Menko rangkap Menkeu

Sabtu, 20 April 2013 - 08:52 WIB
Menko rangkap Menkeu
Menko rangkap Menkeu
A A A
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Menko Perekonomian Hatta Rajasa sebagai pelaksana tugas (Plt) Menteri Keuangan (Menkeu) yang kemarin resmi ditinggalkan Agus Martowardojo.

Penunjukan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 45/M Tahun 2013 yang ditandatangani Presiden SBY kemarin. Sinyal pergantian posisi kabinet yang paling strategis itu terbaca saat Agus dicalonkan SBY menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) yang ditinggalkan Darmin Nasution.

Sejak itu beredar sejumlah nama yang diyakini bakal menggantikan Agus sebagai Menkeu. Namanama yang beredar luas itu di antaranya Mendag Gita Wiryawan, Kepala BKPM Chatib Basri, Dirjen Pajak Fuad Rahmani, Darmin Nasution, Wamenkeu Mahendra Siregar, dan Anny Ratnawati. Kabar Menkeu akan dirangkap Hatta Rajasa muncul belakangan dan terbukti benar.

Rangkap jabatan yang dilakukan Hatta memang tidak menyalahi aturan. Apalagi usia kabinet ini tidak akan lama lagi. Mungkin Presiden mempertimbangkan efisiensi sehingga memilih opsi rangkap jabatan. Padahal sebenarnya ada dua Wamenkeu yang mestinya disiapkan menggantikan Menkeu jika berhalangan.

Tapi, itu juga tidak ada keharusan. Perangkapan jabatan Menko Perekonomian dan Menkeu oleh Hatta sepintas memang tidak menjadi soal. Yang penting kinerja kabinet dalam mengelola pemerintahan tidak terganggu. Tapi, benarkah demikian?

Ternyata tidak. Rangkap jabatan Menko dan Menkeu akan mengundang tafsir lain. Jelas akan banyak konflik kepentingan di dalam pengelolaan pemerintahan mengingat betapa pentingnya peran Menkeu sebagai bendahara negara. Tanpa bermaksud meragukan kapasitas dan integritas Hatta Rajasa di pemerintahan, Menkeu adalah posisi yang tidak bisa dan tidak boleh dirangkap-rangkap.

Kecuali situasinya sangat amat darurat. Pos menkeu juga portofolio kalangan profesional sehingga diharapkan meminimalisasi kepentingan-kepentingan lain yang dapat mengancam tata kelola APBN yang terbuka, transparan, dan bertanggung jawab.

Presiden seharusnya tetap memegang teguh fatsun politik itu dan tidak memaksakan perangkapan jabatan. Apa alasan Presiden mengambil keputusan itu? Masyarakat juga perlu mendapat penjelasan, baik secara langsung atau melalui akun Twitter resmi SBY.

Penentuan kabinet adalah hak prerogatif Presiden. Ini tidak ada yang menyangkal. Tapi, rakyat yang memilih Presiden SBY juga memiliki hak untuk mengetahui apa alasan jabatan menkeu itu harus dirangkap. Bukankah masih banyak profesional berdedikasi dan berintegritas tinggi yang pantas memegang jabatan Menkeu. Presiden mestinya juga mempertimbangkan betapa banyaknya tugas yang harus ditangani Hatta sebagai Menko dan Menkeu.

Pengendalian keuangan negara ada di tangan Menkeu. Ibarat kata teledor sedikit saja, akibatnya fatal. Di penghujung masa jabatannya seharusnya Pemerintahan SBY Boediono bisa memberikan contoh baik dalam mengelola negara kepada tokoh-tokoh yang akan maju sebagai capres pada Pemilu 2014.

Sayang jika momentum emas ini dilewatkan Presiden karena pertimbangan-pertimbangan subjektif yang pasti mengundang kecurigaan publik. Sedangkan bagi Hatta, tiada lain dia harus kerja keras tiada henti untuk menjalankan tugas pada dua posisi penting itu sekaligus dengan sama baiknya.

Ketua Umum PAN ini pun harus mampu membuktikan bahwa kekhawatiran publik itu tidak akan terjadi. Hatta harus bisa berdiri tegak sebagai Menko pada satu sisi, tapi juga harus profesional, tegas, dan terbuka sebagai Menkeu pada sisi lain. Apa pun keputusan telah diambil, rakyat menunggu Menko dan Menkeu bisa bekerja hanya demi rakyat, bukan demi yang lain.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8109 seconds (0.1#10.140)