Mungkinkah menjadi western muslim?
A
A
A
Mungkinkah menjadi seorang muslim yang taat, tapi saat yang sama menjadi warga negara Australia, Amerika, atau Eropa yang baik? Pertanyaan ini layak dikemukakan setidaknya karena beberapa alasan.
Pertama, dibanding agama-agama lain, perkembangan umat Islam di Barat cukup pesat dalam kurun waktu 20 tahun belakangan. Menurut data yang dirilis oleh Open Society Institute (2010), jumlah umat Islam di Eropa telah mencapai 15-20 juta. Jumlah ini akan meningkat dua kali lipat di tahun 2025. Mereka umumnya berasal dari generasi kedua dan ketiga muslim yang tinggal di negara-negara ini. Kedua, muslim di Barat belum sepenuhnya dianggap integrated dengan budaya dan nilai-nilai Barat (Western values) pada umumnya.
Bahkan, karena prilaku rasisme sebagian masyarakat Barat, mereka kerap menjadi sasaran produk kebijakan politik yang diskriminatif. Menjadi muslim di negara Barat memang bukanlah perkara yang mudah. Selain karena perbedaan budaya dan sejarah, faktor perbedaan agama juga menambah peliknya hubungan umat Islam dengan masyarakat setempat. Belakangan, isu terorisme semakin memperburuk dan memperumit hubungan ini.
Generasi Pertama Muslim di Barat
Adabeberapaalasanmengapa generasi muslim pertama ini meninggalkan negaranya dan menetap di negara-negara Barat. Sebagian besar mereka datang karena alasan ekonomi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dibanding di negara asalnya. Tidak sedikit juga di antara mereka meninggalkan negaranya karena faktor lain sebagai pengungsi (refugee).
Generasi pertama muslim ini mengalami problem besar ketika pertama kali datang ke negaranegara Barat. Di mata mereka, negara-negara Barat adalah negara asing (foreignlands) di mana mereka hidup sebagai “orang asing”. Barat dalam pandangan mereka adalah negara yang sangat berbeda dengan negara asal mereka baik secara budaya maupun agama. Kurangnya pendidikan dan penguasaan bahasa semakin mempersempit ruang mobilitas mereka di tengah masyarakat setempat.
Akibatnya, mereka sering menarik diri dari masyarakat setempat dan lebih senang hidup bersama dengan komunitas mereka sendiri. Akibatbebanideologis, muslim generasi pertama ini lebih mempraktikkan Islam sebagaimana praktik Islam di negara asalnya ketimbang melakukan dialog kreatif dengan masyarakat setempat. Karena itu, tidak heran jika mereka masih mempraktikkan Islam sebagaimana Islam di negara asal mereka. Seperti ditulis oleh Tariq Ramadhan (2010), generasi pertama ini masih berharap suatu saat akan kembali ke negara asal mereka masing-masing setelah meraih kesuksesan di Barat.
Menurut keyakinan mereka, tinggal di negara Barat diperbolehkan secara hukum Islam hanya dalam kondisi dharurat (necessity). Dengan kata lain tinggal di negara Barat adalah salah satu bentuk ruksha (keringanan hukum) karena kondisi yang memaksa. Ketika kondisi normal, mereka akan kembali ke negara asal mereka yang jauh lebih menjamin pelaksanaan dan pengamalan ajaran Islam.
Generasi Kedua Muslim di Barat
Berbeda dengan generasi pendahulunya, generasi kedua dan ketiga muslim di Barat tidak mengalami problem serupa. Mereka tidak mengalami kendala psikologis untuk menjadi warga negara setempat karena mereka sebagian besar lahir dan mengenyam pendidikan di Barat. Sebagian besar dari generasi ini adalah warga negara yang taat.
Selain berbicara dengan bahasa setempat dengan baik mereka juga memberikan kontribusi bagi negara-negara Barat. Sekalipun lebih mudah beradaptasi dengan masyarakat Barat, media setempat masih menaruh curiga. Kecurigaan ini terjadi karena ulah beberapa minoritas ekstremis, literalis dan teroris yang kerap melakukan kekerasan dan penafsiran sepihak dengan mengatasnamakan Islam. Menurut Esposito (2009), masyarakat Barat kerap menyamakan perilaku minoritas ini dengan mayoritas umat Islam.
Sebaliknya, jika kekerasan ini dilakukan minoritas Kristen atau Yahudi, mereka menganggap kekerasan ini di luar norma mayoritas kekristenan dan keyahudian. Minoritas muslim ekstremis dan literalis ini sayangnya mendapatkan tempat di hampir semua media di Barat. Apapun yang dilakukan oleh kelompok ini selalu mendapat perhatian penuh dari media-media Barat. Media Barat lebih mendengar suara yang paling keras dari kalangan Muslim dan sayangnya suara yang paling keras ini berasal dari kalangan Islam ekstremis, literalis dan radikal.
