Kritik untuk SBY
A
A
A
Begitu selesai dinobatkan secara aklamasi sebagai ketua umum dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Bali, Sabtu, 30 Maret 2013 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan bahwa dirinya siap dihujani kritik atas keputusannya itu.
Bahkan dalam pidato resminya, tokoh asal Pacitan ini mengaku dikritik sudah menjadi takdir hidupnya. SBY menilai bahwa lebih baik yang diserang dirinya daripada Partai Demokrat. Karena alasan itulah, SBY menerima desakan untuk menjadi ketua umum Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum yang menyatakan berhenti karena terkait masalah hukum di KPK.
Pidato SBY baik sebagai ketua umum maupun sebagai presiden Republik Indonesia itu semakin sulit dipisahkan. Apalagi semakin banyak predikat yang melekat pada diri SBY, selain presiden RI, ketua umum, ketua Dewan Pembina sekaligus ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Ibaratnya, di Demokrat tidak ada yang tidak bisa dikendalikan oleh SBY sebagai figur sentral, simbol, merek, sekaligus tokoh pemersatu di parpol yang sedang ditimpa banyak masalah ini.
Apa pun langkah SBY pasti akan dikritik, karena SBY adalah simbol negara, kepala pemerintahan, dan kepala negara. Tanpa embel-embel Partai Demokrat pun, kritik kepada SBY sudah sangat banyak.
Apalagi setelah SBY merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol, meski menurutnya hanya bersifat sementara. Memang benar, tidak ada undang-undang dan peraturan yang dilanggar Presiden SBY ketika merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol.
Artinya langkah yang dilakukan SBY dari sisi hukum tata negara sah-sah saja, seperti yang disampaikan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Tidak ada kesalahan apa pun di wilayah itu.
Tapi jangan lupa, ada wilayah lain yang dilanggar SBY saat dia memutuskan merangkap jabatan ketua umum Demokrat. Wilayah manakah itu? Tiada lain wilayah kepantasan, kepatutan, dan moral politik.
Tidak ada sanksi apa pun yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar wilayah yang terkait dengan etika dan moral. Bagi seorang politikus, wilayah ini termasuk grey area. Tapi semestinya seorang kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu harus menciderai wilayah ini atas alasan apa pun. Kecuali memang demi Merah Putih, demi bangsa dan negara.
Apalagi, kalau hanya alasan kepentingan pribadi atau kelompok. Bukankah sudah ada preseden ketika Megawati Soekarnoputri menjabat presiden juga masih tetap ketua umum PDI Perjuangan? Benar. Tapi pantaskah kita melakukan langkah mundur dalam berdemokrasi? Kenapa kita tidak memperbaiki dan memajukan kualitas kehidupan berdemokrasi kita.
Sekarang kita renungkan sejenak syarat-syarat yang diajukan SBY kepada peserta KLB sebelum menerima jabatan ketua umum. Untuk membantu tugas-tugas SBY akan ditunjuk ketua harian, wakil ketua umum, wakil ketua Dewan Pembina dan wakil ketua Majelis Tinggi.
Masalahnya, elite-elite yang dipercaya SBY untuk menjalankan tugas sehari-hari ketua di semua lini organisasi Partai Demokrat adalah menteri-menteri asal Demokrat juga.
Bukankah para menteri ini juga dituntut kerja keras mengatasi masalah-masalah di bidang tugas masing-masing. Diserahi satu fokus menangani masalah terkait tugasnya saja, menteri-menteri masih banyak kedodoran, apalagi kini ditambah urusan parpol yang semakin memusingkan kepala.
Dijamin 100%, kinerja pemerintahan akan semakin bias. Siapa yang menjadi korban? Pastilah kepentingan rakyat yang paling dirugikan. Belum lagi jika terjadi konflik partai, pasti akan terbawa sampai di sidang kabinet. Sungguh memilukan. Dari sini jelas sekali posisi SBY.
Sangat jelas juga posisi orang-orang yang mengkritiknya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Jadi, pantaskah seorang kepala negara yang harus melayani semua lapisan dan golongan rakyat Indonesia itu merangkap sebagai ketua umum parpol?
