Membaca pikiran dokter

Jum'at, 22 Februari 2013 - 15:13 WIB
Membaca pikiran dokter
Membaca pikiran dokter
A A A
Para dokter dan rumah sakit saat ini berada di kubangan cibiran publik. Itu terjadi sebagai konsekuensi meninggalnya bayi mungil, Dera, yang membutuhkan bantuan medis sangat serius, namun dikabarkan ditolak oleh sepuluh rumah sakit.

Hati memang tersayat menyimak berita tentang Dera. Apalagi dengan latar ekonomi orang tuanya yang sangat sederhana, masyarakat akan mudah menyimpulkan bahwa nasib nahas Dera adalah buah dari kemiskinan keluarganya. Sadar maupun tanpa sadar, terbentuk keresahan sosial sebagai akibat simpulan yang lagi-lagi ditarik dengan gampang: orang miskin dilarang sakit.

Kebanyakan masyarakat tampaknya berpikir bahwa sebelum memutuskan jenis tindakan yang akan diambil, dokter terlebih dahulu memperhatikan semua hal terkait kondisi pasien. Dengan proses berpikir yang diasumsikan sangat rasional itu, keputusan yang diambil dokter juga dipandang sebagai keputusan dengan kemanfaatan maksimal.

Faktanya, benarkah langkah seperti itu kecenderungan perilaku dokter? Sebelum sampai ke jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa terutama unit gawat darurat rumah sakit didatangi oleh banyak pasien.

Keluhan pasien sangat beragam. Jumlah dokter terbatas. Tidak sebatas memberikan tindakan medisteknis dengan memeriksa fisik pasien, para dokter juga harus mengerjakan tugas-tugas medis- administratif antara lain membuat catatan rekam medis dan menuliskan resep.

Situasi sedemikian rupa niscaya memberikan beban kognitif sangat tinggi kepada para dokter.Namun, dalam situasi tersebut, dokter dituntut untuk tetap dapat menentukan jenis tindakan dalam tempo selekas mungkin. Situasi semacam itu, saya yakini, tidak memungkinkan bagi proses pembuatan keputusan rasional.

Secara realistis, bahkan sangat manusiawi, dokter tidak akan mengeksplorasi dan mengolah semua informasi semata-mata tentang pasien sebelum menghasilkan keputusan tertentu. Sebagai gantinya, demi memastikan respons kedaruratan dan kegawatan tetap terjaga,dokter akan cenderung mengambil keputusan dengan jalan pintas atau heuristik. Berpikir secara jalan pintas bukan mengindikasikan kemalasan, apalagi kebodohan, dokter.

Keputusan harus atau terpaksa dibuat lewat jalan pintas karena situasi yang memaksa demikian. Apalagi, tak bisa dinihilkan, semua pasien merasa kondisinya paling parah dibandingkan pasien lain serta ingin dilayani sesegera mungkin.

Bisa dibayangkan risiko yang bakal terjadi sekiranya dokter berpikir secara komprehensif dan mendalam. Waktu yang dibutuhkan untuk melayani setiap pasien akan sangat panjang.

Masing-masing pasien juga bisa terlambat menerima tindakan yang semestinya karena dokter berpikir terlalu njelimet memberikan penanganan tertentu. Guna menjalankan proses berpikir jalan pintas, ada kemungkinan dokter menerapkan tahapan-tahapan berpikir tertentu yang jauh lebih sederhana.

Sebagai ilustrasi, saat akan menentukan apakah pasien akan dirawat inap atau dirawat jalan, dokter hanya memperhatikan dua kondisi. Jika pasien berada dalam kondisi A, sakit pasien dianggap tidak parah.

Jika B, berarti parah.Karena parah,berlanjut ke tahap berpikir selanjutnya yaitu adakah ruangan. Jika tidak ada,‘selesai’ urusan. Jika ada, dokter berpikir ke tahap ketiga: adakah pasien lain yang juga membutuhkan rawat inap.

