Amankan Jakarta!
A
A
A
Kejadian tragis yang menimpa mahasiswi Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI) Annisa Azward menambah catatan buruk perihal jaminan keamanan bagi pengguna angkutan umum di Ibu Kota Jakarta.
Annisa tewas setelah meloncat dari angkot yang dia tumpangi di wilayah Jakarta Utara. Diduga untuk menghindari upaya pemerkosaan atau penculikan, Annisa nekat melompat keluar angkot.Tubuhnya terbentur aspal hingga mengalami luka serius di bagian kepala dan meninggal dunia di rumah sakit. Keamanan masyarakat, terutama kaum perempuan, yang mengandalkan angkutan umum untuk mobilitas sehari-hari di Jakarta semakin memprihatinkan.
Perampokan yang sering kali diiringi pemerkosaan, bahkan pembunuhan, terhadap korban pengguna angkutan umum (angkot, bus, taksi, ojek, metromini, dan sebagainya) bukan barang asing bagi warga Ibu Kota. Kejadian-kejadian ini telah menebar teror bagi semua orang yang beraktivitas di Jakarta. Namun, masyarakat tidak punya banyak pilihan selain menggunakan angkutan umum untuk beraktivitas baik mencari nafkah, menimba ilmu atau kegiatan penting lain. Menerobos bahaya dan ancaman di angkutan umum adalah cerita sehari-hari warga Jakarta. Ibarat prajurit yang maju perang, mereka harus menyabung nyawa untuk menyambung hidup.
Lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas keamanan warga ketika mereka menggunakan angkutan umum? Gubernur DKI dan aparatnya, polisi, sopir, pemilik angkutan atau warga sendiri? Tentu masing-masing memiliki tanggung jawab sesuai dengan posisinya. Keamanan wilayah adalah tanggung jawab kepala daerah dan polisi di wilayah tersebut. Namun, karena jumlahnya yang terbatas, tidak mungkin bagi aparat negara untuk terus mengawasi ratusan ribu mobil angkutan umum selama 24 jam nonstop.
Rasio petugas keamanan dan yang harus diamankan memang berbeda jauh. Namun, pemerintah diberi kewenangan oleh rakyat dan konstitusi untuk mengurus negara ini dan menjamin keamanan adalah bagian dari tugas penting itu. Menciptakan keamanan tidak hanya persoalan pengawasan dan patroli 24 jam nonstop di seluruh pelosok Ibu Kota. Banyak faktor yang bisa memengaruhi penciptaan keamanan itu. Yang paling penting adalah law enforcement, kemudian keteladanan pemimpin, serta partisipasi masyarakat. Sebagus apa pun hukumnya kalau tidak ditegakkan pasti hanya jadi pajangan.
Tindak tegas dan hukum berat para pelaku kriminalitas di angkutan umum, ini menjadi sangat penting. Tidak hanya pelaku, pemilik kendaraan umum juga harus dikenai sanksi keras agar ke depan tidak main-main lagi dengan persoalan keamanan. Tanpa ketegasan, sia-sia Pemprov DKI atau Polda Metro Jaya membuat aturan-aturan detail untuk pengemudi dan pengelola angkutan umum. Pelaku yang biasanya bekerja sama dengan pengemudi harus dihukum berat. Sanksi keras juga harus diberikan kepada pemilik angkot.
Misalnya dengan pencabutan izin operasi, pelarangan usaha, hingga tindakan-tindakan tegas lain yang menimbulkan efek jera. Tidak seperti sekarang. Rata-rata para penjahat ini dihukum ringan kemudian keluar penjara kembali menebar kejahatan yang sama. Bukan cerita baru juga kalau pemilik kendaraan sulit disentuh hukum karena kekuatan lobi dan akses mereka ke aparat melebihi penegakan hukum.
Kasus Annisa adalah momentum bagi Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya untuk mengambil kebijakan lebih tegas lagi pada semua dimensi untuk mewujudkan keamanan warga Jakarta. Bagaimana bisa mendorong orang menggunakan angkutan umum sebagai solusi mengurangi kemacetan Jakarta tapi semakin banyak pengguna angkutan umum yang menjadi korban aksi kriminalitas. Ini ironi yang terus berulang.
