upeti dari para pedagang maupun penguasa rendahan yang membutuhkan konsesi politik.
Rumitnya pemberantasan korupsi di negeri ini disebabkan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) tersebut dilakukan dalam siklus kekuasaan yang bisa mengonstruksi dan menduplikasi jaringan dan koneksitas antarelite politik maupun birokrat yang bahkan kini merambah ke arena kontestasi demokrasi. Korupsi telah dijadikan sebagai arena black campaign bahkan jauh sebelum pemilu legislatif maupun eksekutif digelar.
Ihwal demokrasi yang saling menyandera bermuara pada hasrat berkuasa di antara para elite yang tak segan melakukan pembunuhan maupun kekerasan simbolis terhadap para lawan politik. Maka kontestasi politik yang sesungguhnya, juga harus dilihat pada fenomena yang terjadi jauh sebelum pelaksanaan pemilu sesuai tahapan UU Pemilu digelar secara resmi.
Demokrasi saling sandera yang terjadi saat ini sejatinya bermuara pada liberalisasi politik yang dilakukan di saat prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) belum terinternalisasi sepenuhnya dalam diri subjek-subjek politik maupun birokrat. Akibatnya, permainan politik yang dilakukan telah tercerabut dari akar makna politik sebagai cara pengambilan keputusan yang terbaik dalam polis di era Yunani klasik.
Peyorasi makna politik telah terjadi jauh sebelum Lenin berkata politik ialah ”siapa yang boleh melakukan apa kepada siapa” (Who could do what to whom). Harold Lasswell juga pernah mengatakan bahwa politik adalah ”siapa yang dapat apa, bila dan bagaimana” (who gets what, when and how). Tak heran, jika kemudian dalam politik yang sudah mengalami peyorasi makna tersebut, memenangi suatu konflik politik berarti merampas kuasa dari satu kumpulan atau entitas dan memberikannya kepada kumpulan lain.
Sulit disangkal bahwa konflik politik bisa berubah menjadi sebuah “zero-sum game”. Di arena tersebut, tiada yang dipelajari atau diselesaikan, melain menentukan “siapa yang menang dan siapa yang tewas”. Demokrasi saling menyandera yang terjadi saat ini berpotensi menjagal proses transisi demokrasi yang seharusnya diiringi dengan tumbuhnya kepemerintahan yang baik (good governance).
Dalam kondisi tersebut, pengungkapan berbagai kasus korupsi yang konon telah menjerat sebagian besar elite politik telah dijadikan sebagai ”kuburan” karier politik bagi yang telah tersandera berbagai kasus korupsi dalam kontestasi politik yang sarat dengan berbagai praktik kleptopolitik.
DR. W. RIAWAN TJANDRA, SH., M.HUM.
Pengajar pada Fakultas Hukum,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(mhd)