JK berbagi cerita soal pengalaman Tsunami Aceh
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla (JK) menceritakan soal penanganannya ketika Tsunami Aceh 2004 lalu. Dia menuturkan, membutuhkan penanganan dan manajemen krisis yang luar biasa dan cepat untuk menuntaskan masa darurat di Aceh. Ia bahkan mengumumkan ke seluruh Aceh masa tanggap darurat selama enam bulan.
Hal itu diceritakan saat dirinya menjadi pembicara dalam Health Safety Environment (HSE) International bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dengan tema 'Safety Leadership, Disaster, and Crisis Management'.
JK membagi ceritanya saat memimpin tanggap darurat hingga masa pemulihan pascabencana Tsunami, di Aceh.
"Saat itu hari libur, banyak orang ke pantai melihat airnya turun, bermain di pantai, banyak ikan, sehingga korban semakin banyak. Hal itu menimbulkan trauma dimana banyak orang Aceh melihat mayat, bencana itu harus ditangani Extraordinary" ungkap JK dalam sambutannya, Selasa (26/03/2013).
Saking banyaknya bantuan asing, kata dia, saat itu terdapat 17 rumah sakit darurat di Aceh. Negara, kata dia, adalah pihak yang paling bertanggung jawab sehingga masa tanggap darurat yang paling panjang adalah yang terjadi di Aceh.
"Setiap orang dikasih makan minum pengobatan selama enam bulan. Siangnya Aceh tak bisa masak, saya perintahkan kumpulkan semua truk tangki di Sumatera Utara. Pergi sampai akhirnya ada 50 truk tangki. Setiap tiga hari saya cek ke Aceh, karena yang paling berpengaruh tentu psikis masyarakat Aceh. Bagaimana mereka pulih traumanya," kata mantan Wakil Presiden itu.
JK memutuskan, Banda Aceh dan Meulaboh harus bersih dari puing-puing setelah tsunami itu. Sehingga ia memanggil KSAD dan Menteri Pekerjaan Umum saat itu untuk membersihkan puing-puing.
"Saya berdiri lihat Aceh. Banda Aceh dan Meulaboh harus bersih. Puing-puing dibersihkan dalam waktu tiga bulan. Butuh 300 buldoser. Datangkan semua yang dibutuhkan. Semua eskavator dari Medan dan Jawa dibawa. Ini managemen darurat. Habis Rp600 miliar waktu itu," jelasnya.
Ia menilai, tak mungkin Aceh dibangun dalam keadaan penuh puing. Sehingga, ia memutuskan Aceh harus damai baru bisa masuk ke tahap rekonstruksi.
"Tanggap darurat, rehab, dan rekonstruksi. Paling berat rekonstruksi, dana besar dan Aceh harus damai. Karena dulu semua orang bekerja dikawal tentara dibelakangnya senjata M16. Saya berpikir harus bersamaan, rekonstruksi dan damai, saat itu saya bilang bahwa itu urusan saya, lalu saya mulai operasi damai, dialog dengan teman-teman GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Ultimatum para dubes. Sampailah penekanan MoU," tandasnya.
Hal itu diceritakan saat dirinya menjadi pembicara dalam Health Safety Environment (HSE) International bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dengan tema 'Safety Leadership, Disaster, and Crisis Management'.
JK membagi ceritanya saat memimpin tanggap darurat hingga masa pemulihan pascabencana Tsunami, di Aceh.
"Saat itu hari libur, banyak orang ke pantai melihat airnya turun, bermain di pantai, banyak ikan, sehingga korban semakin banyak. Hal itu menimbulkan trauma dimana banyak orang Aceh melihat mayat, bencana itu harus ditangani Extraordinary" ungkap JK dalam sambutannya, Selasa (26/03/2013).
Saking banyaknya bantuan asing, kata dia, saat itu terdapat 17 rumah sakit darurat di Aceh. Negara, kata dia, adalah pihak yang paling bertanggung jawab sehingga masa tanggap darurat yang paling panjang adalah yang terjadi di Aceh.
"Setiap orang dikasih makan minum pengobatan selama enam bulan. Siangnya Aceh tak bisa masak, saya perintahkan kumpulkan semua truk tangki di Sumatera Utara. Pergi sampai akhirnya ada 50 truk tangki. Setiap tiga hari saya cek ke Aceh, karena yang paling berpengaruh tentu psikis masyarakat Aceh. Bagaimana mereka pulih traumanya," kata mantan Wakil Presiden itu.
JK memutuskan, Banda Aceh dan Meulaboh harus bersih dari puing-puing setelah tsunami itu. Sehingga ia memanggil KSAD dan Menteri Pekerjaan Umum saat itu untuk membersihkan puing-puing.
"Saya berdiri lihat Aceh. Banda Aceh dan Meulaboh harus bersih. Puing-puing dibersihkan dalam waktu tiga bulan. Butuh 300 buldoser. Datangkan semua yang dibutuhkan. Semua eskavator dari Medan dan Jawa dibawa. Ini managemen darurat. Habis Rp600 miliar waktu itu," jelasnya.
Ia menilai, tak mungkin Aceh dibangun dalam keadaan penuh puing. Sehingga, ia memutuskan Aceh harus damai baru bisa masuk ke tahap rekonstruksi.
"Tanggap darurat, rehab, dan rekonstruksi. Paling berat rekonstruksi, dana besar dan Aceh harus damai. Karena dulu semua orang bekerja dikawal tentara dibelakangnya senjata M16. Saya berpikir harus bersamaan, rekonstruksi dan damai, saat itu saya bilang bahwa itu urusan saya, lalu saya mulai operasi damai, dialog dengan teman-teman GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Ultimatum para dubes. Sampailah penekanan MoU," tandasnya.
(mhd)