Perbedaan KPK menghadapi kasus Ibas dengan lainnya

Selasa, 19 Maret 2013 - 03:47 WIB
Perbedaan KPK menghadapi kasus Ibas dengan lainnya
Perbedaan KPK menghadapi kasus Ibas dengan lainnya
A A A
Sindonews.com - Hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)berani menyatakan dengan tegas, pihaknya tidak perlu melakukan pemeriksaan terhadap Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).

KPK menilai, Ibas dituding telah menerima uang sebesar USD200 ribu, terkait dengan Kongres Partai Demokrat, di Bandung, dan Hambalang, tahun 2010. Hal itu juga berani ditegaskan KPK, meskipun nama Ibas untuk kesekian kalinya sudah disebut oleh mantan Wakil Direkur Keuangan PT Anugerah Nusantara Yulianis.

"Sampai hari ini belum ada rencana memanggil Ibas karena sampai hari ini tidak diperlukan. Lagipula keterangan soal Yulianis sudah pernah disampaikan ke penyidik," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, (18/3/2013) malam.

Ucapan Johan itu sedikit kontradiktif, jika dibandingkan dengan sikap KPK saat menghadapi para koruptor yang baru pada level diduga. KPK terkesan ingin menunjukkan kekuasaannya memberantas korupsi di mata publik.

Tak hanya itu, KPK juga dengan lantangnya menyatakan berani untuk memeriksa orang-orang pada level menteri hingga anggota DPR yang baru hanya disinyalir mengetahui mengenai sebuah kasus korupsi.

Misalkan, mengenai keterlibatan Priyo Budi Santoso yang disebut-sebut menerima jatah 4,5 persen dari dua proyek Alquran sekaligus. "Tidak tertutup kemungkinan (pemeriksaan) jika keterangan itu benar, KPK akan melakukan penelusuran lebih lanjut," kata Johan Budi melalui pesan singkatnya Selasa, 29 Januari 2013 lalu.

Tak hanya Johan, Ketua KPK Abraham Sama juga lebih lantang akan memeriksa siapapun dia yang dianggap terlibat dalam sebuah kasusm korupsi. Adapun, kali ini nama itu adalah Boediono yang saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden.

"KPK tidak pernah ragu melakukan pemeriksaan terhadap siapapun, walaupun yang bersangkutan menjabat sebagai Wapres karena KPK equality before the law atau semua kedudukan sama di depan hukum," kata Abraham Samad di kantor KPK, Jakarta, Rabu 21 November 2012 lalu.

Tak ketinggalan, kasus baru yang telah menyeret mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dalam kasus penyuapan pengurusan kuota impor daging di Kementerian Pertanian.

Kasus ini smepat mengarah kepada keterlibatan Menteri Pertanian Suswono. Saat itu, KPK kembali menunjukan taringnya dengan mengatakan, KPK bisa saja memeriksa kader PKS itu.

"Siapapun dia, baik pengurus partai, pejabat pemerintah atau penegak hukum yang terindikasi korupsi dan cukup bukti langsung dilakukan penyelidikan," kata Abraham Samad di Medan, Selasa 5 Februari 2013 lalu.

Selain itu, dalam kasus kuota impor daging sapi, kata Johan, pihaknya akan menelusuri pihak-pihak yang terindikasi kasus itu.

"Kemungkinan bisa kami periksa yang ada kaitannya dalam kasus ini," kata Johan Budi dalam keterangan persnya di kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis 31 Januari 2013 lalu.

Namun, hal tersebut menjadi berbeda ketika KPK ditanyakan, kapan rencana pemanggilan anak kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dilakukan. Johan pun beralasan, itu tidak bisa digunakan atau disamakan dengan persoalan ini.

"Yang bisa saya katakan, sampai hari ini, kami tidak perlu melakukan panggilan pemeriksaan untuk Ibas," kilah Johan.

Kendati demikian, Johan membantah, jika KPK telah melakukan komunikasi khusus dengan pihak Istana terkait nama Ibas yang disebut-sebut terindikasi kasus korupsi. "Tidak ada komunikasi," bantahnya.

Koordinator Investigasi dan advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Ucok Sky Khadafi menegaskan, KPK seharusnya berani membuktikan bahwa pihaknya tidak tunduk terhadap kekuasaan yang ada di Indoenesia.

"Pokoknya jangan memilih tersangka. Kalau dia dekat dengan kekuasaan KPK seperti takut, tapi kalau dia orang yang kritis kekuasaan itu KPK langsung ganas dan kejam untuk melakukan penyelidikan," tegasnya.

Lantas, benarkah KPK memang sengaja menghilangkan atau bahkan takut menggunakan kata "siapapun, kemungkinan" di saat menghadapi kasus di kalangan penguasa.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9057 seconds (0.1#10.140)
pixels