Kalangan muslim moderat tidak banyak mendapat perhatian sekalipun mereka sangat aktif membangun kerja sama dengan masyarakat setempat. Problem lain yang sering dihadapi umat Islam di Barat adalah terkait dengan masalah identitas. Identitas kerap menjadi problem integrasi karena pemaknaan masyarakat Barat yang sepihak tentang identitas. Bagi masyarakat Barat identitas sebagai warga Barat sangat identik dengan identitas kekristenan dankeyahudian (judeo-christian).
Akibatnya, umat Islam yang lahir dan menjadi warga negara di negara-negara Barat, tidak bisa dianggap menjadi warga Barat secara sempurna hanya karena berbeda agama. Padahal secara sosiologis parameter identitas tidak hanya sebatas pada agama. Masih banyak entitas-entitas lain yang membentuk identitas seseorang seperti bahasa, suku,kewarganegaraan dan budaya. Karena itu, sekalipun tetap memeluk Islam, muslim generasi kedua ini tetap pada saat yang sama menjadi warga masyarakat Barat.
Mereka berhak untuk menyandang identitas sebagai warga masyarakat Barat. Sama dengan warga Barat lainnya, umat Islam di Barat juga wajib memperjuangkan kepentingan-kepentingan negara-bangsa mereka. Menjadi muslim yang taat dan menjadi warga negara Barat yang baik tidak harus mengubah ajaran Islam yang hakiki. Tetapi, mereka hanya butuh menghubungkan ajaran-ajaran Islam yang dinamis, orisinal dan kreatif dengan konteks budaya Barat. Mereka perlu melakukan kontekstualisasi Islam secara kritis, terbuka dan selektif dengan budaya setempat yang baik.
Selain itu, mereka juga perlu melakukan penilaian terhadap budaya-budaya setempat yang berimplikasi negatif, timpang, tidak adil dan diskriminatif. Di sisi lain, mereka juga harus mampu melakukan pembedaan yang jelas antara agama dan budaya. Pembedaan ini diperlukan terutama terkait dengan asal-usul budaya mereka sebelumnya. Entitas budaya asal seperti budaya Pakistan, Turki dan Arab memang penting. Tapi ketika menjadi umat Islam di Barat, entitas budayabudaya asal yang terkadang tidak selalu Islami ini bisa saja “ditinggalkan” dengan menyerap budaya Barat yang baik dan islami.
Jika strategi ini yang dilakukan oleh umat Islam yang tinggal di Barat, maka mereka sepenuhnya masih tetap dalam koridor ajaran teologis Islam. Strategi ini sepenuhnya tidak melanggar kesucian ajaran agama mereka. Mereka dapat menjadi muslim yang taat dan pada saat yang sama menjadi warga masyarakat Barat yang baik.
ARIF ZAMHARI
Deputi Direktur International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
Pertama, dibanding agama-agama lain, perkembangan umat Islam di Barat cukup pesat dalam kurun waktu 20 tahun belakangan. Menurut data yang dirilis oleh Open Society Institute (2010), jumlah umat Islam di Eropa telah mencapai 15-20 juta. Jumlah ini akan meningkat dua kali lipat di tahun 2025. Mereka umumnya berasal dari generasi kedua dan ketiga muslim yang tinggal di negara-negara ini. Kedua, muslim di Barat belum sepenuhnya dianggap integrated dengan budaya dan nilai-nilai Barat (Western values) pada umumnya.
Bahkan, karena prilaku rasisme sebagian masyarakat Barat, mereka kerap menjadi sasaran produk kebijakan politik yang diskriminatif. Menjadi muslim di negara Barat memang bukanlah perkara yang mudah. Selain karena perbedaan budaya dan sejarah, faktor perbedaan agama juga menambah peliknya hubungan umat Islam dengan masyarakat setempat. Belakangan, isu terorisme semakin memperburuk dan memperumit hubungan ini.
Generasi Pertama Muslim di Barat
Adabeberapaalasanmengapa generasi muslim pertama ini meninggalkan negaranya dan menetap di negara-negara Barat. Sebagian besar mereka datang karena alasan ekonomi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dibanding di negara asalnya. Tidak sedikit juga di antara mereka meninggalkan negaranya karena faktor lain sebagai pengungsi (refugee).
Generasi pertama muslim ini mengalami problem besar ketika pertama kali datang ke negaranegara Barat. Di mata mereka, negara-negara Barat adalah negara asing (foreignlands) di mana mereka hidup sebagai “orang asing”. Barat dalam pandangan mereka adalah negara yang sangat berbeda dengan negara asal mereka baik secara budaya maupun agama. Kurangnya pendidikan dan penguasaan bahasa semakin mempersempit ruang mobilitas mereka di tengah masyarakat setempat.
Akibatnya, mereka sering menarik diri dari masyarakat setempat dan lebih senang hidup bersama dengan komunitas mereka sendiri. Akibatbebanideologis, muslim generasi pertama ini lebih mempraktikkan Islam sebagaimana praktik Islam di negara asalnya ketimbang melakukan dialog kreatif dengan masyarakat setempat. Karena itu, tidak heran jika mereka masih mempraktikkan Islam sebagaimana Islam di negara asal mereka. Seperti ditulis oleh Tariq Ramadhan (2010), generasi pertama ini masih berharap suatu saat akan kembali ke negara asal mereka masing-masing setelah meraih kesuksesan di Barat.