Apabila tidak, tak ada masalah. Apabila ada, siapa yang harus didahulukan. Demikian seterusnya; pada setiap tahapan berpikir,dokter selalu berhadapan dengan dua opsi: “ya atau tidak”, “ada atau nihil”, “positif atau negatif”, dan sejenisnya. Panjang pendeknya “pohon berpikir” tersebut, sangat relatif.

Walau demikian, proses seperti ini tetap lebih ringkas ketimbang proses rasional yang dijelaskan pada alinea-alinea terdahulu.

Berpikir jalan pintas bukan pertanda kesembronoan dokter, melainkan siasat kognitif yang paling masuk akal untuk dipraktikkan dalam ruang gawat darurat. Hebatnya, riset menunjukkan, proses berpikir jalan pintas ternyata paling tidak sama andalnya dengan proses berpikir rasional yang serbakomprehensif.

Terlepas dari jenis cara berpikir yang dokter lakukan, keberadaan pasien di hadapan dokter merupakan sesuatu yang krusial.Dokter tidak akan bisa menakar kondisi pasien tanpa kehadiran pasien.

Alih-alih, sebatas mengandalkan informasi dari pihak ketiga, potensi bias yang dapat terjadi. Andaikan dokter membuat perkiraan di bawah kondisi sebenarnya pasien (underestimate), akibatnya bisa fatal.

Tapi, apabila perkiraan dokter di atas kondisi aktual pasien (overestimate), selain bisa berefek buruk bagi pasien tersebut, penanganan yang berlebihan juga dapat merugikan pasien lain yang bisa jadi lebih benar-benar membutuhkan.

Menambah rumit keadaan adalah ketika pasien datang dalam kondisi yang sudah amat sangat payah. Begitu buruknya si pasien, sampai-sampai dokter pada dasarnya sudah memprediksi bahwa tak ada tindakan jitu untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Tentu, terlalu naif apabila saya mengingkari ada dokter nakal yang terkesan ingin mengeksploitasi pasien. Sekadar berbagi cerita; Aza, anak ketiga saya, suatu ketika pernah sekonyong-konyong langsung disarankan dokter untuk diopname.

Dugaan si dokter, “Demam berdarah atau tifus.” Butuh keberanian ekstra untuk meminta dokter tersebut menjelaskan gejala-gejala yang ia simpulkan sebagai demam berdarah ataupun tifus, di samping bentuk-bentuk tindakan yang akan ia berikan selama Aza dirawat inap.

Setelah berdiskusi, saya ‘memaksa’ dokter berpikir lebih rinci,barulah dokter membuka kesempatan bagi Aza untuk menjalani rawat jalan. Lalu, entah untuk menghangatkan relasi pasien-dokter, atau ada muatan yang lebih tendensius, dokter tersebut akhirnya bertanya ke saya, “Bapak sekolah di mana?” Kembali ke inti tulisan ini; seperti banyak orang lainnya, saya pun dirundung pilu mengikuti warta tentang Dera.

Kendati begitu, ungkapan “orang miskin dilarang sakit” saya anggap sebagai pesan yang sedikit banyak berangkat dari kurangnya perhatian terhadap kompleksitas psikologis (kognitif) dokter di ruang-ruang gawatdaruratrumahsakit.Kompleksitas itu bukanlah masalah etika atau moralitas dokter. Juga penting bagi semua pihak untuk mewaspadai kemungkinan bias dalam menilai kerja dokter dan rumah sakit.

Layanan yang dokter berikan tidak melulu dipengaruhi oleh diri dokter sendiri (disposisi), tetapi juga ditentukan oleh faktor situasi. Apa boleh buat, kita barangkali perlu menerima kemungkinan bahwa ketika antrean pasien (anggaplah semuanya adalah pasien miskin) teramat sangat panjang, akan ada satu dua pasien yang tak bisa terpuaskan. Allahu a’lam.


REZA INDRAGIRI AMRIEL

Anggota Asosiasi Psikologi Islami, Penerima Asian Public Intellectual Fellowship
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0721 seconds (0.1#10.140)