Bola panas SBY
A
A
A
Dua bola panas kini di genggaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya adalah rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan tantangan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang bersikeras menolak rencana kenaikan harga BBM yang sudah disepakati partai yang tergabung dalam koalisi Sekretariat Gabungan (Setgab).
Bagaimana Presiden SBY akan mengambil keputusan terhadap kedua persoalan tersebut menarik perhatian, bukan sekadar karena munculnya dinamika politik yang muncul, melainkan juga sekaligus menguji sejauh mana keberanian dan ketegasan mantan menko polhukam tersebut. Sejauh ini, asumsi yang muncul Presiden akan mengambil kompromi atau bahkan “menarik” dari rencana kebijakan tersebut dan konflik yang muncul di internal koalisi.
Menaikkan harga BBM, walaupun sangat mendesak untuk setting kondisi saat ini, tentu bukan kebijakan populis dan menimbulkan perlawanan seperti ditunjukkan kalangan mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa hari belakangan. Begitu pun mengambil sikap tegas terhadap PKS, pasti akan menimbulkan perubahan keseimbangan koalisi vis a vispartai nonpemerintahan di parlemen.
Tetapi secara rasional, dua keputusan tersebut harus diambil. Ketidakjelasan rencana kenaikan harga BBM sejauh ini telah mengguncang stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah terhadap dolar melemah hingga menyentuh batas psikologi, investor asing banyak yang cabut dari bursa hingga indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok. Belum lagi persoalan yang ditimbulkan akibat semakin tingginya beban subsidi BBM dan pengaruhnya terhadap pembangunan secara menyeluruh.
Dalam konteks demikian, tampaknya Presiden harus yakin bahwa pilihan terhadap kenaikan harga BBM merupakan pilihan yang terbaik. Tentu kebijakan tersebut diimbangi dengan kompensasi. Bukan hanya itu, Presiden harus bisa memastikan bahwa program kompensasi yang akan diluncurkan––Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Raskin, serta program infrastruktur dasar––harus benar-benar tepat sasaran.
Ketegasan sikap juga harus ditunjukkan terhadap PKS. Sejauh ini publik baru disuguhi tontonan tarik-ulur antara Presiden dan elite PKS dengan ujung pangkal yang tidak jelas. Sindiran yang disampaikan Presiden terkait dengan alasan PKS menolak BBM karena mencintai rakyat, belum cukup memberi sinyal tentang sikap Presiden sesungguhnya terhadap PKS.
Ketidakjelasan kian tampak nyata terkait ketidakhadiran elite dan menteri PKS di rapat Setgab ataupun di rapat Istana, apakah karena tidak memenuhi undangan atau memang tidak diundang. Drama politik kian keruh dengan pernyataan atau klaim dari elite Partai Demokrat dan PKS terkait dengan posisi PKS saat ini, apakah sudah benar-benar keluar dari koalisi atau belum.
Dalam kacamata awam, ketidakjelasan yang muncul, lagi-lagi karena Presiden SBY tidak berani mengambil sikap tegas, dalam hal ini terhadap PKS. Mungkin Presiden memilih berhati-hati. Tetapi siapa pun paham, PKS ngotot menolak kenaikan BBM untuk mencuci imej negatif yang tengah menyelimuti partai tersebut, 57 suara PKS di parlemen juga akan menggoyahkan kekuatan koalisi.
Siapa pun paham partai-partai anggota koalisi juga sudah gerah dengan sikap PKS yang tidak pernah mau berbagi risiko, dan sebaliknya sering mengambil untung sendiri dalam isu- isu krusial. Dan, saat ini sudah sangat terlihat terang benderang PKS tidak akan sukarela menarik menterinya dari kabinet atau mundur dari koalisi. Sebaliknya, mengacu pada code of conduct yang tercantum dalam Kontrak Kinerja dan Pakta Integritas, PKS “menantang” Presiden SBY untuk mendepaknya.
Bagaimana Presiden SBY akan mengambil keputusan terhadap kedua persoalan tersebut menarik perhatian, bukan sekadar karena munculnya dinamika politik yang muncul, melainkan juga sekaligus menguji sejauh mana keberanian dan ketegasan mantan menko polhukam tersebut. Sejauh ini, asumsi yang muncul Presiden akan mengambil kompromi atau bahkan “menarik” dari rencana kebijakan tersebut dan konflik yang muncul di internal koalisi.
Menaikkan harga BBM, walaupun sangat mendesak untuk setting kondisi saat ini, tentu bukan kebijakan populis dan menimbulkan perlawanan seperti ditunjukkan kalangan mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa hari belakangan. Begitu pun mengambil sikap tegas terhadap PKS, pasti akan menimbulkan perubahan keseimbangan koalisi vis a vispartai nonpemerintahan di parlemen.
Tetapi secara rasional, dua keputusan tersebut harus diambil. Ketidakjelasan rencana kenaikan harga BBM sejauh ini telah mengguncang stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah terhadap dolar melemah hingga menyentuh batas psikologi, investor asing banyak yang cabut dari bursa hingga indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok. Belum lagi persoalan yang ditimbulkan akibat semakin tingginya beban subsidi BBM dan pengaruhnya terhadap pembangunan secara menyeluruh.
Dalam konteks demikian, tampaknya Presiden harus yakin bahwa pilihan terhadap kenaikan harga BBM merupakan pilihan yang terbaik. Tentu kebijakan tersebut diimbangi dengan kompensasi. Bukan hanya itu, Presiden harus bisa memastikan bahwa program kompensasi yang akan diluncurkan––Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Raskin, serta program infrastruktur dasar––harus benar-benar tepat sasaran.
Ketegasan sikap juga harus ditunjukkan terhadap PKS. Sejauh ini publik baru disuguhi tontonan tarik-ulur antara Presiden dan elite PKS dengan ujung pangkal yang tidak jelas. Sindiran yang disampaikan Presiden terkait dengan alasan PKS menolak BBM karena mencintai rakyat, belum cukup memberi sinyal tentang sikap Presiden sesungguhnya terhadap PKS.
Ketidakjelasan kian tampak nyata terkait ketidakhadiran elite dan menteri PKS di rapat Setgab ataupun di rapat Istana, apakah karena tidak memenuhi undangan atau memang tidak diundang. Drama politik kian keruh dengan pernyataan atau klaim dari elite Partai Demokrat dan PKS terkait dengan posisi PKS saat ini, apakah sudah benar-benar keluar dari koalisi atau belum.
Dalam kacamata awam, ketidakjelasan yang muncul, lagi-lagi karena Presiden SBY tidak berani mengambil sikap tegas, dalam hal ini terhadap PKS. Mungkin Presiden memilih berhati-hati. Tetapi siapa pun paham, PKS ngotot menolak kenaikan BBM untuk mencuci imej negatif yang tengah menyelimuti partai tersebut, 57 suara PKS di parlemen juga akan menggoyahkan kekuatan koalisi.
Siapa pun paham partai-partai anggota koalisi juga sudah gerah dengan sikap PKS yang tidak pernah mau berbagi risiko, dan sebaliknya sering mengambil untung sendiri dalam isu- isu krusial. Dan, saat ini sudah sangat terlihat terang benderang PKS tidak akan sukarela menarik menterinya dari kabinet atau mundur dari koalisi. Sebaliknya, mengacu pada code of conduct yang tercantum dalam Kontrak Kinerja dan Pakta Integritas, PKS “menantang” Presiden SBY untuk mendepaknya.
(hyk)