Pemilu digelar serentak mampu cegah politik dinasti
A
A
A
Sindonews.com - Pemilu yang dilaksanakan secara serentak seluruh Indonesia diyakini mampu mencegah politik dinasti.
Menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto, apabila pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan bersamaan, maka setiap orang memiliki peluang terbatas untuk mencalonkan diri.
"Mereka harus memilih salah satu jabatan yang hendak digapai, anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Baik terpilih maupun yang tidak, berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan," ujar Didik dalam Diskusi Media bertema 'Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak' di Bakoel Koffie Cikini, Jalan Cikini Raya No 25, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2013).
Selain itu, penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif, memaksa partai-partai politik untuk membangun koalisi sejak dini.
"Mereka sadar, keterpilihan calon pejabat eksekutif yang mereka usung akan mempengaruhi keterpilihan calon-calon anggota legislatif, dan mendorong sejumlah parpol membangun koalisi besar, sehingga pasca pemilu menghasilkan blocking politic," ujarnya.
Di satu pihak terdapat koalisi besar yang memenangkan jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen, di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok minoritas parlemen sehingga mau tidak mau menjadi oposisi.
Situasi tersebut, lanjutnya, memaksa koalisi parpol memilih pasangan calon pejabat eksekutif yang elektabilitasnya paling tinggi demi merebut jabatan eksekutif, yang mengkatrol perolehan kursi legislatif.
Koalisi besar menjadikan jumlah pasangan calon terbatas, yang berarti juga membatasi gerak politik dinasti.
"Yang lebih penting, jika pemilu serentak dilaksanakan, maka tampilnya calon-calon dinasti akan terlihat jelas di mata publik, sehingga parpol dan calon akan tampak buruk di mata masyarakat, pemilu serentak dianggap mampu cegah politik dinasti," ujarnya.
Menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto, apabila pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dilaksanakan bersamaan, maka setiap orang memiliki peluang terbatas untuk mencalonkan diri.
"Mereka harus memilih salah satu jabatan yang hendak digapai, anggota legislatif atau jabatan eksekutif. Baik terpilih maupun yang tidak, berada dalam posisi sama dalam kurun lima tahun ke depan," ujar Didik dalam Diskusi Media bertema 'Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak' di Bakoel Koffie Cikini, Jalan Cikini Raya No 25, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2013).
Selain itu, penggabungan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif, memaksa partai-partai politik untuk membangun koalisi sejak dini.
"Mereka sadar, keterpilihan calon pejabat eksekutif yang mereka usung akan mempengaruhi keterpilihan calon-calon anggota legislatif, dan mendorong sejumlah parpol membangun koalisi besar, sehingga pasca pemilu menghasilkan blocking politic," ujarnya.
Di satu pihak terdapat koalisi besar yang memenangkan jabatan eksekutif sekaligus menguasai kursi parlemen, di pihak lain terdapat koalisi gagal meraih jabatan eksekutif yang menjadi kelompok minoritas parlemen sehingga mau tidak mau menjadi oposisi.
Situasi tersebut, lanjutnya, memaksa koalisi parpol memilih pasangan calon pejabat eksekutif yang elektabilitasnya paling tinggi demi merebut jabatan eksekutif, yang mengkatrol perolehan kursi legislatif.
Koalisi besar menjadikan jumlah pasangan calon terbatas, yang berarti juga membatasi gerak politik dinasti.
"Yang lebih penting, jika pemilu serentak dilaksanakan, maka tampilnya calon-calon dinasti akan terlihat jelas di mata publik, sehingga parpol dan calon akan tampak buruk di mata masyarakat, pemilu serentak dianggap mampu cegah politik dinasti," ujarnya.
(lns)