Hukum versi siapa?

Jum'at, 26 April 2013 - 06:07 WIB
Hukum versi siapa?
Hukum versi siapa?
A A A
Hukum di Indonesia kembali gaduh dalam proses eksekusi mantan Kabareskrim Komjen Pol (Purn) Susno Duadji. Kegaduhan yang membuat masyarakat bingung tentang hukum yang berlaku di negeri ini.

Kubu Susno dan Polri dengan kejaksaan berbeda dalam menerjemahkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Kubu Susno menganggap tidak perlu ada penahanan, sedangkan kubu kejaksaan menganggap harus ada penahanan sesuai putusan pengadilan yaitu 3,5 tahun dan denda Rp200 juta subsider enam bulan penjara.

Hebohnya lagi, Polri ikut meramaikan kegaduhan tersebut dengan memberikan perlindungan kepada Susno. Alasan Polri adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, ada warga negara yang meminta perlindungan. Intinya, Polri berdalih memberikan perlindungan kepada Susno sebagai warga negara, bukan karena sebagai mantan jenderal polisi bintang tiga, juga bukan karena mantan Kapolda Jawa Barat.

Pun demikian selanjutnya Polri meralat bahwa pihaknya bukan memberikan perlindungan, namun memfasilitasi antara kejaksaan dan Susno. Namun, bahasa yang diterima masyarakat bahwa perlindungan atau fasilitas tersebut lebih karena Susno merupakan mantan jenderal polisi dan mantan Kapolda Jawa Barat, bukan karena warga negara.

Tak banyak––atau bahkan tidak ada––masyarakat yang menikmati “fasilitas” perlindungan hukum sesuai UU No 2/2002. Masyarakat seolah dipertontonkan tentang kebingungan putusan eksekusi, juga kebingungan tentang perlindungan terhadap warga negara. Lebih bingung lagi ketika ada partai politik yang terlibat dalam gagalnya eksekusi Susno.

Apa peran parpol tersebut juga menjadi pertanyaan, apakah melindungi Susno atau memfasilitasi? Peran parpol tersebut seolah menambah kegaduhan hukum pada proses eksekusi tersebut. Lalu mana yang benar, masyarakat pun sulit mempercayai mana yang seharusnya digunakan untuk menyatakan mana yang benar.

Memang keterlibatan Polri dalam gagalnya eksekusi Susno oleh kejaksaan seolah menambah panjang konflik kepentingan antarinstitusi. Konflik antara Polri dan KPK yang terkenal dengan istilah Cicak dan Buaya, konflik polisi dengan TNI di beberapa daerah yang bahkan harus memakan korban jiwa, serta kali ini dengan kejaksaan.

Tentu kita berharap konflik antara kepolisian dan kejaksaan tersebut hanya dugaan, bukan sebuah kenyataan. Pertemuan dua institusi untuk menenangkan kegaduhan ini diharapkan bukan pada tataran elite saja, melainkan juga sampai pada tingkat bawahan. Kegaduhan antarinstitusi hukum sebaiknya dihindari. Jika sering terjadi kegaduhan, pelaku kriminal, terutama koruptor, akan memberikan tepuk tangan sambil terbahak.

Ketidakkompakkan institusi hukum negeri ini janganlah terjadi (lagi) karena yang diuntungkan adalah para pelaku-pelaku tindak kriminal di negeri ini. Masyarakat tidak mau melihat para pelaku kriminal bertepuk tangan dan terbahak, yang diinginkan masyarakat adalah semua institusi hukum di negeri ini berangkulan dalam memberantas pelaku kriminal. Hal yang penting adalah tentang kebenaran hukum.

Polri dan kejaksaan adalah organisasi atau institusi yang sangat tahu tentang hukum di negeri ini. Pengetahuan hukum mereka sangat lebih dibandingkan dengan masyarakat. Begitupun parpol yang secara organisasi lebih tahu hukum dibandingkan masyarakat awam. Jadi, akan lebih baik jika mereka menunjukkan hukum yang benar dan santun bukan justru menciptakan kegaduhan hukum versi siapa.

Pada kasus eksekusi Susno, masyarakat disuguhi berbagai macam aturan hukum versi banyak pihak. Versi hukum siapa yang benar, masyarakat pun dibuat bingung. Bagi masyarakat, hukum yang bisa menjunjung keadilan itulah yang benar karena itulah esensi utama dari hukum yang diciptakan di negeri ini.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0849 seconds (0.1#10.140)