Annisa tewas setelah meloncat dari angkot yang dia tumpangi di wilayah Jakarta Utara. Diduga untuk menghindari upaya pemerkosaan atau penculikan, Annisa nekat melompat keluar angkot.Tubuhnya terbentur aspal hingga mengalami luka serius di bagian kepala dan meninggal dunia di rumah sakit. Keamanan masyarakat, terutama kaum perempuan, yang mengandalkan angkutan umum untuk mobilitas sehari-hari di Jakarta semakin memprihatinkan.
Perampokan yang sering kali diiringi pemerkosaan, bahkan pembunuhan, terhadap korban pengguna angkutan umum (angkot, bus, taksi, ojek, metromini, dan sebagainya) bukan barang asing bagi warga Ibu Kota. Kejadian-kejadian ini telah menebar teror bagi semua orang yang beraktivitas di Jakarta. Namun, masyarakat tidak punya banyak pilihan selain menggunakan angkutan umum untuk beraktivitas baik mencari nafkah, menimba ilmu atau kegiatan penting lain. Menerobos bahaya dan ancaman di angkutan umum adalah cerita sehari-hari warga Jakarta. Ibarat prajurit yang maju perang, mereka harus menyabung nyawa untuk menyambung hidup.
Lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas keamanan warga ketika mereka menggunakan angkutan umum? Gubernur DKI dan aparatnya, polisi, sopir, pemilik angkutan atau warga sendiri? Tentu masing-masing memiliki tanggung jawab sesuai dengan posisinya. Keamanan wilayah adalah tanggung jawab kepala daerah dan polisi di wilayah tersebut. Namun, karena jumlahnya yang terbatas, tidak mungkin bagi aparat negara untuk terus mengawasi ratusan ribu mobil angkutan umum selama 24 jam nonstop.
Rasio petugas keamanan dan yang harus diamankan memang berbeda jauh. Namun, pemerintah diberi kewenangan oleh rakyat dan konstitusi untuk mengurus negara ini dan menjamin keamanan adalah bagian dari tugas penting itu. Menciptakan keamanan tidak hanya persoalan pengawasan dan patroli 24 jam nonstop di seluruh pelosok Ibu Kota. Banyak faktor yang bisa memengaruhi penciptaan keamanan itu. Yang paling penting adalah law enforcement, kemudian keteladanan pemimpin, serta partisipasi masyarakat. Sebagus apa pun hukumnya kalau tidak ditegakkan pasti hanya jadi pajangan.
Tindak tegas dan hukum berat para pelaku kriminalitas di angkutan umum, ini menjadi sangat penting. Tidak hanya pelaku, pemilik kendaraan umum juga harus dikenai sanksi keras agar ke depan tidak main-main lagi dengan persoalan keamanan. Tanpa ketegasan, sia-sia Pemprov DKI atau Polda Metro Jaya membuat aturan-aturan detail untuk pengemudi dan pengelola angkutan umum. Pelaku yang biasanya bekerja sama dengan pengemudi harus dihukum berat. Sanksi keras juga harus diberikan kepada pemilik angkot.
Misalnya dengan pencabutan izin operasi, pelarangan usaha, hingga tindakan-tindakan tegas lain yang menimbulkan efek jera. Tidak seperti sekarang. Rata-rata para penjahat ini dihukum ringan kemudian keluar penjara kembali menebar kejahatan yang sama. Bukan cerita baru juga kalau pemilik kendaraan sulit disentuh hukum karena kekuatan lobi dan akses mereka ke aparat melebihi penegakan hukum.
Kasus Annisa adalah momentum bagi Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya untuk mengambil kebijakan lebih tegas lagi pada semua dimensi untuk mewujudkan keamanan warga Jakarta. Bagaimana bisa mendorong orang menggunakan angkutan umum sebagai solusi mengurangi kemacetan Jakarta tapi semakin banyak pengguna angkutan umum yang menjadi korban aksi kriminalitas. Ini ironi yang terus berulang.
(mhd)