Bahkan dalam pidato resminya, tokoh asal Pacitan ini mengaku dikritik sudah menjadi takdir hidupnya. SBY menilai bahwa lebih baik yang diserang dirinya daripada Partai Demokrat. Karena alasan itulah, SBY menerima desakan untuk menjadi ketua umum Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum yang menyatakan berhenti karena terkait masalah hukum di KPK.
Pidato SBY baik sebagai ketua umum maupun sebagai presiden Republik Indonesia itu semakin sulit dipisahkan. Apalagi semakin banyak predikat yang melekat pada diri SBY, selain presiden RI, ketua umum, ketua Dewan Pembina sekaligus ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Ibaratnya, di Demokrat tidak ada yang tidak bisa dikendalikan oleh SBY sebagai figur sentral, simbol, merek, sekaligus tokoh pemersatu di parpol yang sedang ditimpa banyak masalah ini.
Apa pun langkah SBY pasti akan dikritik, karena SBY adalah simbol negara, kepala pemerintahan, dan kepala negara. Tanpa embel-embel Partai Demokrat pun, kritik kepada SBY sudah sangat banyak.
Apalagi setelah SBY merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol, meski menurutnya hanya bersifat sementara. Memang benar, tidak ada undang-undang dan peraturan yang dilanggar Presiden SBY ketika merangkap jabatan sebagai ketua umum parpol.
Artinya langkah yang dilakukan SBY dari sisi hukum tata negara sah-sah saja, seperti yang disampaikan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Tidak ada kesalahan apa pun di wilayah itu.
Tapi jangan lupa, ada wilayah lain yang dilanggar SBY saat dia memutuskan merangkap jabatan ketua umum Demokrat. Wilayah manakah itu? Tiada lain wilayah kepantasan, kepatutan, dan moral politik.
Tidak ada sanksi apa pun yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar wilayah yang terkait dengan etika dan moral. Bagi seorang politikus, wilayah ini termasuk grey area. Tapi semestinya seorang kepala negara dan kepala pemerintahan tidak perlu harus menciderai wilayah ini atas alasan apa pun. Kecuali memang demi Merah Putih, demi bangsa dan negara.
Apalagi, kalau hanya alasan kepentingan pribadi atau kelompok. Bukankah sudah ada preseden ketika Megawati Soekarnoputri menjabat presiden juga masih tetap ketua umum PDI Perjuangan? Benar. Tapi pantaskah kita melakukan langkah mundur dalam berdemokrasi? Kenapa kita tidak memperbaiki dan memajukan kualitas kehidupan berdemokrasi kita.
Sekarang kita renungkan sejenak syarat-syarat yang diajukan SBY kepada peserta KLB sebelum menerima jabatan ketua umum. Untuk membantu tugas-tugas SBY akan ditunjuk ketua harian, wakil ketua umum, wakil ketua Dewan Pembina dan wakil ketua Majelis Tinggi.
Masalahnya, elite-elite yang dipercaya SBY untuk menjalankan tugas sehari-hari ketua di semua lini organisasi Partai Demokrat adalah menteri-menteri asal Demokrat juga.
Bukankah para menteri ini juga dituntut kerja keras mengatasi masalah-masalah di bidang tugas masing-masing. Diserahi satu fokus menangani masalah terkait tugasnya saja, menteri-menteri masih banyak kedodoran, apalagi kini ditambah urusan parpol yang semakin memusingkan kepala.
Dijamin 100%, kinerja pemerintahan akan semakin bias. Siapa yang menjadi korban? Pastilah kepentingan rakyat yang paling dirugikan. Belum lagi jika terjadi konflik partai, pasti akan terbawa sampai di sidang kabinet. Sungguh memilukan. Dari sini jelas sekali posisi SBY.
Sangat jelas juga posisi orang-orang yang mengkritiknya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Jadi, pantaskah seorang kepala negara yang harus melayani semua lapisan dan golongan rakyat Indonesia itu merangkap sebagai ketua umum parpol?
(kur)