Nasib mobil murah di tangan Menperin
A
A
A
Regulasi mobil murah atau lebih dikenal dengan istilah low cost and green car (LCGC) memang sudah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tetapi masyarakat masih harus bersabar menunggu kepastian untuk mengendarainya di jalanan.
Pasalnya, peraturan teknis atas regulasi itu sedang didetailkan, terutama soal harga jual. Pemerintah berharap harga jual yang ditetapkan produsen betul-betul bisa terjangkau masyarakat karena sudah mendapat berbagai insentif dari pemerintah. Yang pasti dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (PP) No 41 Tahun 2013 yang tidak hanya berkaitan dengan mobil murah, tetapi juga menyangkut low carbon emission (LCE) seperti mobil listrik, hibrida, biodiesel,dan biofuel, ibaratnya para produsen automotif sudah mendapat lampu hijau untuk melakukan produksi, hanya saja belum bisa langsung dipasarkan.
Saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sedang menggodok payung hukum turunan dari PP No 41 Tahun 2013. Persoalan paling krusial dari aturan turunan itu, menurut Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat adalah mengenai patokan harga yang diklaim sebagai mobil murah. Pada soal penetapan patokan harga ini mulai terjadi tarik-menarik antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kemenperin.
Bicara masalah harga mobil, pihak Kemenkeu meminta harga dipatok dengan mempertimbangkan mobil LCGC sudah mendapatkan fasilitas insentif pajak dari pemerintah sehingga harganya harus terjangkau. Sementara itu, pihak Kemenperin kurang sepakat kalau harga dipatok, tetapi berharap tetap memberi kelonggaran produsen dalam batas wajar menentukan harga.
Hal ini terkait dengan pertimbangan dalam mengadopsi kemajuan teknologi dan keamanan. Proses penerbitan PP yang mengatur program LCGC dan LCE tersebut melalui perdebatan yang panjang sejak dicanangkan dua tahun lalu. PP yang dinanti-nantikan produsen mobil tersebut berlaku umum untuk semua merek.
Artinya produsen mobil dengan merek apa saja tidak dibatasi untuk berpartisipasi dalam program LCGC dan LCE sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah. Semangat dari PP tersebut adalah mendorong peningkatan investasi dan kemandirian industri automotif untuk mesin 1.000 cc hingga 1.200 cc. Karena itu, pemerintah tidak segan memberikan insentif khusus.
Kabarnya, sejak LCGC dan LCE dicanangkan, sudah lahir komitmen investasi dari lima produsen mobil senilai USD3 miliar dan 100 perusahaan komponen senilai USD3,5 miliar. Dengan melihat respons investor yang begitu besar, Menteri Keuangan Chatib Basri meminta masyarakat untuk melihat program LCGC dan LCE tidak hanya dari satu sisi saja, misalnya dampak kemacetan yang akan timbul karena harga mobil semakin murah.
Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi transportasi dan energi masa depan juga begitu besar. Chatib meyakini produksi mobil murah akan meningkatkan investasi dan penggunaannya tidak membebani bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi karena hemat energi. Kita percaya kebijakan program LCGC dan LCE bakal menjadi daya tarik tersendiri bagi produsen automotif sehingga bisa mendongkrak arus investasi. Jangankan produsen automotif asing, industri automotif di dalam negeri sendiri sudah berjualan mobil murah, tetapi karena terganjal regulasi terpaksa harus mengembalikan dana konsumen.
Pertanyaannya sekarang, sejauh mana pemerintah mengantisipasi infrastruktur jalan, terutama di kotakota besar di Indonesia? Kita belum pernah mendengar kebijakan pemerintah di bidang infrastruktur menyambut lahirnya mobil murah. Memang, kepemilikan mobil di Indonesia terhadap populasi penduduk masih rendah. Tahun lalu, rasio kepemilikan mobil 1:20, artinya dari 20 penduduk hanya 1 orang memiliki mobil. Bandingkan di Malaysia dan Thailand dengan rasio 1:5. Tapi jangan lupa, infrastruktur dari kedua negeri itu jauh lebih maju daripada Indonesia.