Menurut keyakinan mereka, tinggal di negara Barat diperbolehkan secara hukum Islam hanya dalam kondisi dharurat (necessity). Dengan kata lain tinggal di negara Barat adalah salah satu bentuk ruksha (keringanan hukum) karena kondisi yang memaksa. Ketika kondisi normal, mereka akan kembali ke negara asal mereka yang jauh lebih menjamin pelaksanaan dan pengamalan ajaran Islam.
Generasi Kedua Muslim di Barat
Berbeda dengan generasi pendahulunya, generasi kedua dan ketiga muslim di Barat tidak mengalami problem serupa. Mereka tidak mengalami kendala psikologis untuk menjadi warga negara setempat karena mereka sebagian besar lahir dan mengenyam pendidikan di Barat. Sebagian besar dari generasi ini adalah warga negara yang taat.
Selain berbicara dengan bahasa setempat dengan baik mereka juga memberikan kontribusi bagi negara-negara Barat. Sekalipun lebih mudah beradaptasi dengan masyarakat Barat, media setempat masih menaruh curiga. Kecurigaan ini terjadi karena ulah beberapa minoritas ekstremis, literalis dan teroris yang kerap melakukan kekerasan dan penafsiran sepihak dengan mengatasnamakan Islam. Menurut Esposito (2009), masyarakat Barat kerap menyamakan perilaku minoritas ini dengan mayoritas umat Islam.
Sebaliknya, jika kekerasan ini dilakukan minoritas Kristen atau Yahudi, mereka menganggap kekerasan ini di luar norma mayoritas kekristenan dan keyahudian. Minoritas muslim ekstremis dan literalis ini sayangnya mendapatkan tempat di hampir semua media di Barat. Apapun yang dilakukan oleh kelompok ini selalu mendapat perhatian penuh dari media-media Barat. Media Barat lebih mendengar suara yang paling keras dari kalangan Muslim dan sayangnya suara yang paling keras ini berasal dari kalangan Islam ekstremis, literalis dan radikal.
Kalangan muslim moderat tidak banyak mendapat perhatian sekalipun mereka sangat aktif membangun kerja sama dengan masyarakat setempat. Problem lain yang sering dihadapi umat Islam di Barat adalah terkait dengan masalah identitas. Identitas kerap menjadi problem integrasi karena pemaknaan masyarakat Barat yang sepihak tentang identitas. Bagi masyarakat Barat identitas sebagai warga Barat sangat identik dengan identitas kekristenan dankeyahudian (judeo-christian).
Akibatnya, umat Islam yang lahir dan menjadi warga negara di negara-negara Barat, tidak bisa dianggap menjadi warga Barat secara sempurna hanya karena berbeda agama. Padahal secara sosiologis parameter identitas tidak hanya sebatas pada agama. Masih banyak entitas-entitas lain yang membentuk identitas seseorang seperti bahasa, suku,kewarganegaraan dan budaya. Karena itu, sekalipun tetap memeluk Islam, muslim generasi kedua ini tetap pada saat yang sama menjadi warga masyarakat Barat.
Mereka berhak untuk menyandang identitas sebagai warga masyarakat Barat. Sama dengan warga Barat lainnya, umat Islam di Barat juga wajib memperjuangkan kepentingan-kepentingan negara-bangsa mereka. Menjadi muslim yang taat dan menjadi warga negara Barat yang baik tidak harus mengubah ajaran Islam yang hakiki. Tetapi, mereka hanya butuh menghubungkan ajaran-ajaran Islam yang dinamis, orisinal dan kreatif dengan konteks budaya Barat. Mereka perlu melakukan kontekstualisasi Islam secara kritis, terbuka dan selektif dengan budaya setempat yang baik.
Selain itu, mereka juga perlu melakukan penilaian terhadap budaya-budaya setempat yang berimplikasi negatif, timpang, tidak adil dan diskriminatif. Di sisi lain, mereka juga harus mampu melakukan pembedaan yang jelas antara agama dan budaya. Pembedaan ini diperlukan terutama terkait dengan asal-usul budaya mereka sebelumnya. Entitas budaya asal seperti budaya Pakistan, Turki dan Arab memang penting. Tapi ketika menjadi umat Islam di Barat, entitas budayabudaya asal yang terkadang tidak selalu Islami ini bisa saja “ditinggalkan” dengan menyerap budaya Barat yang baik dan islami.
Jika strategi ini yang dilakukan oleh umat Islam yang tinggal di Barat, maka mereka sepenuhnya masih tetap dalam koridor ajaran teologis Islam. Strategi ini sepenuhnya tidak melanggar kesucian ajaran agama mereka. Mereka dapat menjadi muslim yang taat dan pada saat yang sama menjadi warga masyarakat Barat yang baik.
ARIF ZAMHARI
Deputi Direktur International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
(mhd)