Menuju komunitas ASEAN

Kamis, 25 April 2013 - 04:38 WIB
Menuju komunitas ASEAN
Menuju komunitas ASEAN
A A A
Tak lama lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terbentuk. Bagi Indonesia, MEA yang dijadwalkan berlaku akhir 2015 merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan tersendiri sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia.

Kunci utama merebut peluang di depan mata itu daya saing. Sepanjang daya saing produk dan jasa yang dihasilkan anak bangsa ini bisa berkompetisi terhadap produk dan jasa yang dihadirkan negara serumpun tersebut, kita tak perlu khawatir akan menjadi pasar belaka. Dalam MEA yang diarahkan untuk melahirkan pasar tunggal di kalangan negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia memiliki potensi sebagai pasar terbesar.

Hal itu tidak bisa dipungkiri. Populasi penduduknya terbesar, yang mencapai 40% dari populasi warga ASEAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini juga posisi neraca perdagangan Indonesia terhadap sebagian besar negara ASEAN tercatat defisit. Artinya, sebelum ada aturan kebebasan berdagang sesama negara ASEAN, Indonesia sudah mengalami defisit.

Bagaimana kalau perdagangan bebas dan secara terbuka terlaksana. Data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini membuat kita tercengang, betapa rawannya neraca perdagangan belakangan ini. Perdagangan Indonesia dengan Thailand mengalami defisit USD721 juta, disusul Singapura USD707,9 juta, Malaysia USD511,3 juta, Brunei Darussalam USD281,7 juta, dan Vietnam USD157,5 juta.

Bayangkan, Brunei saja yang merupakan sebuah negara kecil bisa membuat defisit neraca perdagangan Indonesia. Dari empat negara ASEANlainnya, neracaperdaganganIndonesia masih tercatat surplus. Perdagangan Indonesia dengan Filipina surplus USD244,5 juta, menyusul Myanmar USD238,6 juta, Kamboja USD233,9 juta, dan Laos USD17,9juta.

Angka-angka neraca perdagangan sesama negara ASEAN tersebut hendaknya jadi peringatan bagi pemerintah untuk betul-betul menyiapkan segala yang berkaitan dengan terbentuknya MEA. Kita sudah mendapatkan pelajaran berharga ketika perdagangan bebas ASEAN–China (ASEAN–China Free Trade Area/ACFTA) diberlakukan, Indonesia termasuk paling tidak siap bertarung meski belakangan bisa memanfaatkan pasar China yang begitu besar.

Bagaimana dengan daya saing (produk dan jasa) Indonesia saat ini? Ternyata, peringkat daya saing Indonesia masih di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura berdasarkan data dari Global Competitiveness Report 2011–2012. Peningkatan daya saing selama ini memang menjadi perhatian pemerintah bukan hanya terkait pembentukan MEA.

Mendongkrak daya saing harus dilakukan secara komprehensif karena terkait erat dengan sektor lainnya. Mulai dari suku bunga perbankan, biaya energi dan logistik, ketersediaan pasokan bahan baku, pengawasan impor, hingga maksimalisasi penggunaan produk dalam negeri. Celakanya, dari berbagai pendongkrak daya saing itu, semua penanganannya tidak optimal.

Lihat saja, suku bunga (kredit) perbankan masih tetap setia di level dua digit, biaya energi yang semakin mahal, dan urusan logistik masih tergolong tinggi di antara negara ASEAN. Pasokan bahan baku juga seringkali tidak stabil, impor berbagai produk sandang dan pangan menyerbu pasar domestik, serta penggunaan produk dalam negeri yang masih terus dikampanyekan agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kita berharap, sisa waktu 32 bulan sebelum MEA disahkan, persoalan yang menghambat peningkatan daya saing sudah bisa disingkirkan. Tentu saja, tugas ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah.

Karena itu, seluruh pemangku kepentingan terkait MEA harus memberi kontribusi demi kepentingan bersama sehingga pengalaman pahit ketika ACFTA diberlakukan tak terulang lagi.
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6815 seconds (0.1#10.140)