Pasalnya, peraturan teknis atas regulasi itu sedang didetailkan, terutama soal harga jual. Pemerintah berharap harga jual yang ditetapkan produsen betul-betul bisa terjangkau masyarakat karena sudah mendapat berbagai insentif dari pemerintah. Yang pasti dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (PP) No 41 Tahun 2013 yang tidak hanya berkaitan dengan mobil murah, tetapi juga menyangkut low carbon emission (LCE) seperti mobil listrik, hibrida, biodiesel,dan biofuel, ibaratnya para produsen automotif sudah mendapat lampu hijau untuk melakukan produksi, hanya saja belum bisa langsung dipasarkan.
Saat ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sedang menggodok payung hukum turunan dari PP No 41 Tahun 2013. Persoalan paling krusial dari aturan turunan itu, menurut Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat adalah mengenai patokan harga yang diklaim sebagai mobil murah. Pada soal penetapan patokan harga ini mulai terjadi tarik-menarik antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kemenperin.
Bicara masalah harga mobil, pihak Kemenkeu meminta harga dipatok dengan mempertimbangkan mobil LCGC sudah mendapatkan fasilitas insentif pajak dari pemerintah sehingga harganya harus terjangkau. Sementara itu, pihak Kemenperin kurang sepakat kalau harga dipatok, tetapi berharap tetap memberi kelonggaran produsen dalam batas wajar menentukan harga.
Hal ini terkait dengan pertimbangan dalam mengadopsi kemajuan teknologi dan keamanan. Proses penerbitan PP yang mengatur program LCGC dan LCE tersebut melalui perdebatan yang panjang sejak dicanangkan dua tahun lalu. PP yang dinanti-nantikan produsen mobil tersebut berlaku umum untuk semua merek.
Artinya produsen mobil dengan merek apa saja tidak dibatasi untuk berpartisipasi dalam program LCGC dan LCE sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah. Semangat dari PP tersebut adalah mendorong peningkatan investasi dan kemandirian industri automotif untuk mesin 1.000 cc hingga 1.200 cc. Karena itu, pemerintah tidak segan memberikan insentif khusus.
Kabarnya, sejak LCGC dan LCE dicanangkan, sudah lahir komitmen investasi dari lima produsen mobil senilai USD3 miliar dan 100 perusahaan komponen senilai USD3,5 miliar. Dengan melihat respons investor yang begitu besar, Menteri Keuangan Chatib Basri meminta masyarakat untuk melihat program LCGC dan LCE tidak hanya dari satu sisi saja, misalnya dampak kemacetan yang akan timbul karena harga mobil semakin murah.
Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi transportasi dan energi masa depan juga begitu besar. Chatib meyakini produksi mobil murah akan meningkatkan investasi dan penggunaannya tidak membebani bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi karena hemat energi. Kita percaya kebijakan program LCGC dan LCE bakal menjadi daya tarik tersendiri bagi produsen automotif sehingga bisa mendongkrak arus investasi. Jangankan produsen automotif asing, industri automotif di dalam negeri sendiri sudah berjualan mobil murah, tetapi karena terganjal regulasi terpaksa harus mengembalikan dana konsumen.
Pertanyaannya sekarang, sejauh mana pemerintah mengantisipasi infrastruktur jalan, terutama di kotakota besar di Indonesia? Kita belum pernah mendengar kebijakan pemerintah di bidang infrastruktur menyambut lahirnya mobil murah. Memang, kepemilikan mobil di Indonesia terhadap populasi penduduk masih rendah. Tahun lalu, rasio kepemilikan mobil 1:20, artinya dari 20 penduduk hanya 1 orang memiliki mobil. Bandingkan di Malaysia dan Thailand dengan rasio 1:5. Tapi jangan lupa, infrastruktur dari kedua negeri itu jauh lebih maju daripada Indonesia.
(mhd)