Uang plastik bukan sekadar gaya hidup

Selasa, 12 Februari 2013 - 07:34 WIB
Uang plastik bukan sekadar gaya hidup
Uang plastik bukan sekadar gaya hidup
A A A
Sindonews.com - Cara pembayaran belanja konsumen di Indonesia dengan memakai kartu alias pembayaran elektronik terus meningkat.

Hal itu menunjukkan kesadaran konsumen akan keamanan, kenyamanan,dan kontrol keuangan dengan menggunakan sistem pembayaran elektronik makin tinggi. Jadi,konsumen yang bertransaksi dengan memanfaatkan sistem pembayaran elektronik atau uang plastik bukan lagi sekadar gaya hidup.

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa di balik kemudahan dan keamanan alat pembayaran modern tersebut juga terselip beberapa kekurangan misalnya konsumen yang terjerat tagihan kartu kredit.

Dari hasil survei yang digelar Visa soal global payments tracker (GPT) 2012 terungkap sekira 57 persen transaksi menggunakan kartu debit dan sebanyak 83 persen transaksi dengan memakai kartu kredit per bulan dari total titik tempat transaksi yang disurvei.

Meski demikian, transaksi dengan uang tunai tetap menjadi bentuk pembayaran utama atau sekitar 84 persen dibandingkan dengan penggunaan uang plastik. Selain temuan peningkatan penggunaan pembayaran dengan kartu, survei Visa tersebut juga membeberkan bahwa 25 persen konsumen memiliki kartu debit dan sekira 2 persen konsumen mengantongi kartu kredit.

Peningkatan penggunaan kartu debit memang tidak terlepas dari kebijakan perbankan yang membekali kartu debit setiap nasabah. Berdasarkan hasil survei tersebut terungkap bahwa motivasi nasabah menggunakan kartu debit dengan alasan demi kontrol keuangan mencapai 30 persen dan sebanyak 17 persen berdalih menghindari membawa uang tunai. Penggunaan kartu debit didominasi untuk pembelanjaan di supermarket dan department store.

Dengan demikian, kalangan bankir meyakini pertumbuhan kartu kredit akan terganggu menyusul penerbitan regulasi dari Bank Indonesia (BI) yang intinya membatasi ruang gerak penerbit kartu kredit yang mulai diberlakukan sejak awal tahun ini.

Dalam lima tahun terakhir kartu debit dan kartu automatic teller machine (ATM) telah menjadi lahan potensial perbankan untuk mendulang fee based income. Sayangnya,“lahan subur”itu hanya dikuasai empat bank raksasa dengan porsi kepemilikan yang mencapai 64,76 persen dari total 69,79 kartu yang beredar di masyarakat.

Tahun ini para pengelola bank memang harus lebih kreatif mengelola nasabah dan calon nasabah pemegang kartu kredit. Keuntungan empuk perbankan dari bunga kartu kredit terpangkas oleh kebijakan BI yang membatasi pengenaan bunga maksimal sekira 2,95 persen per bulan atau sebesar 35,40 persen per tahun.

Sebelumnya bank sentral juga menerbitkan Surat Edaran Nomor 14/27/DASP tentang Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit yang mengatur batas pendapatan masyarakat yang berhak mengantongi kartu kredit dan batas maksimum plafon kredit.

Dari sisi bisnis perbankan,kebijakan tersebut tentu saja sangat tidak menguntungkan. Sebaliknya, perlindungan terhadap konsumen yang selama ini cenderung terabaikan mulai mendapat perhatian serius. BI ketika mengumumkan kebijakan suku bunga kredit itu menyatakan, pembatasan bunga kredit dilakukan karena selama ini belum memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan manajemen risiko.

Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pengaduan terbesar konsumen selama ini menyangkut masalah perbankan,terutama yang berkaitan dengan kartu kredit. Namun, dalam aturan pembatasan suku bunga tersebut BI tetap memberi ruang gerak kepada penerbit kartu kredit dengan menetapkan suku bunga tidak berlaku permanen.

Suku bunga bisa saja bergeser dengan tiga alasan yakni faktor indikator makro,struktur biaya meliputi bunga dana dan pengelolaan risiko, serta rata-rata bunga pasar.Jadi, perbankan untung dan nasabah tidak tercekik.
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5527 seconds (0.1#10.140)