Pimpinan kolektif KPK untuk hindari penyalahgunaan wewenang
A
A
A
Sindonews.com - DPR RI menegaskan, wewenang yang diberikan undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bekerja secara kolektif adalah untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
"Jadi, pemohon mempermasalahkan Pasal 21 ayat (5), yaitu bahwa pimpinan KPK itu bekerja secara kolektif," ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Muhammad Nurdin, saat memberikan keterangan di ruang sidang Gedung Mahmakah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2013).
Kolektif dalam artian ini, ujar dia, bahwa suatu putusan dilakukan secara bersama-sama. Bunyi Pasal 21 ayat (5) UU KPK yakni pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. "Itu dianggap oleh pemohon melanggar hak asasi," tambahnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, frasa bekerja secara kolektif yang termuat dalam Pasal 21 ayat (5) UU a quo tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pihak DPR menganggap bahwa makna frasa bekerja secara kolektif sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal a quo keberadaannya sangat diperlukan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikitpun toleransi atas penyimpangan (zero toleranca).
"Prinrip-prinsip tersebut sangat diperlukan dalam proses penegakan hukum. Bahwa pemerintah dan DPR dalam membuat undang-undang itu dalam kaitannya memberikan kewenangan yang penuh kepada KPK untuk menuntas korupsi," tuturnya.
Oleh karena itu, ujar Nurdin, lama atau cepatnya KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi, khususnya pada kasus-kasus tertentu tidak serta merta menyebabkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan konstitusi.
Hal tersebut, Menurut DPR, terkait dengan pelaksanaan norma UU KPK oleh KPK. "Jadi, menurut kami DPR, tidak ada pertentangan antara Pasal 21 ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD. Artinya, kita membuat UU itu tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan yang kita buat dan ada batasannya juga," kata Nurdin.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang pengujian konstitusionalitas pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada hari ini, Rabu (26/6/2013).
"Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR,"ujar humas MK, Kencana Suluh Hikmah dalam siaran persnya, Rabu (26/6/2013).
Pasal a quo berbunyi bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. Para pemohon dalam perkara ini adalah M.Farhat Abbas dan Narliz Piliang. Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo.
Kerugian yang dimaksud yakni mengambil keputusan yang diisyaratkan secara kolektif oleh pimpinan KPK mengakibatkan proses yang cukup lama dan tidak memberikan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut para pemohon, materi muatan dalam ketentuan tersebut mengandung kelemahan yang khususnya terlihat pada penanganan kasus proyek Hambalang.
Menurut para pemohon, berdasarkan keterangan Wiwin Suwardi yang merupakan mantan Sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, dari lima pimpinan KPK terdapat seorang pimpinan yang belum sepakat untuk meningkatkan status kasus tersebut dalam tingkat penyidikan. Alhasil, permasalahan itu menjadi penghambat Ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi.
"Jadi, pemohon mempermasalahkan Pasal 21 ayat (5), yaitu bahwa pimpinan KPK itu bekerja secara kolektif," ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Muhammad Nurdin, saat memberikan keterangan di ruang sidang Gedung Mahmakah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2013).
Kolektif dalam artian ini, ujar dia, bahwa suatu putusan dilakukan secara bersama-sama. Bunyi Pasal 21 ayat (5) UU KPK yakni pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. "Itu dianggap oleh pemohon melanggar hak asasi," tambahnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, frasa bekerja secara kolektif yang termuat dalam Pasal 21 ayat (5) UU a quo tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pihak DPR menganggap bahwa makna frasa bekerja secara kolektif sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal a quo keberadaannya sangat diperlukan untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum tanpa sedikitpun toleransi atas penyimpangan (zero toleranca).
"Prinrip-prinsip tersebut sangat diperlukan dalam proses penegakan hukum. Bahwa pemerintah dan DPR dalam membuat undang-undang itu dalam kaitannya memberikan kewenangan yang penuh kepada KPK untuk menuntas korupsi," tuturnya.
Oleh karena itu, ujar Nurdin, lama atau cepatnya KPK dalam melaksanakan tugasnya memberantas korupsi, khususnya pada kasus-kasus tertentu tidak serta merta menyebabkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan konstitusi.
Hal tersebut, Menurut DPR, terkait dengan pelaksanaan norma UU KPK oleh KPK. "Jadi, menurut kami DPR, tidak ada pertentangan antara Pasal 21 ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD. Artinya, kita membuat UU itu tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan yang kita buat dan ada batasannya juga," kata Nurdin.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang pengujian konstitusionalitas pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada hari ini, Rabu (26/6/2013).
"Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR,"ujar humas MK, Kencana Suluh Hikmah dalam siaran persnya, Rabu (26/6/2013).
Pasal a quo berbunyi bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif. Para pemohon dalam perkara ini adalah M.Farhat Abbas dan Narliz Piliang. Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo.
Kerugian yang dimaksud yakni mengambil keputusan yang diisyaratkan secara kolektif oleh pimpinan KPK mengakibatkan proses yang cukup lama dan tidak memberikan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut para pemohon, materi muatan dalam ketentuan tersebut mengandung kelemahan yang khususnya terlihat pada penanganan kasus proyek Hambalang.
Menurut para pemohon, berdasarkan keterangan Wiwin Suwardi yang merupakan mantan Sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, dari lima pimpinan KPK terdapat seorang pimpinan yang belum sepakat untuk meningkatkan status kasus tersebut dalam tingkat penyidikan. Alhasil, permasalahan itu menjadi penghambat Ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi.
(maf)